Sixth Rule of Seven Rules
"Vampire can mark their mate and live together with their mate, although the mate is human."
The Last Pure-Blood Vampire | The Uncertainty Destiny
Sometime, destiny can change without we know the reason.
Anything we have written to do, sometime it isn't important again.
The change of destiny can be more good than before.
But it can be the worst of all.
Did you know why it can happen?
No, you didn't know it.
Only Heaven Know.
Centerene Palace, 4 a.m.
"Yang Mulia!" seru Liannaka dengan panik. Ia segera berlari menyongsong sosok tuannya yang dipapah Szatark yang baru memasuki area mansion utama. Ia memang sengaja menunggu tuannya kembali di dekat mansion utama. Ia langsung mengalungkan lengan kanan tuannya ke bahunya sendiri sementara lengan kiri tuannya sudah terkalung di bahu Szatark. Selanjutnya yang ia lakukan adalah membantu Szatark memapah tuannya menuju kamar.
"Apa yang terjadi, Szatark?" tanya Liannaka tanpa bisa mencegah rasa penasarannya. Bagaimana mungkin ia tak penasaran melihat tuannya datang dengan dipapah oleh Szatark. Ia bisa melihat wajah tuannya yang pucat. Ia yakin ada yang tidak berjalan dengan baik.
"A-ku tidak apa-apa, Lian," gumam Ryuta pelan. Terlihat sekali kalau dia memaksakan diri. Perlahan kesadarannya mulai menipis.
"Nanti akan ku jelaskan. Sekarang kita bawa Yang Mulia ke kamarnya dulu," kata Szatark.
Liannaka mengangguk samar, walaupun ia jelas terlihat ragu. Ia memerintah pelayan untuk menyiapkan kamar tuannya, lengkap dengan apapun yang diperlukan untuk pengobatan. Sementara ia masih membantu Szatark untuk memapah tuannya. Suasana hening tanpa ada pembicaraan terus bertahan sampai ia tiba di depan kamar Ryuta. Pelayan langsung menggeser pintu dan mempersilakan mereka masuk. Ryuta di baringkan di atas tempat tidurnya. Dengan sigap Liannaka menutupi tubuh Ryuta dengan selimut. Sementara Szatark berdiri kaku di samping tempat tidur.
"Dimana Yui-sama?" tanya Szatark pelan agar Ryuta tak mendengarnya.
Liannaka menatap Szatark sejenak sebelum menjawab. "Dia ada di Northless palace. Tepatnya bersama Niel-sama."
Szatark tersentak kaget. Ia menatap tajam ke arah Liannaka. Ia tak percaya akan apa yang diucapkan Liannaka, teman seprofesinya selama bertahun-tahun. 'Apa dia gila dengan menempatkan Yui-sama di sana? Apa dia lupa kalau segel ingatan Ryuta-sama sudah akan memudar dalam waktu dekat?' pikirnya.
Liannaka yang menyadari tatapan tajam dari Szatark hanya menghela nafas panjang. Ia duduk dengan pasrah di kursi yang berada tak jauh dari tempat tidur tuannya. Matanya menatap ke langit-langit ruangan dengan tatapan kosong. "Aku tahu ini berbahaya. Mengingat kalau segel ingatan Ryuta-sama akan segera hilang. Hanya menunggu waktu untuk melihat kehebohan di kerajaan vampir mengenai keberadaan Yui-sama. Tapi, kata Ryuta-sama, Yui-sama dan Niel-sama harus didekatkan terlebih dahulu. Walaupun mereka telah terikat, takdir terlalu kejam dalam memisahkan mereka. Maaf kalau aku terlalu gegabah, Szatark. Aku hanya mengkhawatirkan mereka."
Szatark ikut menghela nafas panjang begitu mendengar penjelasan Liannaka. "Kau tidak gegabah, Lian. Aku tahu kau khawatir, aku juga. Tapi kalau mengingat hubungan mereka dulu, aku yakin mereka akan saling menyukai. Bagaimana pun mereka sudah terikat benang merah di kelingking mereka untuk selamanya."
"Kalian jangan terlalu optimis," sahut seorang wanita berambut ungu. Felicite Merekibe yang tiba-tiba sudah ada di dalam kamar Ryuta. Dengan tenang, ia duduk di tepi tempat tidur dimana Ryuta terbaring.
"Felicite-san!" seru Liannaka dan Szatark secara bersamaan. Dengan gerak cepat, keduanya membungkuk hormat pada Felicite.
"Maaf, aku masuk tanpa izin. Aku hanya ingin menemui Ryuta, tapi aku rasa waktunya tak tepat," kata Felicite. Tangan kurusnya mengusap wajah Ryuta yang pucat pasi dengan lembut. Ada kesedihan besar yang memburamkan sinar matanya.
"Apa maksud anda dengan kalimat tadi, Felicite-san?" tanya Szatark. Ia sangat penasaran dengan apa yang diucapkan Felicite tadi. Kenapa ia tak boleh optimis akan hubungan kedua vampir yang telah terikat benang merah?
Felicite mendesah pelan. Ia tetap memandang Ryuta dengan tatapan sendu. "Takdir itu tidak pasti. Tuhan bisa membolak-balik hati makhluknya. Tidak ada jaminan kalau mereka akan menyatu dan saling memurnikan."
"A-pa mak-sudmu, Felicite?" tanya Ryuta tiba-tiba. Ia membuka matanya perlahan dan menatap Felicite lekat-lekat.
Felicite tersentak kaget. Ia tersenyum kecil seraya membalas tatapan Ryuta dengan lembut. Tangannya menggenggam tangan kiri Ryuta. Kehangatan merasuk ke dalam setiap aliran darah Ryuta. Ia membuka mulutnya namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Lantas ia mendesah pelan. Bersiap memulai rangkaian kata yang mungkin akan menyakitkan untuk didengar.
"Semua tak berjalan semudah yang kau pikirkan." Felicite memotong ucapannya. Menunggu bagaimana reaksi Ryuta.
"Teruskan saja. Aku tahu maksudmu," kata Ryuta pelan saat menyadari maksud Felicite. Ia tahu kalau takdir itu rumit dan tak semudah yang ia pikirkan. Takdir juga tak pasti. Ada kalanya takdir berjalan seperti apa yang diinginkan. Tapi terkadang berbalik menyakitkan.
Felicite tersenyum kecil sebelum kembali mengutarakan apa yang ia pikirkan. "Menurutku, takdir mereka tetap sama sejak mereka disatukan dalam ikatan mate. Namun untuk mencapainya, bukan perkara mudah. Akan ada banyak hati yang terluka karena ketidakpastian takdir. Kita hanya harus percaya pada takdir. Tuhan pasti mempunyai jalan terbaik untuk kita walaupun tak sesuai dengan harapan kita."
Semua terdiam begitu mendengar penjelasan Felicite. Szatark dan Liannaka nampak cemas. Sementara Ryuta hanya menghela nafas panjang. Felicite tersenyum kecil menanggapi reaksi Ryuta.
"Kau membuatku bingung, Feli. Bagiku tak masalah jika mereka melukai banyak hati. Karena yang paling terluka sebenarnya adalah mereka berdua. Aku tahu ini sangat sulit. Tapi aku tak akan memaksa mereka. Biar mereka saling berkenalan lagi, saling mencintai lagi dan aku yakin kalau mereka akan menemukan jalan mereka walaupun sulit. Yang jelas aku selalu mendukung mereka apapun yang terjadi," jelas Ryuta.
Felicite nampak kaget saat mendengar penjelasan Ryuta yang terlalu bermakna. Ia tak menyangka kalau Ryuta bisa mengatakan hal itu. Padahal dulu, Ryuta sangat arogan dan selalu mementingkan kepentingan klan. "Tumben sekali kau mengatakan hal seperti ini. Kau banyak berubah, Ryu."
"Ya, aku banyak belajar dari kakakku juga darimu," seloroh Ryuta. Ia mengukir seringai kecil diwajahnya.
Felicite tertawa kecil. Semburat merah mengakar di wajahnya. Ia tak tahan jika Ryuta mulai mengatakan hal-hal aneh yang bersifat memujinya. "Jangan menggodaku."
"Tidak, aku tidak menggodamu," kata Ryuta dengan senyum geli.
"Ryuta!" Felicite memukul lengan Ryuta dengan pelan. Lantas ia tertawa kecil. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Ah, dimana Yui? Aku ingin bertemu dengannya."
"Eh?" Ryuta tersenyum simpul. "Dia ada di Northless Palace bersama Niel. Mungkin mereka sudah melakukan sesuatu."
"A-pa?" seru Felicite. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang besar. "Apa maksudmu, bodoh! Mereka tidak boleh melakukan hal 'itu'!"
Ryuta tertawa geli. "Hal 'itu' apa?"
"Ya, hal 'i-tu'. Yang tidak boleh dilakukan. Kau pasti tahu," kata Felicite dengan terbata-bata. Wajahnya memerah.
Ryuta tersenyum manis. Ia mengusap pipi Felicite. Membuat wajah wanita itu semakin memerah. "Bukan sesuatu yang 'itu'. Yang aku maksud adalah hal yang lain. Niel sudah menggigit Yui. Hah, entah kenapa aku merasa kalau Niel sudah menandai Yui jauh sebelum Yui kemari."
Felicite terhenyak kaget. Ia menatap tajam ke arah Ryuta tepat ke manik mata Ryuta. Ribuan pemikiran menubruk di otaknya. 'Apa maksudnya dengan menandai? Ti-dak mungkin. Bagaimana bisa aku tidak mengetahuinya? Kalau begini, mana mungkin aku meminta Yui meninggalkan Oyharo city. Niel tidak akan tinggal diam. Dia pasti mengikuti Yui nantinya,' pikirnya. Wajahnya nampak gelisah.
"Kenapa?" tanya Ryuta yang menangkap ekspresi gelisah di wajah Felicite. Ia mengenal ekspresi gelisah itu. Wajahnya langsung menegang. "A-pa yang kau lihat? Katakan padaku! Apa ada hubungannya dengan Yui dan Niel? Katakan padaku, Felicite!"
Felicite menundukkan kepalanya. Ia berusaha keras mengembalikan ekspresi wajahnya seperti semula. Ia harus memberikan jawaban yang menenangkan untuk Ryuta walaupun mungkin Ryuta tidak mempercayainya.
"Semua akan baik-baik saja, Ryu. Emm, sebenarnya aku melihat kalau Tosakyo city akan diserang 2 malam lagi. Aku ingin Yui tahu hal ini. Dia akan dibutuhkan di sana. Karena Tosakyo city akan diserang dari satu penjuru yang langsung menuju Hunter 'ELF' Gakuen."
"Apa! Uhuk... Uhuk..." Ryuta terbatuk saat bangkit dari tidurnya secara reflek. Buru-buru Felicite menyandarkan Ryuta ke sandaran tempat tidur. Ia mengusap-usap dada Ryuta dengan lembut.
"Apa ini semua karena aku membunuh Mud-Blood di gua An?" tanya Ryuta setelah mengatur nafasnya.
"Ya, salah satunya. Selain itu, mereka memang berniat menyerang Hunter 'ELF' Gakuen. Mereka tahu kalau manusia sangat mengagungkan klan Kurochiki, jadi manusia pasti akan membantu klan Kurochiki. Mereka pasti ingin melenyapkan semua pihak yang mampu menghalangi mereka," jelas Felicite.
"Apa maksud Felicite-san adalah tindakan makar? Berarti ada pihak dalam kerajaan yang memimpin mereka," sahut Szatark.
"Ya. Ada klan yang memang dari awal tak menyukai pemerintahan Aiden. Kita tahu betul siapa klan itu," kata Felicite sambil memejamkan matanya. Tangannya menggenggam erat selimut Ryuta. Kemarahan jelas terlihat berusaha lepas dari kendalinya.
"Tenanglah," bisik Ryuta pada Felicite seraya menggenggam tangan Felicite.
"Apa maksud anda adalah klan-"
"Klan yang selalu menekan klan Kurochiki untuk memurnikan semua vampir. Klan yang menjadi alasan penyegelan atas darah vampir yang mengalir dalam tubuh Yui-sama," potong Szatark atas kalimat yang akan dikatakan oleh Liannaka.
"Klan dimana para pengkhianat berkumpul. Klan yang penuh kesombongan."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Northless Palace, 11 a.m.
Yui menatap kosong ke arah taman yang sudah bermandikan salju dari bingkai jendela kamar Niel. Ia hanya bisa melihat warna putih di setiap sudut taman. Nampaknya hujan salju yang mengguyur kerajaan vampir cukup deras. Sehingga ia tak bisa menemukan warna lain selain warna putih dari salju. Hanya ada warna coklat tua dari pohon yang samar-samar terlihat. Ia mendesah pelan. Tanpa sadar ia mengelus lehernya, tepat di bagian dimana Niel menggigitnya. Senyum malu-malu terukir di bibirnya saat teringat kejadian tadi. Kejadian yang membuatnya malu di depan teman-teman barunya. Ya, tanpa ia sadari, Rima dan Marion mengintip adegan penggigitan yang dilakukan Niel kepadanya. Itu membuatnya malu dan tak tahu harus bagaimana bersikap nanti jika bertemu mereka. Apalagi Niel tidak mengatakan apapun saat Rima dan Marion kabur sebelum menjawab pertanyaannya. Dan lagi ia yakin mereka sudah tahu kalau dia adalah manusia.
"Apa yang akan terjadi nanti?" gumam Yui pelan. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia takut menghadapi mereka. Bagaimana kalau mereka memusuhinya karena dia telah membohongi mereka tentang identitas aslinya.
Whusshh! Angin dingin berhembus kencang secara tiba-tiba. Ia melingkarkan kedua tangannya pada tubuhnya sendiri. Angin itu membawa sensasi dingin yang membuatnya merinding. Deg! Entah kenapa, ia merasa nyeri di ulu hatinya. Ia merasa ada sesuatu buruk yang telah terjadi atau mungkin akan terjadi. Ia tak tahu firasat apa ini, namun ia sangat cemas.
Pluk!
"Argh!" pekik Yui dengan keras saat ada yang menepuk pundaknya. Ia berbalik dengan cepat dan memberikan tatapan waspada pada siapapun yang ia lihat.
"Kau kenapa?" tanya Niel pelan saat Yui menatapnya waspada. Ia kaget akan teriakan Yui dan tak menyangka kalau Yui akan bersikap seperti itu. Apa ia salah?
"Hah! Niel, kau membuatku kaget," kata Yui pelan sambil memegang dadanya. Berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila.
"Kau melamun ya?" tanya Niel.
"Em tidak. Aku hanya melihat taman," jawab Yui dengan gugup. Tanpa sadar ia mundur selangkah sampai punggungnya membentur bingkai jendela.
"Hn?" Niel tersenyum manis. Sejak ia menggigit gadis itu, ia tak sanggup menahan diri untuk tidak tersenyum padanya. Rasanya ia sangat ingin membuat wajah Yui merona merah karena malu. 'Hah! Apa-apaan ini! Kenapa aku jadi player seperti Rolfer? Ckk. Kau membuatku gila, Yui. Sebenarnya siapa kau? Kenapa aku merasa begitu merindukanmu? Kenapa aku selalu ingin berada di dekatmu?'
Yui menunduk malu saat melihat senyum Niel. Ia merasa kalau ia mulai jatuh cinta pada Niel. Debaran jantungnya lebih menggila jika di dekat Niel. Sampai ia lupa akan keadaan Hunter 'ELF' Gakuen, terutama Rave. Ia merindukan Hunter 'ELF' Gakuen. Ia ingin pulang tapi dia merasa berat untuk jauh-jauh dari Niel. 'Aish! Apa yang ku pikirkan? Dasar bodoh! Aku tak boleh jatuh cinta pada Niel. Dia terlalu sempurna untukku,' pikirnya.
"Ikutlah denganku," pinta Niel dengan nada yang lebih tepat disebut memerintah.
"Kemana?" tanya Yui dengan penasaran.
"Makan siang dengan keluargaku." Niel menyodorkan sebuah mantel putih panjang kepada Yui.
"Eh?" Yui kaget dan juga bingung. Ia menatap mantel yang disodorkan padanya dengan tatapan tak mengerti. Walaupun begitu ia tetap menerima mantel itu. Ia juga tidak paham tentang ajakan Niel. "Makan siang dengan keluargamu? Ini untuk apa?"
"Ya. Mereka sudah menunggu." Niel mengambil kembali mantel yang sudah diterima Yui. Hal itu membuat Yui bingung. Apalagi tingkah Niel yang memakaikan mantel itu ke tubuhnya. Ia sampai merinding saat tangan Niel menyentuh kulitnya. Jantungnya mulai berdetak kencang. Mengantarkan aliran darah ke wajahnya. Membuatnya merona merah dengan cantik.
"Udara di luar sangat dingin. Tidak baik untuk kesehatanmu yang belum pulih," lanjut Niel, menjawab semua pertanyaan di benak Yui.
"Emm."
"Ayo."
Tanpa perlawanan, Yui mengikuti langkah Niel yang menggiringnya keluar kamar. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia merasa tak nyaman dengan tatapan para pelayan yang tertuju padanya. Tatapan mendamba yang diselingi dengan tatapan rasa ingin tahu yang agak membuatnya malu. Ia sempat berjengit saat tangan Niel merangkul bahunya. Dengan ragu-ragu, ia mendongak ke arah Niel.
"Kenapa?" tanya Niel seraya menyajikan senyum manis.
"Ti-tidak," jawab Yui dengan suara tercekat. Buru-buru ia menundukkan wajahnya.
"Yui!"
Brugh!
Yui tersentak kaget saat ada yang memanggil namanya. Belum sempat ia mendongakkan kepalanya dengan benar, seseorang sudah memeluknya dengan sangat erat. Rambut merah marun. Ia menyadari siapa yang memeluknya seerat ini. Anza. Lantas ia menatap lurus ke arah datangnya Anza. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Di depannya sekarang ada Rima, Rolfer dan Marion. Rasa tidak enak mulai menggerogoti hatinya. Ia takut kalau mereka akan membencinya. Walaupun bukti nyatanya, mereka tersenyum ramah padanya.
"Bagaimana keadaanmu, Yui?" tanya Rima dengan nada ramah.
"Emm, a-ku baik-baik saja," jawab Yui. Ia berusaha tersenyum tulus. Walaupun terlihat sedikit dipaksakan. Suasana hatinya benar-benar mempengaruhinya. Ia harus siap dengan konsekuensi yang akan ia dapat.
"Yui, terima kasih atas pertolonganmu kemarin," kata Rolfer sambil menundukkan kepalanya sekilas.
Yui jadi salah tingkah karena sikap Rolfer. Ia bergerak mundur. Yang ada ia menabrak Niel. Ia semakin malu karena saat ia menoleh, wajah Niel sangat dekat dengan wajahnya. Jantungnya sudah berdetak tak karuan. Ia menundukkan wajahnya yang merah tak karuan dalam-dalam. Yang lain hanya tersenyum penuh arti melihatnya.
Niel menepuk pundak Yui, tapi gadis itu tetap menunduk. Ia menatap teman-temannya. Menanyakan hal yang sama lewat pikiran. 'Apa kalian marah pada Yui?' Jawaban beragam ia dapatkan. Tapi cukup untuk membuat Yui tenang. Ia bukan orang bodoh yang tak tahu apa yang ditakutkan Yui sejak tadi. Ia berharap Yui tetap di Oyharo city walaupun keberadaannya telah terungkap.
"Mereka tidak marah padamu, Yui," bisiknya pelan.
Yui mendongakkan kepalanya dan menatap Niel dengan ekspresi bingung. "A-apa?"
"Mereka. Rima, Rolfer, Anza dan Marion tidak marah padamu. Kami tahu kalau kau adalah manusia."
Tubuh Yui langsung menegang. Rasanya nyaris ambruk karena lemah dan tak bertenaga. Tapi Niel buru-buru melingkarkan tangannya ke pinggang Yui. Menghantarkan rasa nyaman yang ganjal di hati Yui. Tak bisa Yui pungkiri, setiap di dekat Niel, ia merasa sangat nyaman seolah ia telah lama mengenal Niel. Seolah Niel adalah kepingan terakhir dari puzzle. 'Perasaan aneh apa ini? Kenapa aku tak mau ini berhenti?' batinnya.
"Ah, sudahlah. Kau tak perlu khawatir, Yui. Dalam beberapa hari ini kau sudah membuktikan kalau kau tak bermaksud menghancurkan kami. Kau masih bisa disini walaupun misimu telah selesai," kata Anza.
"Misimu sudah selesai? Apa artinya kau akan kembali ke Tosakyo city? Hah, padahal kita baru saja berteman," kata Rolfer.
"Terlalu singkat. Kau yakin akan segera pulang, Yui? Apa tidak ada urusan atau misi lain disini?" sahut Rima.
"Tinggallah di sini sampai pergantian tahun," kata Marion. Pernyataan ini sukses mendapat deathglare dari teman-temannya.
"Bagaimana menurutmu?" bisik Niel.
Yui memainkan jari-jarinya dengan gugup. Ia terlalu kaget dengan sambutan dari teman-teman barunya. Terutama Niel yang berubah menjadi perayu ulung di matanya. "Entahlah. Aku akan bertanya pada paman Ryuta dulu."
"Baiklah, aku pastikan paman akan setuju. Kalau tidak, aku akan bertindak," kata Anza sambil menarik tangan Yui sehingga Yui maju beberapa langkah menjauhi Niel.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Rolfer.
"Tentu saja merayu Paman Ryuta, Baka!" sahut Rima sambil melayangkan tatapan kau-bodoh-sekali pada kakaknya. Lantas ia memandang Anza dengan tatapan berbinar-binar. "Aku akan membantumu, Anza."
"Tentu saja. Kita memang sehati, Rima,” kata Anza sambil merangkul bahu Rima. Rima membalasnya dengan senyum. Keduanya langsung menghadiahkan tatapan penuh harap dan terkesan licik pada Yui.
Yui tersentak kaget. Ia tak menyangka kalau ia akan diterima dalam kelompok mereka. Sulit dipercaya tapi bukan hal yang mustahil. Ia akui jika ia merasa nyaman di Oyharo city. Namun ia tetap harus kembali bukan jika misinya sudah selesai? Ada teman-teman lain yang menunggunya di Tosakyo city. Ada ayah yang akan sangat merindukannya. Dan ia tak bisa terus menerus di Oyharo city. Ia harus pulang.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Centerene Palace, 7 p.m.
Yui duduk di pinggiran ranjang dimana Ryuta berbaring. Ia tak tahu kalau Ryuta terluka dan harus beristirahat. Ia merasa sangat bersalah apalagi setelah ia tahu kalau Ryuta terluka karena membunuh Vampir Mud-Blood yang menyerangnya.
“Paman, kau baik-baik saja?” tanya Yui pelan. Ia tak tega melihat keadaan pamannya yang terlihat sangat lelah.
Ryuta tersenyum simpul. “Tidak apa-apa. Aku hanya kelelahan. Kau sendiri sudah merasa baikan?”
“Ya, paman. Aku sudah sehat.”
Suasana kembali hening. Angin yang berhembus di luar mansion sesekali menyelinap ke dalam ruang kamar Ryuta. Yui tak berniat memulai pembicaraan apapun karena ia tak tahu harus membicarakan apa. Ia hanya mampu menatap Ryuta dengan tatapan yang sulit ia artikan sendiri. Ia merasakan kerinduan tapi tidak tahu rindu akan apa. Ia hanya merasa telah mengenal Ryuta jauh sebelum saat ini. Ia merasakan rasa sayang membuncah dari dalam dirinya seolah Ryuta adalah keluarganya. Tapi akal sehatnya membuatnya sadar kalau itu hanya keinginan semu yang ia dambakan. Bagaimanapun ia adalah Yuicathra Fukuzawa bukan Yuicathra Ust Kurochiki.
“Yui.”
Yui tersentak kaget saat sapaan ringan diutarakan Ryuta. Ia segera menatap bingung ke arah Ryuta. Yang ia lihat adalah raut wajah Ryuta yang berubah serius.
“Apa kau ingin kembali ke Tosakyo city?” tanya Ryuta dengan nada tegas yang membuat Yui merasa sedikit takut.
Yui terdiam. Ia akui kalau dia ingin pulang ke Tosakyo city. Ia merindukan ayahnya. Ia ingin memeluk ayahnya. Walaupun baru berpisah beberapa hari, ia telah merasakan kerinduan yang kuat. Apalagi misinya mungkin bisa dikatakan sudah selesai. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Entah kenapa ia merasa bedcover bunga lily yang menyelimuti ranjang Ryuta sangat menarik hingga ia enggan untuk mengangkat wajahnya. Selain karena ia tak mau kebimbangannya terbaca oleh Ryuta.
“Entahlah, paman. Aku memang harus pulang setelah misiku selesai,” kata Yui setelah berdiam diri cukup lama.
Ryuta mendesah pelan. Seperti yang ia duga. Yui telah terikat kuat dengan manusia. Walaupun ia sudah ingat akan semua masa lalu tentang siapa dirinya yang sebenarnya, Ryuta yakin ia akan tetap malindungi manusia seperti orang tuanya. Ryuta sekarang mengerti kenapa dia harus melakukan ‘itu’ pada masa lalunya. ‘Kau pintar kakak. Kau membuatnya terikat dengan manusia sehingga mampu berpikir jernih dan manusiawi sepertimu. Aku tak menyangka kalau kakak akan sejauh ini memikirkan masa depan Yui,’ katanya dalam hati.
“Soal misi itu ya. Aku dengar Raja Aiden sudah mengirimkan permohonan maaf pada Hunter ‘ELF’ Gakuen sebagai wakil pemerintah. Itu artinya kau sudah boleh pulang,” jelas Ryuta.
Yui mendongak dengan cepat. Ia belum diberitahu mengenai hal itu. Jika kerajaan Vampir sudah meminta maaf pada Hunter ‘ELF’ Gakuen, berarti ia bisa pulang. Ia senang. Akhirnya ia bisa bertemu ayahnya, Shara dan teman-temannya di Tosakyo city dan Rave tentunya. Tapi, ia merasa ada yang mengganjal dalam hatinya. Ia tak rela meninggalkan Oyharo city yang artinya ia akan meninggalkan Anza, Rima, Marion, Rolfer, Liannaka, Paman Ryuta, dan..... Niel. Vampir tampan yang telah mencuri perhatiannya... mungkin juga hatinya.
“Ah, begitu ya. Jadi kapan aku bisa pulang, paman?” tanya Yui dengan usaha keras menyembunyikan rasa tak relanya.
Ryuta tersenyum penuh arti. Ia tahu betul kalau Yui tak rela meninggalkan Oyharo city yang baru ia tempati selama beberapa hari. Yui termasuk orang yang tak pandai menyembunyikan perasaannya sama seperti kakak iparnya, Cagalli.
“Sekarang pun bisa kalau kau mau.” Kalimat Ryuta sukses membuat wajah Yui terperangah kaget.
“Se-sekarang?” ulang Yui yang takut salah dengar.
“Ya, kalau kau mau. Ada baiknya kau pulang besok. Kau tak mungkin pergi ke Tosakyo tanpa berpamitan pada teman-teman barumu kan? Apalagi meninggalkan Niel,” goda Ryuta.
Yui menunduk. Hanya untuk menyembunyikan semburat merah yang membayang di wajah cantiknya. Ia tak menyangka Ryuta akan mengatakan hal itu. ‘Kenapa paman mengatakan itu? Apa paman tahu kalau aku menyu-ah tidak, aku tidak boleh menyukai Niel. Dia itu pangeran, tapi sulit sekali menghindar dari pesonanya. Aku rasa aku memang menyukainya.’
Ryuta teringat pada satu hal penting yang harus ia katakan pada Yui. Hal yang mungkin bisa merubah jadwal kepulangan Yui ke Tosakyo city. “Yui, kau tahu Felicite Merekibe? Apa saja yang kau tahu tentangnya?”
“Hah?” Yui mendongakkan kepalanya lagi. Dan menatap bingung ke arah Ryuta. Kenapa topik pembicaran langsung berubah? “Ah, iya. Merekibe-san adalah Peramal Kerajaan yang ramalannya selalu akurat. Beliau yang meramalkan tragedi yang menimpa klan Kurochiki. Ada apa, paman?”
“Felicite ingin kau menemuinya. Ini tentang ramalan penyerangan Mud-Blood ke Hunter ‘ELF’ Gakuen besok malam.”
Deg! Apa?
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Yui berjalan tak tenang di belakang Liannaka yang mengantarnya ke kediaman Felicite. Hatinya gundah dan gelisah bukan main. Ia tahu siapa Felicite dan kekuatan apa yang dimiliki. Ramalannya benar-benar akurat. Ia sangat mempercayai setiap ramalan Felicite. Tapi karena itu pula ia menjadi tak tenang. Apa yang dikatakan pamannya-Ryuta, membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak. Vampir Mud-Blood akan menyerang Hunter ‘ELF’ Gakuen? Apa alasannya? Kenapa harus ke tempat itu?
“Yui.”
Sebuah panggilan lembut menghentikan langkah Yui begitu pula Liannaka. Seorang laki-laki tampan berdiri tak jauh di depan mereka berdua. Mata coklat kemerahannya menatap lurus ke arah Yui. Rambut hitam kemerahannya bergoyang tertiup angin.
“Ni-el,” gumam Yui tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Selamat sore, Niel-sama,” sapa Liannaka sambil membungkuk hormat. Yui buru-buru mengikuti Liannaka, membungkuk penuh hormat walaupun ia masih kaget.
“Yui, jangan lakukan itu,” tegur Niel. Dalam waktu singkat ia sudah ada di samping Yui. Menahan bahu Yui untuk membungkuk lebih lama. Ia tak suka dengan sikap formal yang dilakukan Yui. Walaupun ia Putra Mahkota, ia tetap vampir. Baginya tak ada bedanya antara anggota kerajaan ataupun tidak. Ia selalu menganggap semua sama.
“Ehh.” Yui hanya bisa bergidik dan merasakan gelenyar hangat yang memenuhi hatinya. Jantungnya memacu lebih cepat. Ia mulai merasa kalau Niel semakin menunjukkan perhatiannya pada Yui. Terbukti siang tadi saat makan siang, ia dilayani special dari Niel sendiri karena orang tua Niel tidak bisa datang. Ia sampai malu karena semua teman-teman vampirnya menggodanya habis-habisan.
“Kau mau kemana?” tanya Niel pada Yui.
Yui nampak kaget sesaat sebelum ekspresi cemas membayang di wajahnya lagi. Liannaka yang menyadari perubahan wajah Yui hanya mampu diam. Ia tak mau ikut campur urusan Yui dan Niel. Ia hanya berharap takdir memayungi mereka dalam kebahagiaan.
“Emmm a-ku mau ke tempat Felicite-san,” jawab Yui dengan nada ragu. Ia tak tahu apakah yang ia lakukan sudah benar atau belum.
“Felicite-san?” tanya Niel. Ia takut salah dengar atas apa yang diucapkan Yui.
Yui tak menjawab. Ia hanya menunduk dan memainkan jemarinya. Rasa takut dan cemas masih melingkupi hatinya yang sempat berbunga.
“Maaf, Niel-sama. Ada masalah penting yang ingin disampaikan Merekibe-san. Mungkin Niel-sama berkenan mengantar Yui-sama ke mansion utama klan Merekibe?” celutuk Liannaka. Ia sadar kalau ia harus mendekatkan Niel dan Yui. Di matanya, mereka butuh waktu berbicara. Setidaknya mereka harus memiliki ikatan itu sebelum hari itu.
Secara serentak Niel dan Yui menatap ke arah Liannaka. Niel dengan tatapan kagetnya yang langsung berganti dengan tatapan senang. Yui dengan tatapan kaget yang berganti tak percaya pada apa yang diucapkan Liannaka baru saja.
“Lian-“
“Baiklah,” kata Niel sebelum Yui sempat memprotes keputusan Liannaka.
Yui menatap Niel dengan tatapan bingung. Sebelum sempat bertanya, tangannya sudah ditarik Niel menuju ke arah mansion Merekibe. Niel tidak berkata apapun selama perjalanan menuju mansion utama klan Merekibe. Ia sedikit gelisah memikirkan apa yang mungkin dikatakan Felicite pada Yui. Sungguh ia takut ada sesuatu yang mungkin akan terjadi pada Yui. Apalagi ia bisa membaca dengan jelas ekspresi cemas yang membayang di wajah Yui. Apa ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi pada Yui? Ia berharap ‘tidak’.
“Emm, Yui. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Felicite-san mencarimu?” tanya Niel yang tak mampu lagi menahan rasa penasarannya. Ia melirik Yui yang menunduk selama perjalanan.
“Eh?” Yui tersentak kaget. Ia tak menyangka Niel akan menanyakan hal itu. “Kenapa bertanya seperti itu?”
Niel berhenti berjalan. Ia menatap Yui tepat di manik matanya. “Kau nampak gelisah dan cemas. Apa yang membuatmu cemas?”
Yui semakin dikagetkan dengan argumen yang dikeluarkan Niel. Ia mengalihkan matanya dari tatapan mata Niel. Ia hampir melupakan kecemasan yang harusnya ia rasakan. Ia tidak tahu kenapa ia bisa melupakan kecemasannya hanya karena berpegangan tangan dengan Niel. Ia sungguh bingung dengan apa yang ia rasakan. Sepertinya pesona Niel sudah melumpuhkan syaraf-syaraf di tubuhnya.
“Emm..... ti-dak.”
Niel bisa melihat keraguan di mata Yui yang sibuk teralihkan dari tatapannya. Ia semakin takut akan apa yang dicemaskan Yui. “Kenapa? Kau bisa menceritakannya padaku.”
Yui menatap takut-taakut ke arah Niel. Ia memang ragu untuk menceritakan masalah ini pada Niel. Karena ia merasa Niel terlalu banyak membantunya. Juga karena ia tak sanggup mengatakan kemungkinan besar yang harus membuatnya pulang ke Tosakyo city secepatnya. Mungkin malam ini, setelah menemui Felicite-san.
“A-ku harus pulang ke Tosakyo city setelah ini, Niel,” kata Yui dengan nada pelan.
Grep! Dalam sekejab Niel sudah menggenggam erat tangannya. Seolah takut akan apa yang baru saja dikatakan Yui. Ia tak menyangka kalau Yui akan memutuskan untuk pulang secepat ini. “Kenapa? Kau tidak nyaman di sini?”
Yui menggeleng cepat. Ia bisa merasakan rasa tak suka dalam setiap kata yang diucapkan Niel. Rasa tak enak pun merasuk dalam hatinya. Ia merasa seperti orang tak tahu diri yang pergi begitu saja setelah diterima dalam lingkungan yang begitu baik ini.
“Bukan, aku merasa sangat nyaman di tempat ini,” elak Yui menolak mentah-mentah argumen yang diucapkan Niel. Bagaimana mungkin ia tak nyaman dengan orang-orang yang begitu memperhatikannya.
“Lalu?” desak Niel. Ia sungguh tak rela jika Yui pulang. Selama ia berada di dekat Yui, ia merasa lengkap, seolah apa yang hilang pada dirinya kembali utuh. Perasaan aneh yang membuatnya gila.
“Paman Ryuta bilang Hunter ‘ELF’ Gakuen akan diserang vampir Mud-Blood.”
Kalimat singkat itu cukup membuka pikiran Niel. Ditambah dengan raut wajah Yui yang nampak mendung dan gelisah. “Apa?”
“A-ku tak yakin tapi aku percaya pada Felicite-san jadi aku datang ke mansion Felicite-san untuk menanyakan apa yang terjadi dan apa yang harus ku lakukan. Aku tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada teman-teman dan ayahku disana.”
Niel menghembuskan nafas panjang. Ia melupakan sesuatu yang penting mengenai Yui. Ia lupa kalau Yui memiliki keluarga dan teman di tempatnya berasal. Ia tidak boleh egois dengan menahan Yui tetap di Oyharo city. Tapi ia masih tak rela melepaskan Yui ke Tosakyo city begitu saja. “Aku akan menemanimu kembali ke Tosakyo city.”
“Apa?”
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Merekibe’s Mansion
Yui meremas jemarinya dengan gugup. Ia menatap sesosok wanita cantik di depannya dengan cemas. Ia takut dengan apa yang akan ia dengar. Ia takut akan apa yang akan dikatakan peramal terkenal yang sudah tak diragukan lagi kemampuannya. Felicite Merekibe.
“Jangan gugup seperti itu, Yui,” tegur Felicite dengan nada lembut.
“Eh?” Yui terhenyak untuk sesaat. “I-ya, Felicite-san.”
“Apa kau siap mendengar ramalanku?” tanya Felicite dengan nada lembut. Sebenarnya ia tidak tega untuk mengatakan apa yang memang harus ia katakan. Melihat wajah pucat Yui yang nampak tersiksa membuatnya ragu untuk sesaat. Namun ia harus mengatakannya. Ia percaya pada Yui juga Ryuta yang mengatakan kalau Yui adalah gadis yang kuat.
“I-ya.” Yui hanya mampu menunduk dalam-dalam. Ia benar-benar takut akan apa yang ia dengar. ‘Andaikan saja ada Niel, aku tak akan setakut ini. Huh, kenapa di saat seperti ini aku malah memikirkan Niel. Ah, bodoh,’ batinnya.
“Aku hanya akan mengatakan apa yang aku lihat. Aku bukanlah Tuhan yang menentukan semuanya, Yui. Aku hanya diberi anugrah ini. Aku akan menggunakan anugrah ini dengan sebaik-baiknya. Kau pasti tahu tragedi yang dialami klan Kurochiki,” jelas Felicite. Ia tak ingin langsung pada apa yang ia lihat. Ia merasa harus memberi gambaran pada Yui bahwa ramalan hanyalah ramalan. Apa yang terjadi adalah takdir yang dipilih makhluk itu sendiri.
Yui tak mampu berkata-kata. Ia hanya menganggukkan kepalanya. Ia merasa sedikit sedih mengingat tragedi yang dialami klan Kurochiki. Namun ia tahu kalau tak selamanya ramalan harus merubah takdir.
“Besok malam, Tosakyo akan diserang vampir Mud-Blood. Raja Aiden sudah memperingatkan manusia. Aku tak bisa mengatakan apa kalian akan menang atau tidak. Karena menang ataupun kalah kalian akan tetap kehilangan. Kau harus pulang membantu temanmu, Yui,” jelas Felicite.
Yui mengangguk dengan pasti. “Ya, aku pasti akan pulang untuk membantu mereka, Felicite-san. Hanya mereka yang aku miliki, jadi aku akan melindungi mereka dengan nyawaku.”
Felicite tersenyum sendu. Ia tak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut gadis yang belum genap 17 tahun. Ia tak pernah meremehkan apa yang dikatakan Yui. Walaupun terlalu besar keinginan itu, tapi ia melihat kesungguhan terukir di wajah Yui. ‘Aku tak pernah menyangka kalau ‘dia’ akan semirip ini dengan Athrun dan Cagalli. Begitu mudah kah ia mengorbankan nyawanya untuk orang yang ia sayangi. Yui, kau tahu. Kau tidak sendirian. Kau masih memiliki Ryuta, kami dan....Niel.’
“Jadi begitu, apa aku boleh membantu Yui, Felicite-san?” celutuk Niel tiba-tiba. Ia berdiri dengan santai di ambang pintu ruangan yang menjadi tempat pembicaraan Yui dan Felicite. Walaupun wajahnya terlihat tenang, sesungguhnya ia menyimpan gejolak besar dalam hatinya. Ia mengkhawatirkan Yui. Ia mengatakan hal itu karena tak rela jika Yui menghadapi Mud-Blood tanpa bantuan. Ia tahu Yui hebat tapi ia tak akan menang jika melawan Mud-Blood yang jumlahnya sama dengan manusia, mungkin sekarang lebih banyak.
Yui dan Felicite secara serentak menatap ke arah pintu. Mereka kaget dengan kedatangan Niel yang tak terduga. Apalagi Yui yang wajahnya sudah merona kemerahan karena ditatap Niel dengan lembut. Ia hampir gila dengan semua perhatian yang Niel berikan.
“Ah, Niel-sama rupanya.” Felicite tersenyum simpul. Ia melirik Yui yang sudah menundukkan wajahnya yang merona merah. Ia tak tahu kalau ikatan mereka begitu kuat sekarang padahal baru beberapa hari mereka saling mengenal. Rupanya takdir tak sekejam yang ia pikirkan. “Tentu saja, Niel. Kau boleh membantu Yui. Kau bisa mengajak teman-temanmu. Kita tidak bisa meremehkan penyerangan ini. Kemungkinan besar, akan ada banyak vampir yang akan menyerang Hunter ‘ELF’ Gakuen.”
“Seberapa banyak?” tanya Niel. Ia hanya ingin memastikan siapa saja yang mungkin akan ia ajak dalam misi ini.
“Separuh dari jumlah mereka saat ini. Tujuan utamanya adalah membentuk prajurit baru.”
“Apa?”
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Langit terlihat gelap malam ini. Suasana mencekam menaungi seisi Oyharo city. Bulan tak nampak malam ini. Membuat kegelapan semakin menelan keindahan bintang di langit. Di sudut taman Northless Palace duduklah dua makhluk berbeda jenis. Keduanya nampak menikmati angin malam yang berhembus pelan. Angin malam yang mulai mendinginkan tulang. Gadis berambut panjang yang tergerai di punggung nampak memeluk tubuhnya sendiri. Rona kemerahan karena dingin mulai menghiasi wajahnya. Detak jantungnya terdengar tak stabil. Tubuhnya jelas mulai terpengaruhi udara dingin yang menusuk. Yui sudah menjadi manusia. Tentu ia tak akan tahan dengan rasa dingin yang mencekam ini.
Niel melirik gerak-gerik Yui. Sudah beberapa lama ia dan Yui hanya diam menikmati malam. Ia mulai menyadari kalau Yui kedinginan. Ia hampir melupakan kenyataan kalau Yui sudah menjadi manusia. “Kau merasa dingin?”
Yui tersentak kaget saat sebuah tangan yang dingin menyentuh lengannya. Ia menunduk malu saat menyadari siapa yang menyentuhnya. “Emm, ti-dak.”
“Kau bohong, Yui. Tubuhmu sudah menggigil,” sergah Niel yang tak sependapat dengan jawaban Yui. Dengan segera ia melepaskan mantel panjangnya dan memakaikannya ke tubuh Yui yang ia rasa sedikit kurus dari saat ia bertemu Yui di Tosakyo city. “Pakailah.”
“Emm, ti-dak perlu, Niel-sama,” kata Yui. Sedetik kemudian ia membekap mulutnya sendiri begitu menyadari aura tak enak di sampingnya.
“Kau ini keras kepala sekali, Yui. Aku sudah melarangmu memanggilku dengan istilah itu,” tegas Niel. Ia menatap Yui dalam-dalam meskipun gadis itu sudah menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Em, ma-af.”
Niel tersenyum simpul. Sayang Yui tak melihatnya. Sebelum Niel sempat menanggapi permintaan maaf Yui, sepasang tangan sudah melingkar di leher Niel. Ia tersentak kaget dan memusatkan konsentrasi pada aroma sekitarnya. Aroma lavender yang kuat dan bercampur dengan mawar yang menyesakkan hidung.
“Lepaskan!” tegas Niel sambil menepis tangan yang melingkar di lehernya dengan kasar.
Yui buru-buru menoleh ke belakang saat menyadari apa yang baru saja dilakukan Niel. Mata violetnya menatap kaget ke arah seorang gadis vampir yang ia kenal. Gadis pirang yang sempat berseteru dengannya. Izma Yamaichi. Ia semakin berjengit tak enak saat merasakan tatapan tak suka yang jelas-jelas dilancarkan Izma padanya.
“Kau! Si penyusup! Apa yang kau lakukan disini?” seru Izma keras. Dengan gerak cepat ia menerjang Yui.
Deg! Yui tak sempat memikirkan caranya menyelamatkan diri karena ia dalam keadaan manusia. Ia hanya mampu memejamkan matanya erat-erat. Grep! Bukan pukulan atau tendangan yang ia terima melainkan sebuah pelukan hangat yang melindunginya dengan erat. Pelukan yang mulai ia kenal dengan mudah. Pelukan Niel yang sedetik lebih cepat dari Izma dan berhasil melindungi Yui. Walaupun pada akhirnya pukulan Izma mengenai punggungnya. Ia rela asal Yui selamat.
“Yui, kau baik-baik saja?” bisik Niel dengan lembut di telinga Yui.
Yui tersentak kembali ke alam sadarnya. Menyadari pelukan protective yang diberikan Niel. Ia merasa nyaman sekaligus takut. Takut jika Niel mampu mendengar detak jantungnya yang sudah berderu keras bak ombak di lautan. “Emm, y-aa.”
“Cih!” Umpatan kasar terdengar lolos dari mulut Izma. Matanya menatap tajam ke arah Yui dan Niel. Ia sungguh tak rela pria idamannya begitu melindungi manusia yang telah menyusup di Vampire ‘Zero’ Academy. Dia adalah seorang Yamaichi yang terkenal sangat membenci manusia. Klan sombong yang rela melakukan apapun demi keuntungannya sendiri.
“Kau itu seorang manusia rendahan. Beraninya kau menggoda Putra Mahkota kami. Apa kau tak pernah berkaca. Kau tak pantas untuk Yang Mulia,” celoteh Izma dengan nada merendahkan yang sangat terasa di setiap kata-katanya.
Yui tersentak kaget. Ia seakan tersadarkan akan apa yang ia lupakan selama ini hingga ia berani mengharapkan suatu hubungan lebih dengan Putra Mahkota. Ia merasa menjadi gadis rendahan yang terlalu berharap pada perhatian yang telah diberikan Niel padanya. Ia selalu menyalahartikan kebaikan Niel. Tapi apakah ia salah jika menyukai Putra Mahkota Kerajaan Vampir? Ya, salah bagi banyak orang seperti Izma. Stret! Yui melepaskan pelukan Niel dan segera berlari menjauh dari taman yang sudah membuatnya sadar akan dimana posisinya berada. Ia yang rakyat jelata yang telah menyusup ke Vampire ‘Zero’ Academy. Ia yang tak tahu diri akan dimana posisinya. Ia akan selalu ingat kalau dia hanya manusia ‘biasa’.
“Yui!” seru Niel keras. Ia tak menyangka Yui akan lepas dari pelukannya. Ia bermaksud akan mengejar Yui namun tatapan mata penuh amarahnya berpaling ke arah Izma.
“Aku tak akan membiarkanmu hidup jika kau berani menyentuh ‘milikku’ seujung rambut pun,” ancamnya dengan nada dingin yang menakutkan. Setelah mengatakan hal itu, ia berlari kencang ke arah Yui melarikan diri.
Izma tertahan di tempatnya dengan wajah pucat. Ini pertama kalinya ia melihat tatapan mata yang sangat menakutkan dari seorang Putra Mahkota yang terkenal dingin itu. Sebenarnya siapa yang dimaksud dengan ‘milikku’? Apakah Yui? Sebenarnya apa yang dimiliki Yui yang tidak ada pada dirinya sampai Niel begitu melindungi Yui? Apakah hanya karena Yui adalah manusia?
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Yui berlari secepat mungkin ke arah Centerene Palace. Ia ingin mengubur wajahnya dalam bantal. Wajahnya pasti sudah kacau karena ia menangis di sepanjang perjalanan dari Northless Palace sampai sekarang, di taman Centerene Palace. Ia menghentikan langkahnya sejenak. Ia bersyukur Niel tak mengejarnya. Sehingga ia tidak harus menghadapi Niel. Walaupun terasa agak aneh jika Niel tak dapat mengejarnya. Padahal ia dalam keadaan manusia biasa. Tentunya mengejar manusia tak akan sulit bagi Niel. Apa Niel memang tak berniat mengejarnya? Apa Niel lebih memilih bersama Izma? Lalu kenapa tadi Niel begitu melindunginya dari Izma? Apa ia salah mengartikan perhatian Niel lagi?
Argh! Yui menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak tahu kenapa hatinya terasa sakit jika memikirkan Niel tak peduli padanya lagi. Ia yakin ada yang salah dengan tubuhnya. Ia selalu merasakan sakit jika berfikir Niel tak peduli padanya. Ia selalu merasa sakit jika Niel tak memperhatikannya lagi. Entah sejak kapan rasa itu timbul. Yang pasti tubuhnya juga akan panas dan aneh tiap kali Niel di dekatnya apalagi menyentuhnya. Ya! Apa dia mulai gila? Apa mungkin ia sudah jatuh cinta pada...... Niel?
“Yui,” bisik seseorang yang langsung melingkarkan lengannya di sekeliling leher Yui. Ia menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Yui. Menyesap aroma lavender yang memancar kuat dari tubuh Yui.
“Ni-Niel?” Yui tergagap seketika. Ia merasakan tubuhnya memanas dengan cepat begitu hembusan nafas Niel menerpa lehernya. Membawa sejuta sensasi aneh untuknya. Sensasi senang dan melayang. Membuat jantungnya berdetak dengan cepat, sampai ia takut jika jantungnya meloncat keluar dari rongga dadanya. Membuat aliran darah seolah berkumpul di wajahnya sampai membuatnya merah matang.
“Humm, jangan suka melarikan diri dariku, Yui. Kau tidak bisa dan tak akan pernah bisa lari dariku. Kau itu millikku dan aku adalah milikmu. Mulai sekarang, aku akan selalu menjagamu dalam keadaan apapun. Takdir ini tak akan berubah, aku yakin akan hal itu. Kau itu diciptakan untukku, hanya untukku,” bisik Niel. Lidahnya secara verbal melancarkan kalimat kepemilikan terhadap Yui. Ia tak tahu dari mana keyakinan itu datang tapi ia yakin apa yang ia katakan adalah benar dan bisa ia pertanggungjawabkan. Ia adalah Putra Mahkota yang selalu menepati janji.
“Emm, Niel.” Yui tak mampu berkata-kata. Ia shock mendengar pengakuan lugas dari sang Putra Mahkota. Tapi ketenangan aneh menyusup ke dalam hatinya yang seolah sudah mendapat kepastian dari Niel. Untuk sekarang ini, ia cukup tenang dan tak terlalu memikirkan perkataan Izma lagi.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Centerene Palace, 3 a.m
Yui sudah berdiri dengan sedikit gelisah di depan kamar Ryuta. Ia akan segera pulang ke Tosakyo city namun ia tak cukup mempunyai keberanian untuk berpamitan pada Ryuta, orang yang telah menjaganya dengan sangat baik selama ia berada di Oyharo city. Entah karena apa, ia tak rela meninggalkan Ryuta. Ia terlanjur menyayangi paman jadi-jadiannya itu.
“Yui, kau tak mau masuk?” tegur Liannaka dengan ramah seperti biasa. Ia sudah memperhatikan Yui yang hanya berdiri mematung di depan kamar tuannya sambil sesekali berjalan mondar-mandir tak tentu arah. Ia menjadi kesal sendiri melihatnya. Ia tak punya pilihan selain menegur sang keponakan tuannya.
“Eh?” Yui tersentak kaget dan segera melihat Liannaka dengan senyum malu-malunya. Ia merasa tak enak ketahuan oleh Liannaka, orang yang selama ini begitu baik padanya. “Emm, apa tidak apa-apa, Liannaka-san? Ini masih pagi buta.”
Liannaka tersenyum lembut. Sebenarnya ia tidak rela jika Yui kembali ke Tosakyo city sekarang. Ia sudah terbiasa melihat nona-nya kembali berkeliaran di Centerene Palace lagi setelah sekian lama menghilang. Namun ia tahu kalau tidak mungkin menahan nona-nya untuk tetap disini. Tidak sebagai Yui Fukuzawa. “Tidak apa-apa, Yui-sama. Biasanya Ryuta-sama sedang berjalan-jalan di taman pada jam seperti ini. Tentu Yui-sama tahu kalau Ryuta-sama suka akan ketenangan.”
Yui mengangguk mengerti. Ia memang sudah mengetahui kesukaan Ryuta pada ketenangan. Walaupun baru beberapa hari ia ada di Centerene Palace, ia merasa telah mengenal baik kebiasaan Ryuta juga Liannaka dan semua pelayan di Centerene Palace. Tubuhnya tidak merasa canggung dengan keadaan Centerene Palace, juga semua tempat di Oyharo city. Ini membuatnya sedikit bingung. Tapi ia selalu menyakinkan diri kalau semua itu disebabkan akan kebiasaannya membaca buku. Ia tahu semua sudut Oyharo city melalui buku yang ia baca.
“Emm, baiklah. Terima kasih, Liannaka-san. Tapi aku rasa kau tidak perlu memanggilku dengan ‘Yui-sama’ lagi. Aku sudah bukan Yui Ust Kurochiki lagi tapi Yui Fukuzawa,” kata Yui sambil tersenyum manis.
Liannaka tidak tersenyum sama sekali. Ia justru terdiam dan memasang wajah sedih. ‘Aku terlalu gegabah. Dia bukan nona-ku yang dulu. Ah, tidak. Dia belum menjadi nona-ku lagi. Belum waktunya aku mengabdikan diriku sepenuhnya padanya. Belum waktunya aku memperlakukannya seperti dulu. Aku harus bersabar sampai bulan purnama tiba 2 minggu lagi,’ batinnya. Buru-buru ia merubah ekspresi sedihnya dengan senyum lembut. “Bagiku kau tetap Yui-sama, Nona.”
Kalimat yang baru saja dilontarkan Liannaka membuat Yui sedikit tersipu malu. Ia merasa tersanjung dengan pujian Liannaka. Namun kenyataan menamparnya kembali ke kehidupan nyatanya. “Emm, tolong panggil aku dengan ‘Yui’ saja jika kita bertemu lagi nanti. Aku tidak pantas dipanggil ‘Yui-sama’. Aku bukan vampir seperti paman Ryuta.”
Liannaka mengelak keras anggapan ‘ketidakpantasan’ yang dikatakan Yui. Namun ia harus menelan semuanya dalam hatinya. Ia tidak mungkin mengungkapkan semuanya di depan Yui. Semua akan menjadi kacau. “Ba-baiklah, Yui-sama, emm.”
Yui menatap penuh arti pada Liannaka yang tetap memanggilnya dengan ‘Yui-sama’. “Yui saja.”
Liannaka tersenyum lembut. Ia tak bisa mengingkari jika Yui sangat pemaksa seperti ibunya. “Baik, Yui. Tapi selama kau masih di Centerene Palace, namamu tetap Yui-sama.”
Yui tertawa kecil. “Baiklah, Liannaka. Kalau begitu aku akan memanggilmu dengan Liannaka. Bagaimana?”
Liannaka mengangguk tanpa mengiyakan permintaan Yui. Ia tak mungkin selancang itu pada Yui. Walaupun Yui yang ada di depannya belum menjadi Yui-sama yang selalu ia hormati. “Kau bisa memanggilku dengan apapun.”
“Ah, aku harus segera menemui paman. Sebelum matahari terbit aku harus berangkat ke Tosakyo,” kata Yui tiba-tiba setelah tersadar akan apa yang menjadi tujuannya.
Liannaka menaikkan sedikit alisnya. Ada pertanyaan mendasar yang memenuhi otaknya karena Yui tak memintanya menemani ke Tosakyo. “Dengan siapa kau ke Tosakyo? Kau tidak mungkin ke sana sendirian.”
Deg! Tanpa bisa dicegah, rona merah mengakar di wajah Yui begitu mendengar pertanyaan Liannaka. “Emm, eh itu...”
Hanya dengan melihat perubahan wajah Yui, Liannaka dapat menebak dengan siapa Yui akan ke Tosakyo city. Yang sedikit mengganggu pikirannya hanya ‘kenapa mereka seperti lem yang terus mengikat satu sama lain?’ Ia merasa kalau sang Putra Mahkota selalu menempel kuat kemana pun Yui pergi setelah bertemu Yui. Apa memang ada pengikat kuat antara kedua orang itu yang membuat keduanya terus bersama meski tanpa ingatan?
“Niel-sama kah?” tanya Liannaka dengan nada menggoda.
Bisa dipastikan wajah Yui semakin memerah. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam seolah takut jika Liannaka melihatnya. Padahal tanpa melihat pun Liannaka tahu jika Yui akan memerah setiap disinggung tentang Niel.
“Berhati-hatilah, Yui-sama.”
Yui mengangguk sekali sebelum beranjak pergi dari tempatnya berdiri. Ia menyempatkan diri untuk memeluk Liannaka. Yang membuat wanita itu tersentak kaget. Tak menyangka akan menerima pelukan hangat dari Yui.
“Aku akan merindukanmu. Doakan kami menang, Liannaka,” kata Yui dengan nada pelan. Ada keresahan yang menyelimuti hatinya.
“Tentu, Nona. Kalian pasti menang.”
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Seorang laki-laki duduk dengan tenang di dekat kolam ikan koi yang tak jauh dari hamparan pepohonan bunga sakura. Pemimpin klan Kurochiki itu melamun sambil menatap langit yang masih gelap. Memang masih pagi buta tapi itulah yang ia cari. Ketenangan yang selalu meresapi setiap pagi buta di taman belakang Centerene Palace yang penuh dengan hamparan pohon bunga terutama pohon sakura yang merupakan bunga kesukaan kakak iparnya.
“Paman,” panggil seorang laki-laki berambut hitam kemerahan seraya duduk di dekat Ryuta, sang pemimpin klan Kurochiki.
Ryuta tersenyum sekilas sebelum berbalik menghadap keponakannya itu. Memang di antara mereka tak pernah ada hubungan darah namun bagi Ryuta, Niel adalah keponakannya, juga termasuk semua anak anggota keluarga Toushimori. Mereka adalah keponakan yang tak terjalin hubungan darah. “Ya, Niel. Tumben sekali kau datang mencariku pagi-pagi buta seperti ini.”
Niel tertawa pelan. Ia mengabaikan sindiran pamannya itu. Ia memilih untuk menatap langit yang masih gelap seperti yang dilakukan pamannya beberapa saat sebelum kedatangannya. Langit gelap itu masih setia menampilkan bingkaian keindahan yang hanya bisa ditemukan di pagi buta. Bulan yang masih bulat. Bintang-bintang yang setia berkedap-kedip. Venus yang terasa semakin jauh. Dan angin yang mulai merebakkan aroma bunga lily yang tumbuh di musim dingin.
“Paman, aku akan pergi menemani Yui ke Tosakyo city. Anza, Rima, Marion dan Rolfer akan menyusul besok,” kata Niel tiba-tiba.
Ryuta yang hampir mengalihkan pandangannya pada Niel, kembali menatap pasti ke arah Niel. Ia mengulum senyum kecil yang nyaris tak nampak. Ia memilih untuk memperhatikan ikan-ikan koi yang sibuk berenang kesana kemari. “Berhati-hatilah. Jangan sampai Yui terluka.”
“Eh?” Niel langsung menatap Ryuta dengan tatapan bingung. Yang ditatap hanya tersenyum simpul. Senyuman yang tidak bisa diartikan oleh Niel.
“Hemm, dia juga keponakanku, Niel. Aku menyayanginya jadi jangan sampai dia terluka,” lanjut Ryuta seakan mengerti akan tatapan bingung yang diberikan Niel padanya. Ia tak pernah bercanda dan main-main dalam berkata-kata. Yui memang keponakannya.
“Ya, aku akan menjaganya. Paman jangan khawatir,” kata Niel dengan diakhiri senyum simpul di sudut bibirnya.
Keduanya terhanyut dalam keheningan pagi. Terbuai akan pesona pagi yang tenang. Ryuta mengamati tiap gerak ikan-ikan koi di hadapannya. Seolah mereka adalah tontonan paling menarik daripada sosok tampan di sampingnya. Sementara Niel memilih untuk tetap diam. Ia menghirup aroma bunga lily yang bercampur dinginnya salju. Entah kenapa hanya dengan menghirupnya, membuatnya merasa tenang. Di sudut dalam saraf di otaknya ia teringat pada Yui. Gadis itu sudah seperti candu yang terus membuat akalnya hilang saat berada di dekatnya. Sungguh perasaan yang aneh bagi Niel. Namun perasaan itu tidak menyakitkan, justru sangat menenangkan dan menyenangkan. Ia senang saat bisa melihat semburat merah di pipi Yui. Ia senang saat ia bisa mendengar detak jantung Yui yang terus berdetak kencang bila di dekatnya. Dapatkah ia artikan semua itu dengan ‘Yui menyukainya?’. Mungkin ia aneh. Ini memang pertama kali dalam hidupnya, bahwa ia begitu tergila-gila pada seorang gadis terutama gadis dari kaum manusia yang ia benci.
“Paman!”
Sebuah suara merdu memenuhi indera pendengaran tajam dari mereka. Keduanya secara serempak memutar kepala mereka ke arah datangnya suara itu. Seorang gadis berambut panjang yang berkibar seiring langkahnya yang tergegas ke arah dimana keduanya berada.
“Yui.”
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Seorang gadis beriris coklat kemerahan berjalan cepat menuju taman belakang Centerene Palace. Dengan lincah kaki mungilnya menyusuri jalan setapak berbatu yang menuju taman belakang. Seragam Hunter-nya berkibar tertiup angin yang berasal dari pergerakan tubuhnya. Kemeja putih dengan rok lipit berwarna biru muda, minus mentel dan dasi. Sesekali gadis itu berhenti untuk melihat sekelilingnya. Berharap dapat menemukan vampir yang ia cari dengan cepat sebelum waktu keberangkatannya tiba. Ia tak mau membuat teman seperjalannya menunggu.
“Ah, dimana ya?” gumamnya pelan. Ia menghentikan langkahnya tepat di tengah taman. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru taman. Matanya berbinar senang saat menemukan apa yang ia cari. Pemimpin klan yang nampak sedang menikmati keindahan taman di dekat kolam ikan koi.
Tanpa berfikir dua kali, ia langsung bergegas mendekati kolam ikan koi dimana Ryuta, pemimpin klan Kurochiki berada. Ia meneriakkan panggilan yang biasa ia ucapkan pada Ryuta dengan keras sebelum benar-benar dekat dengan posisi Ryuta.
“Paman!”
Langkahnya terhenti karena baru menyadari kalau ada dua sosok di dekat kolam ikan koi. Pamannya tidak sendirian.
“Yui.”
Gadis itu tersentak kaget saat mendengar namanya disebut dengan suara yang sangat ia kenal. Ia lebih kaget lagi saat melihat sosok yang memberinya mimpi indah tadi malam sedang duduk di samping pamannya. Dengan terbata ia melafalkan nama sosok itu.
“N-ni-el.”
Niel langsung berdiri dari posisi duduknya dan segera berjalan dengan cepat mendekati gadis yang tadi malam ia klaim sebagai miliknya. Senyum langsung menghiasi bibirnya. “Kau mau berpamitan dengan paman Ryuta?”
“Emm, ya,” jawab Yui dengan gugup. Ia merasa kakinya lemas seketika saat Niel mendekatinya. Melihat Niel membuatnya ingat akan apa yang dikatakan Niel padanya tadi malam. Ia bisa mengingat dengan jelas apa yang dikatakan Niel tadi malam. Ia hafal setiap kata yang diucapkan oleh Niel.
“Humm, jangan suka melarikan diri dariku, Yui. Kau tidak bisa dan tak akan pernah bisa lari dariku. Kau itu millikku dan aku adalah milikmu. Mulai sekarang, aku akan selalu menjagamu dalam keadaan apapun. Takdir ini tak akan berubah, aku yakin akan hal itu. Kau itu diciptakan untukku, hanya untukku.”
Wajah Yui langsung memerah karena mengingat setiap detail kata yang diucapkan Niel padanya tadi malam. Ia tak bisa mengontrol wajahnya untuk tidak memerah. Perutnya serasa dipenuhi kupu-kupu dan dadanya sesak akan perasaaan yang memenuhinya. Secara reflek ia menundukkan wajahnya karena bertatapan dengan Niel tanpa sengaja saat ia berusaha menghindari tatapan ingin tahu yang dilancarkan pamannya. Jantungnya memacu dengan cepat. Membuatnya takut kalau dua vampir di dekatnya sekarang bisa mendengarnya dengan jelas.
“Yui, kemarilah,” panggil Ryuta.
Tanpa paksaan apapun, Yui langsung bergerak mendekati Ryuta. Ia agak canggung karena ada Niel di belakangnya yang terus mengikutinya. “Paman, aku-“
“Aku tahu. Berhati-hatilah. Jangan terlalu memaksakan diri,” kata Ryuta sebelum Yui sempat menyelesaikan apa yang mau ia katakan. Ia sudah memperkirakan kalau Yui akan berpamitan padanya. Oleh sebab itu ia memilih tempat ini untuk bertemu. Kedatangan Niel lah yang di luar perkiraannya. Karena semua sudah direncanakan, ia sudah menyiapkan segala hal yang bisa membantu Yui melawan Mud-Blood. Ia meraih sebilah pedang dan pistol yang diletakkan tak jauh dari tempatnya duduk.
“Ini untukmu, aku yakin kau akan membutuhkannya,” kata Ryuta sambil menyerahkannya pada Yui.
Tanpa bertanya apapun, Yui langsung menerimanya. Ia senang melihat pistol kesayangannya kembali padanya. Dan lagi, ia tak menyangka akan mendapat pedang yang sangat indah dari Ryuta. Pedang yang ia kagumi sejak awal melihatnya dan semakin jatuh hati sejak ia diberi kesempatan untuk memakainya.
“Terima kasih, paman.” Yui menundukkan sedikit badannya untuk menunjukkan rasa hormatnya pada Ryuta.
Ryuta tersenyum. Ada rasa senang dan sedih yang menyatu dalam ekspresinya. Ia berusaha bersikap sedatar mungkin. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong mantelnya. Sebuah kalung berliontinkan bunga lily mungil yang terbuat dari batu kristal berwarna ungu yang sangat memukau. Ia menyodorkannya pada Yui. Senyum geli terlukis di wajahnya saat melihat ekspresi bingung yang ditunjukkan oleh Yui. “Anggap saja ini adalah jimat dariku.”
Yui menatap Ryuta dengan tatapan senang. Ia tak pernah menyangka kalau Ryuta akan memberikan sebuah hadiah yang sangat indah padanya. Ia menyukai kalung pemberian Ryuta yang telah ada di tangannya sekarang. Ungu. Warna yang sangat ia sukai. “Terima kasih, paman.”
Niel yang melihatnya hanya diam. Ia merasa ada ikatan khusus antara pamannya dengan Yui. Tentu bukan ikatan sarat perasaan seperti yang ia rasakan. Namun lebih kepada ikatan keluarga. Ia tidak suka melihat ekspresi gembira di wajah Yui saat melihat kalung dari pamannya. ‘Paman mendahuluiku. Apa yang bisa aku berikan untukmu sebagai jimat, Yui? Aku harus melakukan sesuatu,’ batinnya.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Di sebuah gua di dekat Sorrow Forest
“Apa semua sudah siap, Mark? Aku tidak mau gagal lagi. Kau tahu ini adalah rencana besarku. Aku sudah menunggu hari ini selama bertahun-tahun. Jangan coba menggagalkan rencanaku lagi,” kata seorang pria setengah baya yang sedang duduk dengan angkuhnya di atas kursi bebatuan marmer di dalam gua, di sudut tersembunyi. Rambut hitamnya berkilat ditimpa cahaya rembulan yang menelusup melalui celah-celah atap gua.
Mark hanya menunduk hormat. Ia tak menjawab sedikitpun.
“Apa kau tidak punya mulut untuk menjawab tuanmu ini, idiot!” seru pria berambut hitam itu dengan ketus. Ia tak suka dibuat menunggu dan diabaikan, meski oleh orang kepercayaannya sendiri.
Mark tersentak kaget. Ia memandang tuannya dari sudut matanya. ‘Dia tak akan pernah membentakku seperti ini. Demi Tuhan aku akan membunuhmu jika waktunya tepat.’
“Ya, tuanku. Saya sudah menyiapkan semuanya.”
“Bagus. Ingat! Jangan coba-coba kau mengacaukannya lagi. Kau kira aku tidak tahu kalau kau sengaja membunuh Rome agar tidak membantu penyerangan anggota klan kemarin? Kau bodoh jika kau berpikir seperti itu. Aku tahu semuanya, Mark. Jadi jangan coba-coba merencanakan sesuatu yang merugikanku. Atau aku akan membunuh adik kesayanganmu itu.”
Mark mengeras dalam posisi bungkuknya. Ia menahan amarahnya mati-matian. “Ya, Tuanku.”
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
6 komentar:
semakin seru
banyak adegan yui sama niel y
wkwkwk
skarang pindah paten upload k blog ni??
oke2 gag masalah
era_de_elf
^^v
ditunggu kelanjutannya :D
~one of ur fans in wattpad~
sbnarnya sdih np tdak di post d wattpad...pe tdak ap2 yang penting crtanya di lanjutkan...
snangnya neil ma yui mkn dkat..hehe
slalu d tunggu next chapternya...smangat nulis next chapternya ya...^__^
by one of your fan in wattpad
ahhhhh aku puas banget bacanya banyak adegan Niel sama Yui nya, itu sangat menyenangkann, . .hahaha.
ceritanya makin tambah seru aja, .
gak sabar nunggu lanjutannya deh ,,:-D
#ayanasari
kapan dilanjutinnya? Makin penasaran... Baru tau tadi pagi kalau dilanjutinnya disini.. Kenapa nggak di wattpad lagi?
Ah... ceritanya terlalu keren >.<
tapi telat di post di wattpad ya?
semangat ya chingu, jangan sampai buntu ide ya...
di tggu kelanjutannya :)
Posting Komentar