Fourth Rule of Seven Rules
"Vampire can use their power to influence human for get blood after 12 p.m."
The Last Pure-Blood Vampire | The First Trace
The wheel of destiny begin to turn on again.
Nobody knows how God plays our destiny.
Everyone acts like a doll.
Anything they do have written in the destiny book.
Just a little thing can be change.
What is it?
Nobody can guess it.
Yui's Room, Centerene Palace, 4.30 p.m.
Yui termangu di depan cermin lemari pakaian dengan ekspresi aneh yang tidak bisa ia jelaskan sendiri. Ia takjub juga kaget dengan refleksi cermin yang menunjukkan dirinya sendiri dalam status vampir. Wajah pucat membingkai wajahnya dengan indah. Mata beriris coklat kemerahannya membinarkan aura ramah dan waspada. Rambut coklatnya terikat tunggal ke belakang dengan sempurna. Tubuh mungilnya terbalut kemeja lengan pendek sampai siku berwarna hitam pekat dengan garis putih di setiap pinggir potongan kemeja dan dipadu dengan rok mini lipit sampai lutut berwarna hitam. Selain itu ada mantel berkerah tinggi berwarna hitam yang memanjang sampai ke mata kaki. Perpaduan kemeja, rok dan mantel itu adalah seragam Vampire 'ZERO' Academy. Selain itu Yui juga mengenakan stileto hitam berhigh heels 7 cm yang menutup kakinya sampai 5 cm di bawah lutut. Ia memakainya untuk menutupi tinggi tubuhnya yang bisa dikatakan kurang untuk ukuran vampir wanita kelas atas yang sering ia temui.
"Kau sudah siap?" tanya Liannaka.
Yui tersentak kaget namun ia segera bersikap tenang dan anggun. Ia tersenyum simpul sebelum menjawab dengan suara lembut. "Aku sudah siap, Liannaka-san. Bisa kah aku berangkat sekarang?"
Liannaka sempat takjub melihat penampilan Yui juga cara bicara Yui. Namun ia segera tersadar dari pesona Yui karena ia punya tugas penting. Mengantar Yui ke Vampire 'ZERO' Academy sebelum jam 5. Karena pada jam itu pelajaran akan dimulai.
"Tentu saja. Kau ada kelas jam 5 nanti. Aku akan mengantarmu sekarang," kata Liannaka. Ia berjalan ke arah pintu dengan Yui mengikuti di belakangnya dengan tas ransel di pundaknya. Ia teringat sesuatu. Dengan cepat ia memutar kepalanya ke arah Yui. "Kau sudah minum obatmu? Apa kau membawanya?"
"Ya, aku sudah meminumnya dan aku juga membawanya di mantelku," kata Yui.
"Baiklah. Good Luck." Liannaka tersenyum sekilas sebelum kembali berjalan membimbing Yui menuju parkiran kendaraan di dekat taman belakang Centerene Palace.
Yui menghela nafas panjang sebelum kembali berjalan. Ia gugup. Ini pertama kalinya ia segugup ini. Mungkin karena apa yang akan dilakukannya kali ini berbeda jauh dengan apa yang biasa ia lakukan. 'Belajar di tengah kawanan vampir? For God Sake! Memangnya aku punya berapa nyawa untuk melindungi diriku sendiri?' pikirnya.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Vampire 'ZERO' Academy, 4.45 p.m.
Niel berjalan pelan menyusuri koridor menuju kelasnya di ujung koridor yang berbatasan dengan taman tengah. Di tangan kanannya terselip sebuah buku tebal. Di belakangnya ada Marion yang sibuk berdebat dengan Rima. Di sampingnya ada Rolfer yang sibuk mengamati keadaan di luar gedung melalui kaca pembatas di sepanjang koridor.
"Rima-chan, kau tahu kan kalau itu tidak mungkin," kata Marion untuk kesekian kalinya. Ia mulai lelah menyakinkan Rima.
"Mungkin saja, bodoh!" sergah Rima. Ia menatap Marion dengan tajam seolah siap menguliti Marion. "Dia sudah menjadi anak angkat klan-"
"Tapi tidak mungkin dia bisa masuk kelas Superior. Memangnya dia pantas?" potong Marion cepat.
"Tentu saja. Itu alasan kenapa dia bisa diangkat anak oleh pemimpin klan-"
"Tidak mungkin, Rima! Kenapa kau membelanya seperti ini? Memangnya kau mengenalnya?" Lagi-lagi Marion memotong kalimat Rima seenaknya sendiri.
Rima mendengus kesal. "Haahhh! Kau menyebalkan!"
Niel nampak tak terganggu sama sekali. Matanya tetap terfokus pada jalan yang ada di depannya. Berbeda dengan Rolfer yang mulai terganggu dengan pertengkaran Rima dan Marion, akhirnya angkat bicara.
"Ckk! Kalian berisik sekali. Apa yang sebenarnya kalian ributkan, huh?" sembur Rolfer.
Rima menatap Marion dengan kesal sebelum mengalihkan tatapannya pada kakaknya. "Teman bodohmu itu meragukan analisaku."
"Siapa yang kau bilang bodoh? Aku hanya mengatakan logika," sahut Marion. Nampaknya ia tak terima disebut bodoh oleh Rima.
"Logika apa, hah? Kau itu meragukan paman Ryuta?" tanya Rima sambil menatap sinis ke arah Marion.
Marion sudah bersiap membalas namun sepasang tangan sudah membekap mulutnya terlebih dahulu.
"Hei! Kenapa kalian membawa nama paman Ryuta segala?" tanya Rolfer cepat sambil membekap mulut Marion kuat-kuat.
"Apa yang kalian bicarakan? Sudah waktunya pelajaran," kata Niel dengan nada datar yang menuntut. Tanpa menunggu tanggapan dari teman-temannya ia langsung bergegas pergi.
"Kenapa dengannya? Kadang dingin, kadang aneh, kadang perhatian. Apa dia salah minum obat?" keluh Rima tanpa dosa.
"Mungkin ada masalah. Nah, sekarang jelaskan padaku. Apa yang kalian ributkan?" sahut Rolfer cepat sebelum topik pembicaraan berubah.
"Biar aku yang cerita. Jadi kabarnya akan ada murid baru di kelas kita. Dia adalah anak angkat paman Ryuta," jelas Rima dengan cepat.
"Tidak. Perlu ku ralat. Dia belum tentu masuk ke kelas kita," tambah Marion.
"Siapa dia?" tanya Rolfer, mengabaikan debat kusir antara Rima dan Marion.
"Aku tidak tahu," jawab Rima dan Marion bersamaan. Keduanya saling tatap lantas saling membuang muka.
"Tidak ada yang tahu dia siapa. Mungkin laki-laki atau mungkin perempuan. Nobody knows," tambah Rima.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Yui berjalan tepat di belakang Liannaka dengan sedikit menunduk. Ia tidak terbiasa dengan tatapan ingin tahu dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia merasa ada setumpuk kotoran yang melekat di tubuhnya sampai-sampai orang-orang begitu ingin melihat ke arahnya.
"Yui, tenang saja. Tidak ada kotoran di wajahmu," bisik Liannaka. Seolah ia tahu apa yang dipikirkan oleh Yui.
"Humm. Tapi kenapa mereka melihatku terus?" tanya Yui pelan. Ia benar-benar tak nyaman dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.
"Ini hal biasa untuk murid baru. Vampir yang bersekolah di sini tak sebanyak di Hunter 'ELF' Gakuen. Di sini hanya vampir half-blood yang bisa sekolah di tempat ini," jelas Liannaka. Penjelasan itu sedikit membantu Yui untuk lebih tenang.
"Kita akan kemana, Liannaka-san?" Yui melontarkan pertanyaan yang ingin ia tanyakan sejak tadi. Seingatnya, sejak tadi ia hanya berjalan melewati banyak koridor, belok kanan dan kiri. Jujur, ia bingung.
"Kita ke ruang Faye-san, Faye Merekibe, headmaster Vampire 'ZERO' Academy."
Yui mengerutkan keningnya. Ia merasa pernah mendengar tentang klan Merekibe. Kalau ia tidak salah, klan Merekibe adalah klan yang mempunyai kemampuan khusus. Kemampuan yang tak dimiliki klan lain, yaitu kemampuan melihat masa depan. 'Merekibe... Faye... Fe... Apa ya? Aku agak lupa. Fe... Li atau Fe... Ra? Eh, aku ingat. Felicite Merekibe, orang yang meramalkan kehancuran klan Kurochiki. Tunggu dulu. Apa mereka ada hubungan persaudaraan? Bukankah mereka dari klan yang sama?' pikirnya.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Liannaka. Ia heran melihat Yui mengernyitkan keningnya begitu dalam. Ia tahu kalau Yui sedang memikirkan sesuatu.
"Tidak, Liannaka-san. Aku hanya sedang berpikir. Apa Faye Merekibe dan Felicite Merekibe bersaudara?" kata Yui pelan. Ia agak ragu untuk menyampaikan apa yang ia pikirkan.
Untuk sejenak, Liannaka terdiam. Ia tak menyangka kalau Yui juga tahu tentang Felicite Merekibe. 'Sebenarnya sebanyak apa yang sudah kau ketahui tentang kerajaan vampir? Apakah ing-eh, tidak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja dia tahu,' pikirnya.
"Memang mereka bersaudara. Faye-san adalah kakak dari Felicite-san."
"Oh." Yui hanya menanggapi dengan singkat karena mereka sudah sampai di depan sebuah pintu bertuliskan 'Headmaster's Room'. Tanpa disuruh, Yui masuk ke dalam ruangan, mengikuti apa yang dilakukan Liannaka.
"Permisi, Faye-san," sapa Liannaka dengan lembut.
Seorang wanita berumur 30-an menoleh ke arah pintu masuk. Wajah tirusnya sekilas sangat mirip dengan Felicite. Yang membedakannya dengan adiknya hanya warna rambut dan usia. Mata mereka sama-sama beriris coklat terang. Tapi rambut Faye berwarna coklat terang.
"Ah, Liannaka-san. Kau sudah datang rupanya." Faye mengalihkan pandangannya ke arah Yui. Ia agak kaget melihat Yui. Namun ia segera menyunggingkan senyum ramah. "Dan ini pasti Yui."
"Senang bertemu dengan anda. Mohon bantuannya." Yui membungkuk sekilas saat namanya disebut. Ia tak bisa kaget lagi. Kenapa Faye bisa tahu tentangnya padahal mereka belum pernah bertemu. Ia sadar kalau Ryuta sudah mengatur semuanya dengan baik.
"Duduklah." Faye mengisyaratkan pada Yui dan Liannaka untuk duduk. Ia menatap Yui dengan tatapan rindu dan itu membuat Yui bingung.
"Kau sudah bertemu Felicite, Yui?" tanya Faye.
"Eh? A-pa?" Yui kaget akan pertanyaan yang keluar dari mulut Faye. Sangat jauh dari bayangannya. "Em, belum. Saya hanya pernah membaca bukunya."
"Maksudmu The Shadow of The Destiny?" tanya Faye.
"I-iya."
Faye yang awalnya kaget bukan main. Sekarang jauh lebih tenang. Ia hanya tak menyangka kalau Yui begitu dekat dengan takdirnya. 'Dia pasti dirawat orang yang tepat,' batinnya.
"Bagaimana menurutmu? Apa buku itu bagus?" tanya Faye.
"Tentu saja. Buku itu tepat. Setiap makhluk hidup pasti mempunyai takdirnya sendiri-sendiri. Setiap kalimat dalam buku itu terasa benar-benar nyata. Aku sangat suka buku itu," jelas Yui dengan penuh semangat.
Faye tersenyum simpul. Ia sependapat dengan Yui mengenai takdir. "Felicite pasti senang kalau tahu ada yang menyukai bukunya. Ah, sebelum aku lupa, aku akan mengatakannya padamu."
"Apa itu, sensei?" tanya Yui.
Faye tersenyum simpul. "Kau akan ku masukkan ke kelas Superior."
"Apa?" seru Yui dan Liannaka bersamaan. Keduanya sama-sama kaget mengetahui hal itu walaupun dengan alasan berbeda. Yui kaget karena kelas Superior yang ia tahu adalah kelas yang tingkatnya paling tinggi di akademi vampir. Sementara Liannaka khawatir akan keberadaan Yui yang terlalu dekat dengan Half-Blood.
"Aku akan mengantarmu ke kelas sekarang."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Superior Class, Vampire 'ZERO' Academy
"Hei, benar tidak kalau murid baru itu masuk ke kelas ini?" bisik Marion pelan agar tidak terdengar oleh Kenz Ushouruma yang sedang mengajar di depan kelas.
"Tsstt! Bisa tidak kau diam, aku pusing mendengarmu," jawab Rima tak kalah pelan.
Kenz Ushouruma melirik ke arah bangku di belakang bangku Niel dari atas kacamatanya. Ia memasang ekspresi aneh di wajahnya yang cukup tampan. Rambut merah dengan layer hitam di beberapa bagian menambah aneh penampilannya. Ia tampak mencolok dengan setelan berwarna putih bersih. Apalagi semua siswa maupun interior kelas berwarna gelap. Ia menghentikan kegiatan menulisnya. Ia menatap lurus ke arah Marion dan Rima yang duduk di satu bangku.
"Toushimori dan Jurotsuchi, apa yang kalian ributkan?"
Rima dan Marion segera memasang wajah innoncent terbaik mereka. Mereka menyajikan senyum tanpa dosa pada sensei kesayangan mereka.
"Tidak ada apa-apa, sensei," kata mereka bersamaan.
"Benarkah? Tadi ku dengar kalian bisik-bisik tentang murid baru," sahut seorang perempuan cantik berambut pirang sebahu tanpa diminta. Matanya berkilat sombong khas klan Yamaichi. Dia adalah Izma Yamaichi, putri tunggal Novak Yamaichi.
Rima mendengus kesal. Ia bergumam pelan. "Dasar muka tebal."
Kenz nampak tak memperhatikan Izma. Ia tetap memandang ke arah Marion dan Rima. "Memang ada murid baru tapi topik ini tidak bisa kalian bicarakan di dalam kelas. Kali ini kalian ku maafkan."
"Cih, selalu saja dimaafkan. Guru macam apa yang selalu memaafkan muridnya yang berbuat salah. Kau tak pantas menjadi guru kami," cetus Arca Yamaichi, sepupu Izma, dengan pedas. Rambutnya yang dicat hijau toska terlihat kontras dengan kulit kuning langsatnya. Sebagai anggota klan Yamaichi, ia tetap memiliki tatapan mata sombong. Dan dia memang suka merendahkan orang lain.
"Tutup mulutmu, Yamaichi," tegas Niel dengan nada tajam.
"Itu bukan urusanmu, Pangeran!" balas Arca dengan menekankan pada kata Pangeran. Ia adalah lawan adu mulut paling berat bagi Niel. Seringkali Niel mengalah padanya. Niel terkenal tak mau ikut campur terlalu jauh ke dalam masalah orang lain.
"Arca, jangan melawan Pangeran," bisik Izma.
"Dia tidak pantas kau puja, Izma," tandas Arca.
Thok! Thok! Thok!
Pintu ruang kelas diketuk pelan dari luar. Kenz yang awalnya ingin melerai Izma dan Arca yang mulai adu mulut, membatalkan niatnya. Ia segera mendekat ke pintu. Ia mengisyaratkan pada murid-muridnya untuk tenang sebelum ia membuka pintu. Begitu pintu terbuka, muncul sosok headmaster dengan seorang gadis mungil di belakangnya.
"Selamat datang Merekibe-san," sapa Kenz dengan ramah. Ia mempersilakan Faye, sang headmaster dan sosok di belakangnya masuk ke dalam kelas dengan isyarat tangan.
Suasana yang awalnya agak ramai langsung berubah hening. Hampir semua pasang mata menatap takjub ke arah sosok yang datang bersama Faye. Tidak bagi Izma dan Arca. Mereka menatap sosok itu dengan rasa tidak suka.
"Ckk, tampang sok polos," gumam Arca pelan.
"Huh! Perempuan sok cantik," sahut Izma dengan gumaman pula.
Rolfer mengernyitkan kening saat melihat sosok itu. Gadis mungil yang cantik dengan rambut coklat. Ia nyaris berteriak keras saat menyadari siapa sosok itu.
"Niel... Lihat ke depan," bisiknya pada Niel yang sibuk membaca buku.
"Apa?" tanya Niel dengan nada datar tak tertarik sama sekali. Ia tetap menatap bukunya dengan konsentrasi penuh.
Rolfer menelan ludah. Ia agak ragu mengatakannya. Namun ia yakin kalau gadis yang ia tahu sebagai hunter adalah gadis yang sama dengan yang ada di depannya. "Gadismu ada di sini, Niel. Gadis lavendermu."
Niel menghentikan kegiatan membacanya. Ia mengangkat wajahnya dari bukunya dan menatap Rolfer dengan ekspresi tak percaya. "Apa kau bilang?"
"Gadismu. Gadis lavendermu," kata Rolfer sambil menunjuk ke depan.
Niel langsung memutar kepalanya ke arah depan. Mata coklat keemasannya membulat sempurna. Ia menghujami gadis mungil yang berdiri di depan kelas dengan tatapan kaget bercampur heran. Ia menatap gadis itu dari atas sampai ke bawah. 'Masih sama seperti tadi pagi. Tapi kenapa dia bisa ada di sini? Bukannya dia pelayan baru paman Ryuta? Eh? Apa aku salah menebak? Apa dia bukan pelayan paman? Apa yang sebenarnya terjadi?' pikirnya.
"Yuicathra!" panggil Niel cukup keras untuk sampai ke telinga Yui.
Yui mengalihkan pandangannya ke bangku paling depan dan pinggir, tepat di depan meja guru. Ia bertemu pandang dengan Niel. Keduanya kembali hanyut dalam tatapan lawannya.
'Niel? Bagaimana mungkin dia ada di sini? Ah, tidak. Ini kan kelas Superior, jadi tak heran dia ada di sini. Ta-tapi darimana dia tahu namaku?' pikir Yui. Ia masih terhanyut dalam tatapan Niel. Baginya, penampilan Niel kali ini sangat mempesona.
Niel mengenakan seragam bermotif sama dengan Yui untuk kemejanya. Namun bawahannya ia mengenakan celana panjang berwarna hitam. Ia juga mengenakan dasi hitam yang terdapat sulaman namanya. Semua vampir perempuan mengenakan seragam yang sama dengan Yui sedangkan laki-laki mengenakan seragam yang sama dengan Niel. Tetapi mereka semua kecuali Yui mengenakan dasi bersulamkan nama mereka.
"Ah, kau sudah mengenalnya, Niel?" tanya Faye. Pertanyaannya memutuskan acara saling pandang antara Yui dan Niel. Ia tak bermaksud menghentikannya namun ia hanya tidak ingin membuang waktu. Sesungguhnya ia senang melihat chemistry antara Yui dan Niel. Melihat keduanya bertatapan seintens itu membuatnya semakin percaya pada adiknya, Felicite.
"Eh?" Niel tersadar dari kegiatan saling tatapnya dengan Yui. Ia melirik Yui yang sudah menundukkan wajahnya sebelum menjawab pertanyaan headmasternya, Faye. "Tidak juga. Aku sempat bertemu dengannya juga paman Ryuta tadi pagi. Paman tidak memberitahuku kalau dia akan masuk ke akademi."
Faye tersenyum simpul lantas menatap ke seluruh penjuru kelas yang jumlah muridnya hanya 20 orang. "Nah, anak-anak. Akan ku perkenalkan teman baru kalian. Na-"
Brakk! Pintu kelas terbuka paksa. Seorang gadis berambut merah marun yang sedikit berantakan, menyerbu ke dalam kelas. Wajah cantiknya memerah dan nafasnya terlihat tak beraturan.
"Maaf aku terlambat, Ushouruma sensei, ah, Merekibe sensei juga. Tumben Merekibe sensei datang ke kelas, apa ada hal penting?" celoteh gadis itu panjang lebar. Tanpa canggung sedikit pun, ia duduk di bangku di samping bangku Niel. Bangku yang hanya ia tempati sendiri karena tak ada yang diterima olehnya untuk duduk di sampingnya.
"Anza, jaga sikapmu," tegur Niel dengan nada tajam.
Gadis itu tak mempedulikan Niel sama sekali. Ia justru menatap ke arah Yui. Menilai Yui dari atas sampai bawah. Ia langsung merasa comfort dengan Yui. Tanpa malu sedikitpun ia maju ke depan. Ia menjabat tangan Yui setelah tersenyum pada Faye.
"Hei, kau murid baru ya? Aku Anzana Udr Toushimori," kata Anza dengan ramah. Sikapnya itu membuat heran semua penghuni kelas. Tidak biasanya ia bersikap seramah itu. Dia sama sinisnya dengan Arca. Dia memang lawan utama Arca dalam adu mulut. Dia juga yang sering mengambil alih peran kakaknya dalam adu mulut.
"Eh?" Yui dibuat bingung dengan sikap Anza. Ia melirik ke arah Faye yang sedang tersenyum.
"Anza, duduklah. Biar aku yang memperkenalkan dia padamu dan yang lain juga," kata Faye.
"Baiklah, sensei." Anza tersenyum lalu duduk kembali ke bangkunya. Niel segera menghadiahi Anza dengan deathglare. Anza hanya menjulurkan lidah. Sama sekali tak takut pada kakaknya.
"Baiklah. Aku lanjutkan perkenalan yang tertunda." Faye menarik Yui mendekat padanya. "Namanya Yuicathra. Dia adalah anak angkat Ryuta Ust Kurochiki, maka dari itu namanya menjadi Yuicathra Ust Kurochiki."
Semua terdiam di tempat. Mereka tak menyangka pemimpin klan Kurochiki yang begitu ternutup memiliki anak angkat. Bahkan Niel dan Anza pun kaget. Mereka yang cukup dekat dengan Ryuta pun tak tahu mengenai hal ini. Namun ekspresi super kaget ditunjukkan oleh Marion. Ia membeku di tempat. Matanya menatap tajam ke iris mata Yui. 'Tidak. Bukan 'dia' kan?' batinnya. Ia berusaha keras menyakinkan diri kalau Yuicathra yang ada di depannya bukanlah Yuicathra anak tunggal dari pemimpin klan Kurochiki yang sebelumnya.
"Salam kenal. Mohon bantuannya," kata Yui dengan nada datar yang sangat mirip dengan Ryuta. Ia sudah berlatih seharian dengan Liannaka hanya untuk mengatakan itu.
"Sekarang duduklah dimanapun kau suka," kata Faye.
"Baik, sensei."
Sebelum Yui sempat beranjak dari tempatnya berdiri, Anza sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Sensei, Yui-chan duduk denganku saja," kata Anza sambil menggeser duduknya. Ia memberi ruang duduk untuk Yui tepat di sampingnya, di dekat Niel.
Yui tidak jadi berjalan. Ia terpaku di tempat dan menatap Anza dengan bingung. Bukan cuma Yui, tapi semua yang melihatnya dibuat bingung. Bagi mereka, ini bukan khas Anza. Dia terkenal paling suka menjauhi orang. Ia senang akan kesendirian.
Arca yang melihat semua dari awal, juga dibuat bingung. "Ada apa dengan perempuan gila itu? Apa syaraf di otaknya sudah putus?" gumamnya.
"Baiklah, silakan duduk, Yui. Semoga harimu menyenangkan," kata Faye. Ia bergegas keluar dari ruang kelas.
"Terima kasih atas bantuannya, sensei," kata Yui sambil membungkuk sekilas. Lantas ia berjalan menuju tempat duduknya. Anza sudah menyambutnya dengan senyum lebar.
"Ku jamin kau akan nyaman duduk denganku," kata Anza sambil mengulurkan tangan. Dengan agak ragu, Yui menyambut jabat tangan Anza.
"Anza, kau salah minum obat ya?" cetus Rolfer. Ia benar-benar shock dengan perubahan Anza.
"Tidak, Fox. Aku masih Anzana Udr Toushimori," kata Anza. Ia memang senang memanggil Rolfer dengan Fox.
"Cih, adikmu aneh, Niel," sahut Rolfer.
Niel hanya menatap Anza dengan tatapan heran juga lega. Ia berharap adiknya tidak menutup diri lagi. Ia tak sengaja melihat tawa Yui yang sedang digoda Anza. Entah apa yang membuat Yui tertawa, tapi Niel sangat menyukai tawa itu.
Anza menangkap tatapan lembut Niel untuk Yui. Ia menyeringai licik. "Yui, jangan pernah jatuh hati pada kakakku," bisiknya pada Yui.
"Hah? Kenapa?"
"Dia itu pervert."
"Eh? Benarkah?"
”Iya. Hahaha, aku Cuma bercanda. Dia itu kakakku yang paling baik.”
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Vampire 'ZERO' Academy, 10.59 p.m.
"Anza, dimana toiletnya?" tanya Yui saat ia dan Anza sudah keluar dari dalam kelas.
"Ah, ayo, ikut aku. Kebetulan aku mau merapikan rambutku yang sudah tak berbentuk," kata Anza. Tanpa bertanya pada Yui, ia langsung menarik tangan Yui dan berjalan dengan cepat. Yui hampir terjungkal beberapa kali dibuatnya.
"Nah, ini toiletnya," kata Anza.
Yui dan Anza masuk ke dalam toilet. Yui masuk ke salah satu bilik. Ia segera mengeluarkan obat mutasinya. Ia sudah merasa pusing. Ia memakan satu butir pil obat mutasinya.
"Yui, aku pulang duluan ya. Aku belum minum tablet darah," seru Anza dari luar bilik.
Yui menahan nafas beberapa detik sebelum menjawab dengan suara tercekat. "I-ya."
"Oya, hati-hati dengan Si Pervert kakakku. Biasanya dia dan teman-temannya akan di akademi sampai pagi," pesan Anza sebelum keluar dari toilet. Ia memang tidak kompak dengan kakaknya. Ia merasa seperti berbicara dengan tembok jika ngobrol dengannya. Ia sering mengerjai kakaknya. Sebenarnya ia merindukan kakaknya yang dulu.
"Egghh!" erang Yui menahan sakit yang mendera kepalanya. Ia terlambat beberapa menit meminum obat. Saat dirasa kepalanya tidak terlalu sakit lagi, ia keluar dari toilet. Ia berencana melakukan pengamatan malam ini. Ia akan mengikuti vampir yang keluar dari akademi dan menuju Sorrowforest sebelum jam 12 malam.
Ia menaikkan tudung mantelnya hingga menutupi sebagian wajahnya dan mulai menyusuri koridor akademi yang sepi. Bahkan ia dapat mendengar suara sepatunya sendiri yang bertumbukan dengan lantai. Ia berbelok ke kanan dan terus berjalan lurus menuju lantai 2 gedung timur. Dari denah akademi yang ia pelajari, ada balkon kosong di lantai 2 gedung timur. Tempat itu bisa melihat gerbang akademi yang berbatasan dengan Furishi city secara langsung.
"Tempat ini lebih strategis daripada yang aku duga," gumam Yui pelan begitu sampai di balkon. Ia menajamkan penglihatannya dan mengamati sekitar gerbang.
"Hahh." Ia mendesah pelan. Ia merasa resah tanpa sebab. Ia mempunyai firasat kalau misinya tidak akan berjalan lancar. Awalnya ia sudah berencana memakai topeng perempuan dingin dan anti sosial. Tapi sikap terbuka yang ditunjukkan Anza padanya membuatnya bingung. Ia tidak tega menolak kebaikan Anza. Tapi ia tidak bisa membayangkan bagaimana sikap Anza jika tahu yang sebenarnya.
Srkk!
Yui tersentak kaget. Ia yakin telah mendengar suara gemerasak di dekatnya. Mata coklatnya menangkap tajam ke arah gerbang. Sesosok vampir bertudung bergerak cepat keluar dari akademi. Karena tak mau kehilangan jejak, Yui langsung melompat dari balkon dan berlari mengejar sosok itu.
"Ini jalan pintas ke Tosakyo city," gumamnya pelan saat ia mengikuti sosok itu memasuki jalan setapak yang membelah Sorrowforest. Tanpa terasa, ia sudah mengejar sampai ke Nerenka city, kota yang dikuasai vampir Mud-Blood.
Sret! Yui langsung memanjat pohon terdekat saat sosok itu berhenti. Sosok itu membuka tudungnya.
"Rima," gumam Yui pelan saat menyadari siapa sosok itu. Ia takut jika yang melakukannya adalah Rima. Lalu siapa yang akan dihidupkan oleh Rima? Golongan darah O merujuk pada klan Kurochiki.
"Aku tahu kalian mengikutiku! Keluar!" seru Rima dengan keras.
Yui tersentak kaget. 'Apa aku ketahuan?'
"Ckk! Ternyata kau hebat juga, Toushimori," cetus seorang vampir Mud-Blood. Ia muncul dari balik semak belukar. Begitu ia keluar, ada 3 vampir Mud-Blood lain yang muncul.
"Apa mau kalian?" tanya Rima dengan nada dingin.
"Tentu saja membunuhmu, nona. Kau tentu tahu kalau kami, vampir yang kalian juluki vampir Mud-Blood tidak bisa diremehkan. Kami bisa membunuh klan Kurochiki. Itu artinya kami bisa membunuh kalian, para vampir Half-Blood satu persatu," jelas vampir yang ada bekas luka di wajahnya.
Rima nampak terkejut. 'Dugaan paman Aiden benar. Mereka mulai bergerak,' batinnya.
Tanpa dikomando, 4 vampir Mud-Blood menyerang Rima dengan katana. Rima berusaha keras untuk melawan walaupun tanpa senjata. Ia menghindar dari setiap tebasan katana vampir-vampir yang menyerangnya.
Srat! Lengan Rima tergores katana. Ia jatuh terduduk di tanah. Ia tak bisa melawan 4 vampir bersenjata sendirian. Ia berusaha keras untuk bangkit ketika sebuah katana siap menebas kepalanya.
"Mati kau!" seru vampir yang akan menebas kepala Rima.
Jleb! Sebuah katana asing menancap di jantung vampir yang akan menyerang Rima dari arah belakang. Saat tubuh vampir itu roboh menghantam tanah tepat di depan Rima, terlihat sosok wanita dengan katana berlumuran darah.
"Yu-i," gumam Rima dengan suara tercekat. Ia menatap Yui tak percaya. Kenapa Yui bisa ada di tempat ini dan menyelamatkannya?
"Hai, aku hanya kebetulan lewat," kata Yui dengan nada ramah yang tulus. Ia melambaikan tangan sambil menyunggingkan senyum manis pada Rima.
"Eh, aku kembalikan katanamu," lanjut Yui pada vampir di dekatnya yang katananya ia ambil. Ia memberikannya dengan menusukkan ke jantung vampir itu. Lantas menarik kembali katana itu saat vampir yang tersisa menyerangnya. Tanpa membuang waktu ia menusuk jantung dua vampir yang tersisa.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Yui pada Rima.
"Tidak. Aku hanya haus," jawab Rima dengan lemas.
"Baiklah. Teruskan saja perjalananmu. Aku harus pulang," kata Yui. Ia tidak mau mengambil resiko yang bisa membuat Rima curiga. Masih ada banyak waktu untuk menyelidiki misinya.
"Dia...menolongku?" gumam Rima setelah Yui menghilang.
Srek!
"Rima!" seru Rolfer. Ia segera mendekat pada Rima. Ia langsung menyusul Rima saat mencium bau darah Rima. "Kau tidak apa-apa?"
"Iya. Aku baik-baik saja. Tadi Yui menolongku," jawab Rima. Ia beranjak berdiri dengan susah payah.
"Yui? Anak baru itu? Sedang apa dia di sini?" Rolfer mulai curiga akan keberadaan Yui di akademi vampir. Ia mengira-ngira kalau Yui pasti sedang memata-matai apa yang ia lakukan. Apalagi dulu ia hampir ketahuan oleh Yui.
"Tidak penting. Aku haus. Antar aku ke Tosakyo city!" perintah Rima tajam.
Rolfer agak ragu namun segera mengiyakan saat melihat mata Rima yang semerah darah. "Baiklah."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Northless Palace, 3 a.m.
"Niel-sama, Rolfer-sama ingin bertemu," kata seorang pelayan tepat di depan pintu kamar Niel.
"Ya, biarkan dia masuk," kata Niel dengan nada datar.
"Baik, Niel-sama."
Niel tak menjawab. Ia bahkan tak beranjak seinchi pun dari tempat duduknya. Tangan kurusnya menggoyang-goyangkan gelasnya yang berisi darah dari tablet darah. Ia terlihat tak berminat lagi untuk minum. Pikirannya jauh menerawang.
Ceklek! Rolfer langsung masuk tanpa basa-basi. Ia duduk tepat di hadapan Niel. Wajahnya nampak tegang.
"Ada yang ingin ku bicarakan denganmu, Niel," kata Rolfer dengan nada tercekat.
"Hm." Niel hanya bergumam tak jelas. Tangannya menggerakkan gelasnya ke bibir. Ia meminum sedikit lalu meletakkan gelasnya ke meja. Ia menggerakan kepalanya sampai bisa menatap Rolfer. "Apa?"
Rolfer mendesah pelan. Ia membanting punggungnya ke sandaran kursi. "Soal gadismu, Yui."
"Dia bukan gadisku," sergah Niel.
"Terserah apa katamu. Yang jelas dia membahayakan bagiku, juga Rima," kata Rolfer dengan nada resah.
"Apa maksudmu?" Niel memandang Rolfer dengan heran.
"Kau jelas tahu dia manusia. Tiba-tiba dia datang ke akademi dengan identitas sebagai anak angkat Paman Ryuta. Aku yakin dia memang punya tujuan lain. Ah, dia juga hunter. Dia pasti sedang menjalankan misi. Kau tahu, aku rasa dia sedang menyelidiki apa yang sedang aku dan Rima kerjakan," jelas Rolfer panjang lebar. Ia menatap Niel dengan permohonan tak kasat mata. Ia meminta Niel membantunya.
"Apa lagi yang dia lakukan?" tanya Niel.
"Em, sepertinya dia tadi membuntuti Rima. Tapi dia menolong Rima."
Niel menyipitkan matanya. "Apa yang terjadi?"
"Yeah, Rima diserang vampir Mud-Blood dalam keadaan sekarat karena kehausan. Dia hampir mati kalau Yui tidak datang menolongnya."
Niel diam saja. Ia tak menanggapi cerita Rolfer. Ia memikirkan apa yang baru saja dikatakan Rolfer. Ia juga merasa kalau Yui mempunyai tujuan khusus dengan datang ke Oyharo city. Tapi ia masih belum tahu tentang itu dan bagaimana Yui bisa menjadi vampir dalam 1 hari saja. Ia belum bisa mendapat informasi dari pamannya.
"Niel, apa perlu aku hentikan? Aku tidak mau Rima celaka lagi. Ini sudah kedua kalinya ia diserang vampir Mud-Blood," kata Rolfer saat Niel tak menanggapinya. Sebenarnya ia mulai bosan. Ia tak tega membunuh banyak manusia hanya untuk hal yang belum tentu keampuhannya. Bagaimana jika itu hanya bualan belaka? Lalu bagaimana dengan 99 nyawa yang ia dan Rima ambil nantinya?
"Tidak perlu. Teruskan saja," kata Niel dengan nada datar. Dengan santai ia meminum darah dalam gelasnya lagi.
"Tapi bagaimana jika tidak berhasil? Aku sudah membunuh banyak manusia hanya untuk eksperimen ini. Aku tidak tega..."
"Bukan masalah. Aku tidak peduli pada manusia. Mereka hanya merepotkan," sahut Niel cepat. Ia bosan mendengar keluhan Rolfer yang tak tega membunuh manusia. Ia justru menyukai eksperimen Rolfer. Semakin banyak manusia yang mati, semakin tenang hidup vampir.
"Kalau paman Aiden tahu, bagaimana?"
"Tenang saja. Itu urusanku."
Rolfer diam sejenak. "Lalu, gadis itu?"
"Biar aku yang mengawasinya. Ku pastikan dia tidak akan mengganggumu mulai besok," kata Niel.
"Yah, boleh juga. Tapi berhati-hatilah. Aku rasa dia bukan vampir biasa. Ingat kan kalau dia juga hunter. Dan ku harap kau tidak melukainya."
"Kenapa harus begitu?"
"Kau akan melawan adikmu sendiri kalau melukai gadis itu. Dari cara adikmu memperlakukan gadis itu, aku yakin adikmu akan sangat melindungi gadis itu."
Niel terdiam. Ia tak memperhatikan Rolfer lagi. Pikirannya melayang jauh. Ia tahu ada sesuatu yang membuat Anza, adiknya begitu menyukai Yui. Ia memang tak akan mencari masalah dengan adiknya. Ia sayang pada adiknya walaupun mereka tak pernah akur. Tapi bukan itu saja yang membuatnya tak akan melukai Yui.
"Yui-ca-thra."
Ia menggumamkan nama Yui. Entah mengapa ia merasa ada ikatan khusus antara ia dan Yui. Menatap mata gadis itu selalu membuatnya lupa diri. Mata bening gadis itu seolah mampu mengendalikan jantungnya dan aliran darahnya.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Centerene Palace, 7 a.m.
Anza berjalan dengan anggun menuju kamar pamannya. Ia tahu betul kalau pamannya akan menceramahinya jika melanggar tata krama termasuk cara berjalan. Ia tak tahu kenapa pamannya begitu kuno. Tapi ia tetap tak bisa melawan pamannya itu. Ia baru berhenti berjalan saat pelayan yang mengantarnya berhenti tepat di depan pintu kamar pamannya. Ia langsung merubah ekspresi jengkelnya dengan ekspresi serius. Ia harus menemukan jawabannya. Ia harus memastikannya untuk menentukan sikapnya di kemudian hari.
"Ryuta-sama, Anza-sama ingin bertemu," kata pelayan setelah mengetuk pintu.
"Ya, persilakan dia masuk," sahut orang yang ada di dalam kamar.
"Baik, Ryuta-sama." Pelayan itu memutar tubuhnya sampai menghadap sosok Anza. Ia membungkuk hormat. Lantas membuka pintu dan mempersilakan Anza masuk.
"Silakan masuk, Anza-sama."
Anza mengangguk sekilas sebelum masuk ke dalam kamar kerja pamannya. Begitu ia masuk, pintu kembali tertutup. Ia menemukan pamannya sedang duduk menghadap taman.
"Paman," panggilnya sambil berjalan mendekati pamannya.
"Ada angin apa yang membuatmu datang mengunjungiku, Anza?" tanya Ryuta tanpa melihat ke arah Anza sedikitpun. Ia sibuk memandang langit mendung. Sepertinya salju akan turun.
"Ada banyak hal yang ingin ku tanyakan," kata Anza. Ia duduk di samping Ryuta.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Ryuta sambil melihat ke arah Anza.
"Ini tentang aku juga tentang Yui," gumam Anza. Ia menerawang ke arah langit mendung. Ia mengingat keanehan yang ia rasakan sesaat setelah ulang tahunnya yang ke-17 tepat sebulan yang lalu. Tanpa ia duga, ingatan masa kecilnya kembali. Ia bisa mengingat kejadian-kejadian masa kecilnya dengan jelas. Tapi ia tetap merahasiakannya karena merasa harus merahasiakannya.
Ryuta memandang Anza sejenak sebelum menghela nafas panjang. Ia tahu apa maksud Anza. "Apa ingatan masa kecilmu sudah kembali?"
Anza langsung menatap pamannya begitu pertanyaan itu meluncur dari mulut pamannya. Ia tak menyangka kalau pamannya tahu tentang hal itu. "Darimana paman tahu?"
"Aku sudah menduganya. Ada beberapa orang yang akan kembali ingatannya setelah berumur 17 tahun. Termasuk kau juga Marion. Selanjutnya kau akan bertanya apa Yui yang sekarang adalah Yui yang dulu hilang? Benar bukan?"
Tanpa bisa mengelak, Anza mengangguk. Ia terlalu terkejut. "Jadi jawabannya? Dan kenapa hanya aku dan kak Marion?"
Ryuta mendesah pasrah. Mau tak mau ia harus menjawabnya. "Ya. Sebenarnya mereka adalah Yui yang sama, namun tidak sebagai Yui yang sama. Dan untuk kenapa hanya kau dan Marion, itu karena takdir."
Anza terdiam. Ia tak terlalu mengerti dengan perkataan pamannya. "Aku tak mengerti. Apa maksudnya mereka adalah Yui yang sama tapi tidak sebagai Yui yang sama. Lalu apa kak Marion tahu?"
"Ya, dia tahu. Aku harap kalian tutup mulut untuk sementara sampai waktunya tiba."
"Bagaimana dengan kakakku? Paman tahu sendiri kalau dia sangat mencintai Yui," kata Anza dengan suara tertahan.
"Belum waktunya dia tahu, Anza. Tapi kau jangan khawatir. Takdir mereka sudah berputar kembali."
Anza terdiam. Pada akhirnya ia tahu kenapa ia bisa merasakan kenyamanan saat bersama Yui. Itu karena mereka memang sudah seharusnya berteman sejak lama.
"Emm paman, apa sekarang dia benar-benar sudah menjadi vampir? Aku sempat mencium aroma darah manusia dari tubuhnya tadi malam." Anza nampak ragu menanyakannya.
"Tidak. Dia masih manusia. Ku harap kau menjaganya agar tidak ada yang tahu sampai waktunya tiba."
"Waktu apa sebenarnya, paman?" tanya Anza. Ia heran karena pamannya selalu menyinggung soal waktu.
"Waktunya dia dibangkitkan."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Vampir 'ZERO' Academy, 5 p.m.
"Kak Marion!" seru Anza keras saat melihat Marion berjalan di koridor. Buru-buru ia menarik tangan Marion agar berhenti berjalan.
"Ada apa?" tanya Marion dengan ekspresi bingung sekaligus heran. Jarang-jarang Anza memanggilnya 'kak Marion'. Biasanya ia dipanggil Rabbit oleh Anza.
"Aku mau bicara hal penting denganmu tentang-" kata Anza. Dengan pelan dan berbisik ia melanjutkan kalimatnya. "-tentang Yui."
Wajah Marion langsung menegang. "Dimana?"
"Kita ke atap saja."
Anza dan Marion segera bergegas menuju atap. Keduanya nampak tegang dan berwajah serius. Anza masih agak shock dengan penjelasan pamannya. Marion yang tegang juga bingung akan mengatakan apa pada Anza. Keduanya tetap diam. Bahkan saat mereka sudah sampai di atap, tak satu pun dari mereka yang angkat bicara.
Anza mulai jengah. Hingga ia memulainya lebih dahulu. "Jadi kau sudah tahu sejak 3 tahun lalu kalau anak paman Athrun masih hidup?"
Marion menghela nafas panjang. "Ya, begitulah. Aku cukup tersiksa dengan rahasia ini. Aku berulang kali hampir membocorkannya pada kakakmu. Walaupun aku tahu kalau kakakmu tak akan mengingatnya."
"Hm. Aku baru tahu sebulan yang lalu. Dan semuanya terjawab. Pertanyaan dalam benakku sudah terjawab dengan pasti."
Marion memasang ekspresi bingung. "Apa maksudmu?"
"Yah, tentang Yui, anak paman Athrun. Tentang dimana dia? Apa masih hidup? Apa yang terjadi padanya? Walaupun tidak terlalu jelas, aku sudah mengerti."
"Jangan bilang kalau kau ta-"
"Ya, tadi aku menanyakannya pada paman Ryuta. Dia memberitahuku beberapa hal."
"Apa saja yang dia katakan? Waktu aku bertanya padanya dulu, dia hanya bilang kalau Yui masih hidup sebagai manusia. Dia melarangku cerita pada Niel atau siapa pun. Hanya beberapa orang yang tahu."
Anza menundukkan wajahnya. Ia melihat Yui berlarian menuju gedung akademi. Ia tersenyum sekilas. "Paman bilang Yui yang ada di sini dan Yui kita adalah orang yang sama tapi tidak sebagai Yui yang sama. Aku bingung awalnya tapi aku mengerti saat paman bilang Yui yang ada di sini adalah manusia."
Marion tersentak kaget. "A-apa artinya Yui yang ada di kelas kita adalah Yui, anak paman Athrun yang disegel paman Ryuta?"
"Ya, dan kata paman, kita harus menjaganya karena segel ingatan yang paman Ryuta tak akan bertahan sampai peringatan penyerangan bulan sabit. Cepat atau lambat, semua orang akan tahu siapa Yui. Dan aku yakin akan ada banyak pihak yang mengincarnya nanti."
"Begitu ya? Ah, aku benar-benar pusing. Hei, aku rasa Niel mempunyai ikatan batin dengan Yui." Marion mulai mengubah arah topik pembicaraan.
"Apa maksudmu?" tanya Anza pura-pura tak tahu. Padahal ia tahu kalau kakaknya sebenarnya tergila-gila pada Yui. Walaupun kakaknya masih bersikap 'tak mau tahu dan aku tak peduli' pada Yui. Tapi terlihat jelas di matanya kalau kakaknya terpikat pada Yui. Cepat atau lambat, ia yakin kakaknya akan berubah.
"Dia sudah menandai Yui."
"A-apa?" Anzu membelalakkan matanya sebagai tanda ketidakpercayaannya.
Marion tertawa kecil. "Aku hanya bercanda. Aku tidak tahu pasti soal itu. Kalau aku jadi Niel, aku pasti akan menandainya. Tapi entahlah. Niel itu sulit ditebak."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Rima berdiri menyandar di bingkai pintu bagaikan patung di depan kelas. Ia terus menatap ke arah koridor dimana biasanya teman-teman sekelasnya datang. Ia langsung berdiri tegak saat seorang gadis berlari menuju ke arahnya, tepatnya ke arah kelasnya. Gadis itu nampak terburu-buru. Rambutnya yang tergerai berkibar mengiringi langkahnya.
"Yui," panggil Rima saat Yui hampir melewatinya.
"Ya," sahut Yui secara reflek sambil berhenti tepat di depan Rima. Ia agak kaget melihat Rima di depannya walaupun dari jauh ia dapat mengenali Rima. Secara otomatis, otaknya memutar kembali kejadian kemarin. Ia jadi takut kalau Rima menuduhnya sedang memata-matai Rima. Walaupun memang benar.
"Terima kasih untuk kemarin. Kalau kau tidak datang, mungkin aku sudah mati," kata Rima dengan tulus. Ia merasa berhutang budi pada Yui. Walaupun baru kenal kemarin tapi Yui sudah mau menolongnya. Sikap yang langka ditemukan pada vampir yang biasanya sangat egois.
"Eh, tidak, Toushimori-san. Aku hanya kebetulan lewat. Em," kata Yui dengan nada ragu. Ia merasa tak nyaman jika harus berbohong. Apa ia harus jujur?
"Panggil Rima saja. Walaupun begitu, aku sangat berterima kasih padamu," kata Rima. Ia tak nyaman dengan panggilan nama klan.
"Em, sebenarnya aku sengaja mengikutimu. Maafkan aku," kata Yui dengan pelan. Ia menatap Rima dengan tatapan meminta maaf.
Rima nampak bingung dengan apa yang dikatakan Yui. "Mengikutiku? Untuk apa?"
Yui menelan ludahnya dengan susah payah. Ia takut jika Rima marah padanya. Padahal ia hanya melakukan penyelidikan. Tapi ia tak mungkin mengatakannya pada Rima. Ia harus menjaga rahasia tentang misinya, bahkan dari Anza sekalipun. Walaupun ia mempercayai Anza, ia tetap harus memegang janjinya pada Ryuta. "Sebenarnya-
"Sebenarnya dia mengajakku jalan-jalan keliling Sorrowforest, tapi aku tidak bisa mengantarnya. Kau tahulah, aku sibuk. Jadi aku menyuruh Yui mengikuti siapa saja yang ia temui," potong Anza dengan cepat. Ia datang bersama Marion.
"Jalan-jalan?" Rima mengerutkan keningnya. Ia bingung.
"Ah, kak Rima tidak tahu kalau Yui tak pernah ke Sorrowforest ya? Yui ini memang tak pernah keluar rumah sejauh lebih dari 1 mil," celoteh Anza.
Yui hanya menahan malu. 'Apa-apaan dia? Ck, dia meragukan kemampuan jelajahku ya?' pikirnya.
"Dia hanya bisa membaca peta. Jadi dia tahu banyak tempat dan jalan karena membaca peta," lanjut Anza.
Yui menatap Anza dengan sedikit kesal. Walaupun ia memang suka membaca peta. Tak berarti dia tak pernah mencoba menjelajah sendiri tempat-tempat yang ia lihat di peta. Tunggu! Untuk apa Anza mengatakan hal itu? Apa dia sedang menolong Yui? Apa dia tahu tentang misi Yui?
"Benarkah? Lain kali aku akan mengajakmu jalan-jalan, Yui," kata Rima.
Yui hanya membalasnya dengan senyum. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Ini diluar rencana dan kuasanya. Ia melirik Anza yang sedang tersenyum geli. Anza mengedipkan matanya ke arahnya. Ia makin curiga kalau Anza tahu sesuatu.
"Sudahlah. Kalian menghalangi jalan," kata Marion sambil menunjuk ke belakangnya yang penuh antrian.
Yui, Rima dan Anza tertawa geli sebelum masuk ke dalam kelas. Marion berharap tidak akan terjadi hal buruk selanjutnya. Mereka tak sadar akan tatapan aneh dari Niel untuk Yui. Tatapan menyelidik dan kecurigaan.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Sejak pelajaran Sejarah Vampir dimulai, Rolfer terlihat gelisah. Ia melirik Yui berkali-kali. Sampai pelajaran usai pun, ia tetap melakukan hal yang sama. Melirik Yui dengan tatapan kesal dan gelisah. Hari ini banyak kejutan yang ia terima. Entah angin apa yang membuat Rima, adiknya dan Marion, temannya menjadi akrab dengan Yui. Ia benar-benar khawatir kalau Yui mempunyai rencana busuk di balik wajah polosnya. Ditambah pula dengan sikap Niel pada Yui. Ia merasa Niel begitu memperhatikan Yui di balik sikap dinginnya.
"Kenapa? Kau terlihat gelisah?" tanya Marion yang menyadari keanehan pada Rolfer.
"Ti-dak. Aku hanya men-eh haus, maksudku aku sangat haus sampai tidak nyaman ada di sini," jawab Rolfer dengan agak gugup.
"Dasar. Bukannya malam ini giliranmu?"
"Ya, beg-"
Brugh! Kalimat Rolfer terhenti saat terdengar bunyi benda bertubrukan yang diikuti seruan Arca.
"Kau tidak punya mata? Dasar bodoh!" seru Arca keras-keras. Matanya membelalak tajam. Menatap marah ke arah Yui yang tak sengaja menabraknya. Hanya sebuah senggolan kecil pada bahu Arca.
"Maaf. Maafkan aku. Aku tidak sengaja," kata Yui sambil membungkuk sedikit. Ia memegangi pergelangan lengannya yang memar karena terantuk meja.
"Kau kira cukup hanya dengan 'maaf'. Bodoh sekali kau!" sahut Arca tajam. Ia mencengkeram leher Yui kuat-kuat. Membuat Yui sesak nafas. Yui berusaha keras menahan tangan Arca agar tidak mematahkan lehernya.
"Hentikan, Gadis Liar!" sergah Anza sambil menepis tangan Arca dari leher Yui. Ia menatap Arca dengan tatapan marah yang jarang ia tunjukkan. Hanya saat kakaknya diejek Arca dengan keterlaluan, baru ia menunjukkan tatapan marah yang menakutkan ini.
"Apa katamu?" Arca membalas tatapan Anza dengan tatapan marah pula. Walaupun ia menyadari ada yang aneh, ia tak peduli.
"Sebaiknya jangan pernah menyentuh Yui lagi atau aku akan mematahkan lehermu!" ancam Anza. Tidak ada nada bercanda dan keraguan di dalamnya.
Suasana hening. Semua tak menyangka kalau Anza akan mengatakan hal itu. Di saat semua orang masih shock, Anza langsung menarik tangan Yui. Ia membawa Yui keluar dari kelas secepat mungkin.
"Minum obatmu. Kalau tidak mereka akan membunuhmu," kata Anza saat sudah jauh dari kelas.
Yui yang masih blank, hanya mampu menuruti apa kata Anza. Saat satu butir pil masuk ke dalam mulutnya, ia baru tersadar. "Anza, da-darimana kau tahu soal itu?"
Anza berhenti berjalan. Ia menatap Yui dengan lembut. "Aku tahu dari paman Ryuta. Aku akan menjaga rahasiamu ini sampai kau selesaikan misimu."
Yui tertegun. Ia tak menyangka akan ada banyak orang yang membantunya. 'Mereka membantuku sampai sejauh ini. Aku merasa diistimewakan seolah mereka mengenalku dengan baik. Ini benar-benar aneh. Aku jadi merasa berhutang pada semua orang yang menolongku,' pikirnya. Ia merasa harus menceritakan misinya pada Anza tapi ia agak ragu.
"Terima kasih, Anza. Tapi a-pa kau tahu apa misiku?" tanya Yui pelan.
"Tidak, aku juga tak memaksamu untuk cerita." Anza mengulum senyum di bibirnya.
"Aku janji akan menceritakan semuanya padamu nanti," kata Yui.
"Yeah, aku tunggu."
Sementara di ruang kelas sesaat setelah ditinggalkan Anza dan Yui, berubah heboh. Banyak siswa yang saling menyerukan keanehan sikap Anza. Jarang sekali mereka melihat Anza semarah itu dan mampu melontarkan ancaman yang tak main-main.
"Anza-san menakutkan kalau marah."
"Arca-san juga keterlaluan. Aku tak heran jika Anza marah, tapi aneh rasanya melihat Anza semarah itu hanya karena Yui. Tapi menurutku Yui tak salah."
"Adikmu benar-benar gila. Aku tidak menyangka Anza akan semarah itu," kata Rolfer. Ia duduk dengan gelisah. Ia takut. Ia merasa Anza sudah termakan rayuan Yui.
"Biasa saja. Dia memang begitu," kata Niel datar. Ia tahu betul kalau Anza memang selalu membela siapapun yang ia pilih untuk dibela. Namun yang membuatnya agak bingung. Kenapa harus Yui?
"Niel, aku semakin curiga pada gadismu. Dia terlalu dekat dengan kita. Dia bisa saja membuka apa yang aku lakukan. Aku merasa kalau dia sedang menyelidiki apa yang aku lakukan," kata Rolfer pelan. Ia membayangkan kalau ia sampai ketahuan oleh Yui. Ia pasti akan dalam masalah besar. Ia harus berhati-hati. Apalagi malam ini adalah gilirannya melakukan apa yang sudah 3 minggu ia lakukan. Ia kembali mengingat saat ia hampir ketahuan oleh Yui. Ia yakin gadis itu sudah mencurigainya waktu itu. Untungnya Niel datang. Jadi ia terhindar dari pelanggaran yang akan ia lakukan. Membunuh hunter sebelum jam 12 malam.
"Kau tenang saja. Aku akan mengawasinya. Dia tak akan mengganggumu," kata Niel datar.
Rolfer tetap tak tenang. "Tapi aku tetap khawatir, Niel. Dulu dia hampir membongkar semuanya kalau kau tidak datang."
Niel terdiam sejenak. Ia kembali mengingat pertemuan-pertemuan antara ia dan Yui. Ia baru sadar kalau ia selalu bertemu Yui di saat yang tak tepat. Ia juga selalu bersikap aneh di dekat Yui. Seolah jiwa penakluk dan perayu sebagai seorang vampir dalam tubuhnya bergejolak dan menguasai penuh atas tubuh dan pikirannya jika ia berhadapan dengan Yui.
"Aku tahu. Tapi jangan mencoba melukainya, Rolfer. Kecuali dia yang memulai. Jika itu terjadi, aku akan membunuhnya untukmu," kata Niel pelan.
Rolfer terhenyak kaget akan apa yang dikatakan Niel. Ia tidak buta dan tuli. Ia tahu kalau Niel menaruh hati pada Yui. Tapi ia tak menyangka Niel akan berjanji untuk membunuh Yui demi dirinya. Tidak. Ia tidak bisa menerimanya. Ia tahu betapa suramnya hidup Niel selama ini. Ia tak menyangkal sedikitpun kalau Yui membawa warna berbeda dalam hidup Niel. Seringkali ia merasa Niel jauh lebih ekspresif daripada sebelum Niel mengenal Yui. Mungkin jika Yui tidak pernah menjadi hunter, ia akan menjodohkan Yui dan Niel. Namun kenyataan kadang jauh lebih menyakitkan daripada angan-angan. Apa mau dikata jika ternyata Yui akan menjadi musuhnya juga musuh Niel. Walaupun sekali lagi, itu belum pasti.
"Tidak perlu, Niel. Kau agak berlebihan," sergah Rolfer.
"Tidak apa-apa," kata Niel pelan. Ia segera beranjak dari kursinya dan berjalan menuju pintu keluar.
Rolfer menghela nafas panjang. Ia menatap punggung Niel dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia sedih juga senang. Ia bimbang untuk memilih jalan di depannya. 'Kalau aku menghentikan eksperimen ini, mungkin tidak akan jadi begini akhirnya,' pikirnya.
"Rolf, hati-hati ya nanti malam. Aku dengar Vampir Mud-Blood semakin gencar mengincar anggota klan. Kabarnya mereka memperalat zombie untuk melawan kita," kata Rima tiba-tiba.
Rolfer terhenyak kaget. "Eh, iya."
Marion menatap Rolfer dengan tatapan aneh dan khawatir. 'Sepertinya Rolfer tidak menyukai dia. Aku jadi penasaran apa sebenarnya misi yang dia jalankan,' pikirnya.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Centerene Palace
"Ryuta-sama, sepertinya pelaku yang dicari Yui adalah orang-"
"Aku tahu siapa mereka. Keponakan Aiden. Aku harap Yui dapat menyadarkan mereka karena sampai kapanpun aku tidak akan melanggar janjiku pada kakakku," potong Ryuta sebelum Liannaka menyelesaikan kalimatnya.
"Apa tidak apa-apa, Ryuta-sama?" tanya Liannaka dengan nada cemas.
"Tenanglah. Aku percaya pada takdir."
"Ryuta-sama..."
"Ah, kau tidak perlu cemas, Liannaka. Aku akan menjaganya. Selalu menjaganya," kata Ryuta. Ia tahu akan kecemasan yang tersirat di mata Liannaka.
"Iya, Ryuta-sama." Liannaka tetap saja merasa cemas walaupun ia tahu kalau tuannya akan melindungi Yui. Namun ia tak bisa menghilangkan kecemasannya begitu saja. Ia mengkhawatirkan Yui saat gadis itu di akademi.
"Liannaka, tolong panggilkan Anza dan Marion. Aku ingin mengatakan hal penting pada mereka."
"Baik, Yang Mulia."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Di sebuah Mansion
"Kau sudah mempersiapkan semuanya, Mark?" tanya Vampir itu dengan nada congkaknya. Ia menatap Mark yang ada di hadapannya dengan tajam.
"Sudah, Yang Mulia." Mark membungkuk hormat. Ia tak berani menatap mata tuannya.
"Bagus. Pastikan dia terbunuh. Jangan sampai gagal seperti malam sebelumnya."
"Iya, Yang Mulia."
Vampir itu memandang ke awang-awang. Ia yakin rencananya akan berhasil. Satu per satu akan ia hilangkan untuk mencapai tujuannya.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Hunter's Rule
"Hunter can't stop human who will give their blood for vampir sincerely."
0 komentar:
Posting Komentar