Third Rule of Seven Rules
"Human can give their blood for vampire and to be vampire with sincerely and not in underpreasure."
The Last Pure-Blood Vampire | The Infiltration
When you choose to do something, your destiny follows you in behind.
When you walk in the wrong side of your destiny's road, your destiny will bring you back to the right road with many way and manner.
At the end, you will believe about your destiny...
When do you die...
How do you die...
And why do you die...
The answer always follow you...
Everytime...
Department of Hunter Spy, 5 a.m.
Dok! Dok! Dok! Suara high heels yang beradu dengan ubin lantai memenuhi koridor kantor utama Departemen Hunter Spy. Pemilik sepatu nampak tidak terpengaruh dengan suara berisik dari sepatunya. Dengan tenang, ia menyusuri koridor yang menuju kantor Jack Bishihana, pemimpin Hunter Spy. Rambut panjangnya yang dikuncir kuda menunjukkan lehernya yang putih. Wajah cantiknya terkesan kaku dan keras. Matanya menatap tajam hanya ke satu titik. Mantel berkancing segaris yang ia kenakan menjuntai sampai ke lantai. Warna gelap dari pakaiannya terlihat kontras dengan kulit putihnya. Ia berjalan dengan anggun. Baru setengah jalan menyusuri koridor, gadis itu berhenti.
"Hah!" Yui-gadis itu mendesah keras. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali lalu menepuk-nepuk kedua pipinya dengan tangan mungilnya. Ekspresi bingung dan pasrah terlukis jelas di wajah cantiknya.
"Aku tidak bisa," gumamnya pelan. Ia menatap ubin lantai dengan tatapan kosong. "Aku bingung. Aku tidak pernah memperhatikan cara berjalan vampir wanita. Bagaimana cara mereka menatap orang, berbicara ataupun makan. Aku bingung!"
Yui nampak frustasi. Ia berjongkok di tengah-tengah koridor dengan menutup kedua daun telinganya menggunakan kedua belah telapak tangannya. Ia menengadahkan kepalanya ke atas. Menatap langit-langit dengan perasaan bimbang antara pergi atau tidak. Tadi pagi buta, ia terbangun dari tidurnya yang belum genap satu jam. Ia teringat akan hal penting yang terlupakan. Ia lupa tidak belajar bagaimana menjadi seorang vampir. Apa yang akan dilakukan di sana nanti?
Suara sepatu yang beradu dengan ubin kembali terdengar. Suara itu makin mendekat ke tempat Yui berada. Dengan sedikit enggan, Yui mendongak untuk menyejajarkan kepalanya ke arah datangnya suara.
"Fukuzawa!"
"Sensei," gumam Yui pelan. Ia menatap Mora Udagaki yang berjalan cepat ke arahnya dengan wajah frustasinya.
"Akhirnya ketemu. Sedang apa kau, Fukuzawa?" tanya Mora saat sudah ada di depan Yui.
"Tidak, sensei. Aku hanya jalan-jalan sekaligus berjalan layaknya vampir. Tapi sulit sekali. Aku bingung," jawab Yui. Dengan enggan ia berdiri lalu menepuk-nepuk mantelnya yang agak kusut.
"Jangan patah semangat seperti itu. Aku punya cara ampuh untuk mengatasinya," kata Mora. Ia tersenyum lebar pada Yui. Ia menarik tangan Yui dan membawanya ke arah kedatangannya tadi. Menuju pintu keluar.
"Bagaimana caranya, sensei?" tanya Yui heran. Tapi ia tetap berjalan setengah terseret mengikuti langkah cepat Mora.
"That is a secret surprise for you," kata Mora cepat.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Sorrowforest, 6 a.m.
"Fukuzawa, sebenarnya dini hari tadi ada surat dari kerajaan vampir," kata Mora saat ia dan Yui berjalan beriringan memasuki hutan.
"Apa isinya, sensei?" tanya Yui. Ia sedikit heran kenapa Mora mengajaknya ke tengah hutan.
"Hemm. Yang pertama, saat masuk ke Oyharo city kau diharuskan sudah menjadi vampir. Maka dari itu kita ke sini untuk uji coba. Tapi..."
"Tapi apa, sensei?" tanya Yui lagi karena Mora menghentikan penjelasannya.
"Hmm, tapi aku tidak bisa mengantarmu lebih jauh."
"Maksud sensei?" Yui berhenti berjalan. Begitu pula Mora.
"Ya, aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Kau ke sana tanpa aku."
"Hah?" Yui menatap Mora tak percaya. Kenapa senseinya itu tega meninggalkannya di sini sendirian dan menyuruhnya pergi ke Oyharo city sendirian?
"Tenanglah. Sudah ada yang menjemputmu. Pelayan klan yang menampungmu selama di sana sudah menunggumu. Dia akan memberitahumu tentang apa yang harus kau lakukan. Kau hanya perlu masuk ke dalam hutan, kau akan bertemu dengannya nanti." Mora menjelaskan sesingkat mungkin karena waktunya yang mendesak.
"Tapi..." Yui nampak tak setuju karena ia belum bertemu vampir yang akan membantunya.
"Dia vampir yang baik. Aku yakin kau bisa melakukan misi ini. Jaga dirimu baik-baik, Fukuzawa. Aku tidak mau Riku membunuhku kalau kau sampai terluka. Nah, aku harus pergi."
Yui hanya mampu menatap kepergian Mora dengan perasaan tak rela. Tapi apa kata Mora ada benarnya. Yui yakin ia bisa melakukan misi ini. Walaupun ada keraguan di dalam hatinya.
"Semoga saja vampir yang menjemputku adalah vampir baik. Ah! Aku lupa bertanya klan apa yang akan menampungku!" seru Yui frustasi. Ia menepuk-nepuk kepalanya dengan kedua telapak tangannya.
"Ah! Tidak! Tidak! Jangan berpikir aneh-aneh. Sebaiknya kau pergi menemui penjemputmu, Yui!" seru Yui pada dirinya sendiri. Ia mulai beranjak dari tempatnya berdiri dan mulai berjalan menuju bagian yang lebih dalam dari hutan.
Tiba-tiba ia berhenti berjalan saat sadar ia tak tahu dimana tepatnya ia akan bertemu penjemputnya. Daripada bingung, ia memilih untuk tidak memikirkannya dan terus berjalan menuju kedalaman hutan.
Puk! Sebuah tangan dingin menepuk pundak Yui.
"Argh!" pekik Yui dengan keras karena kaget. Ia segera membalikkan tubuhnya secara reflek sambil memegang tangan yang menepuk pundaknya. Insting hunternya menggerakkan tangannya untuk membanting sosok di belakangnya. Namun gerakannya terhenti saat bertatapan dengan iris coklat kemerahan milik sosok itu.
"Vampir!" serunya keras karena kaget. Ia buru-buru melepaskan tangan vampir yang menepuk pundaknya tadi. Lantas ia membungkuk dalam-dalam.
"Maafkan aku. Aku tidak sengaja," kata Yui pelan sambil tetap mempertahankan posisi membungkuknya. Ia merasa bersalah atas kelancangannya terhadap vampir di depannya yang kemungkinan besar adalah vampir yang menjemputnya. Ia menyesal karena memberi kesan pertama yang buruk. Walaupun ia berpendapat kalau itu bukan salahnya sepenuhnya. Tapi ia tetap merasa tidak enak pada vampir itu.
Vampir itu terdiam. Ia tetap menatap Yui dengan tatapan penuh kerinduan. Sudah lama ia menjadi pelayan klan Kurochiki. Sudah lama pula ia mengenal gadis beriris violet kemerahan yang selalu memperlakukannya dengan baik. Ia tidak pernah melupakan wajah gadis itu. Dan ia yakin gadis itu ada di depannya sekarang. Ia menarik nafas panjang. Aroma darah Yui sedikit banyak memenuhi paru-parunya. Ia tak tergoda karena ia sudah kebal dengan bau darah manusia. Ia menatap Yui yang masih membungkuk. Ia harus segera memainkan perannya.
"Tidak apa-apa. Aku yang mengagetkanmu. Ini salahku. Maafkan aku," kata vampir itu dengan suara lembut dan menenangkan.
Yui menegakkan tubuhnya. Ia menatap vampir itu dengan tatapan kagum. 'Ternyata dia ramah. Ah, begitu ya cara mereka berbicara,' batinnya.
"Ah, tidak, ini salahku. Em, apa kau...." Yui tak berani meneruskan kalimatnya. Ia takut salah orang.
Vampir itu tersenyum simpul. "Aku Liannaka. Aku yang akan mengantarmu ke Oyharo city."
Yui ikut tersenyum. "Eh... Aku Yuicathra Fukuzawa. Senang bertemu dengan anda."
"Ya, aku juga. Nah, bisakah kita mulai sekarang? Ku rasa lebih cepat lebih baik," kata Liannaka.
"Eh? A-apa yang dimulai?" tanya Yui dengan wajah bingung.
"Merubahmu menjadi semirip mungkin dengan vampir."
Yui mengangguk mengerti. Ia segera tersenyum manis. Ia membungkukkan sedikit badannya. "Mohon bantuannya."
"Bisakah kau tunjukkan obat mutasimu?"
Yui tidak menjawab melainkan sibuk merogoh saku mantelnya. Ia mengeluarkan sebotol penuh berisi butiran pil berwarna merah muda. Lantas memberikannya pada Liannaka.
"Hmm." Liannaka menerimanya dan mulai mengidentifikasi kemurnian pil dengan mencium baunya. Ia mengernyitkan keningnya karena mencium bau darah vampir half-blood yang cukup kuat dan bau darah vampir pure-blood. Ia melirik Yui yang sedang menatapnya cemas. Ia tidak ingin membuat Yui kecewa. Walaupun obat mutasi di tangannya itu memang asli, namun yang membuatnya takut adalah darah vampir pure-blood di dalamnya. Ia segera membuka pikirannya dan langsung terhubung pada tuannya.
'Ryuta-sama! Apakah ini tidak apa-apa?' tanyanya dalam pikirannya.
'Tidak apa-apa. Lakukan saja semua yang ku tugaskan untukmu. Tolong, jaga dia dengan baik,' jawab Ryuta melalui pikiran Liannaka.
"Bagaimana, Liannaka-san? Apa obatku salah?" tanya Yui tak sabar. Ia takut obat yang ia buat dengan susah payah ternyata tidak berhasil.
Liannaka tersenyum simpul. "Kau hebat. Obat mutasimu berhasil dengan baik. Sekarang, makanlah! Cukup satu saja."
Liannaka menyodorkan botol itu kembali pada pemiliknya. Ia bisa melihat keraguan di mata Yui. Entah apa yang gadis itu takutkan, ia tidak tahu.
"Emm, apakah ada efek sampingnya, Liannaka-san?" tanya Yui setelah menerima botol obatnya kembali.
"Tidak ada."
"Oh. Baiklah." Yui menarik nafas lega. Ia segera mengambil satu butir pil dari dalam botol. Ia menatap Liannaka sejenak sebelum memasukkan pil ke dalam mulutnya. Liannaka terus memperhatikan perubahan yang terjadi pada Yui.
"Emm." Yui mengernyit aneh saat lidahnya mengecap rasa pahit yang kuat. Ia menelan pil itu bulat-bulat. Sejenak ia tak merasakan apapun. Namun beberapa saat kemudian, ia merasakan panas membakar lambungnya. Jantungnya berdetak kencang secara tak normal. Keringat dingin keluar melewati pori-pori kulitnya dengan jumlah tak terkira. Ia mencengkeram dadanya karena detak jantungnya terus meningkat. Panas luar biasa menyebar ke jantung, paru-paru dan hatinya. Panas itu terus menyebar ke seluruh tubuhnya. Nafasnya mulai terengah-engah. Sekuat apapun ia menarik nafas namun oksigen tak juga ia dapatkan dengan banyak. Kepalanya mulai terasa berat dan pening. Sakit menusuk di beberapa tempat. Seolah batu berton-ton sedang menimpa kepalanya. Matanya mulai perih dan pandangannya mengabur. Tubuhnya terasa semakin melemah. Ia tak kuat menopang tubuhnya sendiri hingga ia terjatuh ke atas tanah.
"Yui!"
Liannaka buru-buru menahan tubuh Yui yang terjatuh ke tanah. Ia membaringkan tubuh Yui ke atas tanah berlapiskan dedaunan kering. Ia memeriksa denyut nadi di tangan dan leher Yui.
"Tenanglah, Yui. Kau akan baik-baik saja," kata Liannaka.
Yui mengangguk samar. Ia berusaha keras untuk tetap sadar. Ia mencoba mengatur nafasnya agar tak terengah-engah. Rasa panas dalam tubuhnya terasa sampai ke ujung jari kakinya. Kepalanya semakin nyeri dan sakit. Ia memejamkan matanya rapat-rapat karena tidak tahan akan rasa sakit yang ia rasakan.
"Uji coba memang selalu menyakitkan. Kau akan merasakan seperempat dari rasa sakit jika kau diubah menjadi vampir. Sebentar lagi akan selesai. Bertahanlah," kata Liannaka. Ia terus menyemangati Yui. Ia tidak mau Yui gagal dalam uji coba.
"Hhhh."
Yui mendesah keras. Ia memeluk tubuhnya yang terasa kaku. Otot-ototnya terasa ditarik keluar dari tubuhnya. Ia tidak bisa menahannya lebih lama.
"Arghh!!"
Yui berteriak keras bersamaan dengan memuncaknya rasa sakit yang ia rasakan. Perlahan rasa sakitnya semakin berkurang. Ia merasa tubuhnya ringan. Ia membuka matanya perlahan. Wajah cantik Liannaka yang pertama ia lihat. Wajah itu terlihat lega. Ia berusaha bangun dari posisi berbaringnya.
Liannaka segera membantu Yui duduk dengan tegak. "Kau sudah merasa lebih baik?"
Yui menatap Liannaka sekilas sebelum menunduk untuk melihat keadaannya sendiri. Ia merasa ringan dan berbeda. Hanya itu yang ia rasakan. Apa itu bisa disebut keadaan yang lebih baik? "Entahlah, aku merasa ringan. Itu saja."
Liannaka tersenyum simpul. Ia sudah bisa menebaknya. "Kau butuh cermin?"
"Eh?" Yui memandang Liannaka dengan bingung. "Untuk apa?"
"Tentu saja melihat dirimu saat menjadi vampir," kata Liannaka dengan lembut. Rasa cemas tak merasukinya lagi. Ia tersentak kaget saat melihat iris mata Yui yang tidak berubah. Itu akan menjadi masalah bila ada vampir lain yang melihatnya. Ia harus segera menemui tuannya.
'Bawa dia padaku dengan blackhole secepatnya,' bisik suara di dalam pikiran Liannaka.
"Ah. Sebaiknya kita segera ke Centerene Palace. Kita tidak punya banyak waktu," kata Liannaka cepat.
Yui agak heran mendengar perubahan argumen dari Liannaka dalam waktu kurang dari satu menit. Ia segera berdiri. Eh? Ia merasa aneh dengan tubuhnya. Ia merasa tubuhnya lebih ringan dan mudah digerakkan. Apa ini kekuatan vampir? Ia mulai berpikir bagaimana mencoba kekuatan vampir yang dulu selalu membuatnya kagum. Ia mencoba berlari ke arah pohon dengan cepat. Sret! Ia tersentak kaget saat ia sudah ada di depan pohon yang tadi ia jadikan target. Ia menunduk dan menatap tubuhnya lekat-lekat. Sangat berbeda dengan dulu. Ia sadar kalau manusia memang lemah dan lambat. Dan Vampir adalah kebalikannya. Tak heran ada banyak manusia yang ingin menjadi vampir.
"Yui, kita harus segera ke Centerene Palace," kata Liannaka lagi. Ia tak heran melihat tingkah Yui. Dulu ia juga begitu saat pertama kali diubah.
"Eh? Iya." Yui tersenyum manis. Namun sedetik kemudian senyum itu hilang. Ia baru menyadari sesuatu. 'Liannaka-san tadi mengatakan akan ke Centerene Palace. Bu-bukankah itu tempat tinggal klan Kurochiki. Apa maksudnya aku akan tinggal di Cen- For God Sake! Apa aku sedang bermimpi?' pikirnya.
Ia menatap Liannaka dengan tatapan takjub, tak percaya dan bahagia. "Cen-terene Palace? Tempat tinggal Kurochiki?"
Liannaka tersenyum sambil mengangguk. Yui lansung memeluk Liannaka tanpa canggung seolah ia sering melakukannya. Liannaka yang awalnya kaget hanya bisa membalas pelukan hangat itu.
"Ayo, pergi! Blackhole sudah siap," kata Liannaka sambil membimbing Yui ke arah blackhole yang tercipta tak jauh dari tempat merek berdiri.
"Hah? Blackhole? Apa aku akan mabuk jika memasukinya? Apa seperti disedot rasanya?" tanya Yui dengan nada ragu. Ia sedikit takut dengan blackhole. Ia selalu membayangkan kalau blackhole memberikan sensasi yang sama dengan mesin penyedot debu atau vacuum cleaner.
"Tentu saja tidak. Rasanya seperti terbang di ruang hampa," jawab Liannaka.
"Benarkah? Aku ingin mencobanya."
Yui terlihat bersemangat. Ia mengikuti langkah Liannaka menuju blackhole. Tanpa ragu ia masuk ke dalam blackhole setelah Liannaka masuk. Keduanya hilang tertelan blackhole.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Centerene Palace, 7 a.m.
Dok! Dok! Seorang pelayan laki-laki mengetuk ruang kerja Ryuta. Pelayan berambut putih pendek itu adalah salah satu pelayan Kurochiki yang selamat. Namanya Szatark.
"Ryuta-sama, dia sudah datang. Mereka sudah sampai di pintu gerbang Centerene Palace," kata Szatark pelan dari balik pintu.
Ryuta yang sedang berdiri di dekat jendela tersentak kaget. Ia mengalihkan tatapannya pada taman ke arah pintu. "Iya. Aku tahu. Aku akan segera ke sana."
"Baik, Ryuta-sama." Szatark membungkuk sekilas sebelum berjalan menjauhi ruang kerja Ryuta. Walaupun Ryuta tak melihatnya, ia tetap menjaga sopan santun yang telah ia lakukan sejak ia mengabdi di klan Kurochiki.
Sepeninggal Szatark, Ryuta tetap tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia kembali memandang taman di samping ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Bunga-bunga anggrek yang mulai mekar tak mampu membuatnya tergerak dari dunia lamunannya sendiri.
"Aku percaya padamu, kakak. Maka aku mempercayai takdir. Kali ini aku tak akan merubah takdir klan kita seujung jari pun. Aku akan membiarkan semuanya berjalan sebagaimana Tuhan menggariskannya," gumam Ryuta.
Ia menghela nafas panjang sebelum berbalik. Ia berjalan pelan menuju lemari besar di ujung ruangan. Lemari kayu yang sudah berumur ratusan tahun. Ia berhenti tepat di depan lemari itu. Tangan kurusnya meraih handle pintu lemari. Menariknya pelan sampai terlihat bagian dalam lemari. Ia mengambil kotak kayu hitam di dalam lemari pada sekat kedua. Ia meletakkannya di atas lantai.
"Aku tahu bukan sekarang waktunya dia muncul. Semoga benda ini akan membantunya dengan baik," kata Ryuta sambil memandang kotak itu.
Perlahan ia membuka kotak itu. Ada beberapa kotak kecil di dalamnya. Tangannya langsung terulur untuk mengambil kotak yang ada di tengah. Kotak mungil berbahan kayu rotan yang dijalin dengan indah. Kotak itu berwarna coklat gelap. Ada motif bunga lavender di gembok kotak itu.
"Kakak, lindungilah putrimu," gumam Ryuta pelan sambil membuka gembok dengan mengusapkan darahnya ke motif bunga lavender.
Klik! Gembok kunci terbuka. Ia segera melebarkan tutup kotak dan mengambil benda di dalamnya.
"Ryuta-sama!" panggil Szatark dari arah luar kamarnya.
"Ya. Tunggu sebentar," jawab Ryuta cepat. Ia segera memasukkan benda dalam kotak ke dalam saku mantelnya. Lantas membereskan kotak dan meletakkannya ke kotak besar. Dengan terburu-buru, ia memasukkan kotak besar ke dalam lemari. Ia berbalik dan berjalan ke pintu dengan cepat.
Ceklek! Pintu ruang kerja terbuka. Ryuta langsung bertatap muka dengan Szatark. Ia heran dengan ekspresi cemas di mata Szatark. Ia yakin ada yang tidak berjalan sesuai rencananya.
"Ada apa?" tanya Ryuta cepat.
"Maaf, Ryuta-sama. Ada masalah tak terduga yang tiba-tiba-," jawab Szatark pelan.
"Apa yang terjadi? Apa mereka baik-baik saja?" potong Ryuta begitu menyadari kemana arah pembicaraan Szatark.
"Maaf, Ryuta-sama. Saya tidak bisa melakukan apa-apa. Pemimpin klan Yamaichi menangkap mereka sebelum mereka sampai ke mansion utama," jelas Szatark. Ia menundukkan wajahnya. Ia merasa bersalah atas ketidakberdayaannya menolong mereka.
"Yamaichi? Sudah ku duga mereka akan mengusikku," gumam Ryuta dengan nada kesal. Ia mengepalkan tangannya. Iris matanya berubah merah, semerah darah.
"Ryuta-sama," panggil Szatark. Ia sedikit takut melihat aura kemarahan tuannya. Ia jarang melihat anggota klan Kurochiki menunjukkan kemarahannya. Karena klan murni Kurochiki tidak menyukai perang dan suka akan kelembutan, ketenangan dan keanggunan. Namun bukan berarti mereka tak pernah marah. Mereka akan menjadi monster paling menakutkan bagi vampir jika sedang murka. Seolah semua kekuatan alam menyatu ke dalam tubuh mereka.
"Perintahkan untuk menutup semua pintu gerbang Centerene Palace selama aku menjemput mereka!" titah Ryuta. Ia kembali masuk ke dalam ruang kerjanya. Langkahnya langsung tertuju pada pajangan dinding di dekat lemari. Ia menarik salah satu pajangan yang menempel di dinding. Katana perak yang pernah ia gunakan untuk membunuh penyerang klan Kurochiki yang berasal dari klan Sensubaki. Ia sudah lama tak menyentuh katananya semenjak pembunuhan berdarah 10 tahun lalu.
"Baik, Ryuta-sama," kata Szatark. Ia tahu tuannya sedang marah besar sekarang. Ia segera menyuruh salah satu anak buahnya untuk menyampaikan kepada semua penjaga gerbang untuk menutup semua pintu gerbang. Ia juga memerintahkan seorang anak buahnya untuk menyampaikan pesannya ke Northless Palace.
"Szatark! Apa Yamaichi membawa mereka ke mansion Yamaichi?" tanya Ryuta yang telah mengenakan mantel bepergiannya.
"Iya, Ryuta-sama. Mereka ditangkap saat hampir memasuki mansion utama. Penjaga tidak bisa mencegahnya karena Yamaichi mengatakan kalau mereka adalah penyusup. Saat saya sampai di sana, tidak ada jejak yang tersisa," jelas Szatark.
Ryuta menggeram kesal. Ia memejamkan mata sejenak sementara tangannya memegang gagang katananya erat-erat. Ia membuka matanya perlahan. Iris matanya berubah menjadi lebih pekat dari darah.
"Beraninya Yamaichi berulah di istanaku. Aku akan ke mansion Yamaichi sekarang juga. Cukup kau saja yang ikut, Szatark. Perintahkan semua anak buahmu untuk berjaga selama aku pergi. Jangan biarkan mereka keluar dari Centerene Palace selangkah pun. Aku akan menyegel Centerene Palace. Aku tahu Yamaichi berupaya menjebak kita," jelas Ryuta dengan nada dingin dan tegas. Ia tak main-main dengan ucapannya.
"Baik, Ryuta-sama," jawab Szatark. Ia memerintahkan anak buahnya untuk menyebar pengumuman. Lalu ia bergegas menyusul Ryuta. Ia tahu sejak lama kalau klan Yamaichi tidak menyukai klan Kurochiki. Tapi tidak pernah sekalipun mereka mengadakan perang terbuka seperti ini. Ada yang aneh.
Ryuta berhenti berjalan. Ia segera melafal mantra penyegelan dengan cepat sambil menggenggam benda di sakunya.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
"Kau baik-baik saja?" tanya Liannaka cemas saat melihat Yui berjongkok setelah mereka keluar dari blackhole tepat di depan gerbang Centerene Palace.
Yui mendongak. Menatap Liannaka dengan wajah pucat menahan mual. Ini bukan sensasi yang ia bayangkan. Ia kira di dalam blackhole hanya melayang saja. Tidak untuk putaran ekstra yang hampir membuatnya pingsan. Ia merasakan perutnya dikocok selama di dalam blackhole. Sungguh pengalaman tak terlupakan yang memualkan untuknya. Bukan sensasi vacuum cleaner yang ia takutkan melainkan washing machine yang jauh membuatnya mual.
"Emm, ya, ha-nya sedikit mual," kata Yui pelan. Ia menundukkan kepalanya yang sedikit terasa pening. Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan.
"Kau butuh obat mual?" tanya Liannaka dengan nada cemas.
"Eh?" Yui mendongakkan kepalanya dengan cepat. Ia menatap Liannaka dengan ekspresi heran. Lantas ia terkekeh pelan. "Tidak, Liannaka-san. Aku baik-baik saja. Jadi mau kemana kita sekarang?"
Liannaka tersenyum simpul. Matanya teralih menatap lurus melewati gerbang dan tertuju pada bagian dalam Centere Palace. "Tentu saja masuk ke dalam."
Yui mengikuti arah tatapan mata Liannaka. Ia ngerjapkan matanya beberapa kali sebelum senyum mengembang di bibirnya. "Wah! Benarkah? Aku senang sekali bisa melihat ke dalam istana Centerene Palace."
"Kenapa kau senang sekali?" tanya Liannaka sambil berjalan melewati gerbang utama Centerene Palace. Yui mengikutinya di belakang.
"Hemm. Sejak masuk Hunter 'ELF' Gakuen, aku sangat mengagumi klan Kurochiki." Yui nampak bersemangat saat mengatakan itu. Senyum senang tak terlepas sedetikpun dari wajahnya. Matanya dengan jeli mengamati keadaan sekitarnya. Ia berdecak kagum setelah melewati gerbang utama. Gerbang megah yang terbuat dari batu marmer. Matanya langsung teralihkan saat menemukan hamparan tanaman bunga yang berjajar rapi di sisi jalan yang ia lewati.
"Kenapa kau mengagumi klan Kurochiki? Apa yang membuatmu kagum?" tanya Liannaka. Ia senang melihat ekspresi senang di wajah Yui. Wajah cantik itu semakin sempurna dengan statusnya sebagai vampir.
"Emm, entahlah. Aku suka semua tentang klan Kurochiki. Mereka mengagungkan kelembutan dan ketenangan. Aku juga suka dengan pilihan mereka untuk hidup damai tanpa perang. Yang jelas, aku suka semua tentang klan Kurochiki. Terutama kepercayaan penuh mereka akan takdir. Aku juga percaya 100% pada takdir. Mungkin kesempatan ini juga takdir untukku. Tapi..." Celotehan Yui terhenti. Ia menundukkan wajahnya yang nampak kecewa.
"Tapi apa?" tanya Liannaka.
Yui mendesah keras. Ia berubah sedih. Matanya berkaca-kaca. "Tapi... Tapi kenapa harus terjadi tragedi itu. Bukankah itu bisa dicegah."
Liannaka ikut terbawa suasana. Ia juga merasakan hal yang sama. Merasa tak rela akan tragedi yang melanda klan Kurochiki. "Kau benar, tapi itulah klan Kurochiki. Bagi mereka, takdir adalah jalan hidup mereka."
Yui mengangguk setuju. "Ah, Liannaka-san. Apa kau tahu kasus yang akan ku selidiki?"
"Tidak," kata Liannaka sambil menggeleng cepat.
"Ah, itu ten-"
Kalimat Yui terpotong saat beberapa bilah pedang terulur menghalangi jalannya tepat 5 meter di depannya. Ia mengernyit heran dan beralih menatap Liannaka.
"Tundukkan wajahmu. Jangan buka matamu sedetik pun," bisik Liannaka yang sudah ada di dekat Yui. Ia memegang tangan Yui erat-erat. Ia tak menyangka akan dihadang sekompi pasukan di Centerene Palace. Apalagi pasukan itu adalah pasukan klan Yamaichi. Klan yang selalu mengusik keberadaan klan Kurochiki. Padahal ia hampir sampai di mansion utama. Tapi untuk apa pasukan klan Yamaichi ada di Centerene Palace?
"Ckck, kau memasukkan penyusup ke dalam Centerene Palace rupanya," kata seorang wanita berambut merah terang. Mata beriris coklat kemerahannya menatap lurus ke arah Yui yang terus menunduk. Lantas ia mengalihkan tatapannya ke arah Liannaka. Ia tertawa sinis sejenak sebelum berjalan mendekati Yui dan Liannaka. Ia adalah istri Novak Yamaichi, Senna Yamaichi.
Liannaka menatap Senna dengan wajah datar. "Yamaichi-san, dia bukan penyusup. Dan kenapa anda bisa ada di sini?"
Senna tertawa lagi. Tawa penuh kelicikan. "Tangkap mereka berdua dan bawa ke mansion Yamaichi!"
Liannaka terkejut dengan perintah Senna. Itu melanggar aturan. Ia tahu tapi tak bisa berbuat banyak. Yang bisa ia lakukan hanya mencegah vampir lain melihat iris mata Yui.
'Yui, jangan buka matamu sedetikpun,' bisik Liannaka dalam pikiran Yui. Ia tetap memegang tangan Yui erat-erat walaupun ia diseret pasukan Yamaichi.
Yui yang mendapat pesan pikiran hanya melakukannya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak tahu apa salahnya sampai ia ditangkap. Ia hanya menuruti apa kata Liannaka, walaupun ia heran kenapa ia bisa berkomunikasi lewat pikiran dengan Liannaka.
"Hei! Kenapa kau menunduk terus?" tanya Senna dengan nada sinis tepat setelah ia menghentikan langkahnya di dekat pintu gerbang mansion Yamaichi.
"Aku takut," gumam Yui pelan. Ia tetap menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Senna tertawa sinis. Ia mengernyitkan keningnya sambil menekan kepala Yui dengan satu jarinya. "Kau vampir yang bodoh!"
Yui tetap diam. Senna yang kesal langsung menarik dagu Yui ke atas. Memaksa Yui untuk melihatnya. Ia bertambah kesal saat melihat Yui memejamkan mata.
"Buka matamu, bodoh!" seru Senna keras. Merasa tak ditanggapi, ia langsung mencengkeram leher Yui sampai membuat Yui merasa sesak. Tapi Yui tetap bergeming tak menjawab ataupun melakukan apa yang dikatakan Senna.
"Kau!" Senna melempar Yui ke tanah. Ia menatap Yui dengan marah. Iris matanya berubah merah darah.
Liannaka buru-buru membantu Yui berdiri. Ia melihat keanehan pada Yui. Ada tattoo kecil menghiasi dahinya dimana poni rambutnya tersibak. Tattoo yang ia kenal sebagai tattoo segel iris mata khusus klan Kurochiki. Ia lega. Apa artinya tuannya sudah menyegel warna iris mata Yui?
'Apa aku terlambat, Liannaka?' bisik tuannya dalam pikirannya.
'Tidak, Ryuta-sama,' jawabnya pelan tetap dalam pikirannya.
Ia mengusap kening Yui sekaligus merapikan poni Yui agar menutupi tattoonya.
"Buka matamu. Sudah tidak ada apa-apa," kata Liannaka pelan.
Yui menurut. Ia membuka matanya perlahan. Ia langsung membelalakkan matanya karena melihat sebuah katana melayang ke arah kepala Liannaka. Dengan cepat, ia menarik Liannaka menjauh.
"Hampir saja," gumam Yui. Ia berdiri dan tetap menatap horor ke arah Senna yang masih memegang katana.
"Hebat juga reflekmu. Aku menantangmu!" kata Senna sambil mengacungkan katananya ke arah Yui. Ia mengisyaratkan matanya kepada anak buahnya untuk memberikan katana pada Yui.
Liannaka menatap Yui dengan cemas. Ia semakin khawatir saat melihat Yui menerima katana dari anak buah Senna. Ia mulai berharap tuannya ada di sini sekarang juga.
Yui menerima katana itu tanpa takut. Ia tidak pernah melewatkan tantangan. Ia memang tak pernah menggunakan katana, hanya sebatas kendo yang ia pelajari. Tapi tak ada salahnya dicoba.
"Apa peraturannya, Yamaichi-san?" tanya Yui. Katananya tidak dalam posisi serang ataupun bertahan.
Senna menyeringai licik dan langsung menyerang Yui dengan cepat. Yui tersentak kaget karena diserang tanpa persiapan apapun.
Trang! Jleb! Katana Senna melayang jatuh dan menancap di tanah. Senna nampak shock dengan apa yang ia lihat. Sementara Yui tidak bergerak sedikitpun. Ia cukup kaget dengan kejadian di depan matanya. Seseorang sudah berdiri tepat di hadapan Yui. Rambut hitam kemerahannya terlihat berkibar diterpa angin. Tubuh jangkungnya menjulang tinggi di depan Yui. Dari postur tubuhnya, Yui menduga kalau dia adalah laki-laki. Tapi yang membuat Yui heran, kenapa laki-laki itu bisa menangkis pedang Senna tanpa benda apapun. Laki-laki itu menangkisnya dengan tangan kosong. Yui yakin, sehebat apapun laki-laki itu walaupun vampir sekalipun, tetap saja akan ada luka akibat katana yang tak diragukan lagi ketajamannya. Pada dasarnya manusia dan vampir sama-sama lemah terhadap benda tajam.
"Ni-el... Niel-sama," gumam Senna dengan suara tercekat.
"Yang Mulia!" seru Liannaka dan beberapa pasukan Senna secara bersamaan. Mereka menunduk untuk memberi hormat.
Yui terdiam saat mendengar Liannaka dan beberapa vampir lain mengatakan 'Yang Mulia' sambil menunduk hormat. Jadi siapa sebenarnya vampir di depannya ini? Niel. Hanya itu yang Yui tahu. Ia mendengar samar panggilan dari wanita yang tadi menantangnya. Kalau ia tak salah, wanita itu dari klan Yamaichi.
"Dalam aturan pertarungan menggunakan pedang, kau tidak bisa menyerang orang yang tidak dalam keadaan siaga, Yamaichi-san," kata laki-laki yang dipanggil Niel oleh Senna. Ia menurunkan tangan kanannya yang tadi ia gunakan untuk menangkis katana milik Senna. Darah mengalir dari luka memanjang di lengan bawahnya. Walaupun ia merasakan nyeri namun ia tetap memasang wajah tenang tanpa ekspresi kesakitan sedikit pun.
Yui tertegun saat mendengar suara Niel. Ia merasa mengenal suara itu entah dimana. Ia melotot kaget saat matanya menangkap darah menetes dari tangan kanan vampir yang ia anggap bernama Niel. Tangan kirinya secara reflek meraih tangan kanan Niel. Sementara tangan kanannya mengambil sapu tangan di saku mantelnya.
Niel kaget saat ada yang menarik tangan kanannya. Buru-buru ia menoleh ke belakang, ke arah dimana orang yang menarik tangannya berada. "Eh? Apa yang ka-"
"Tanganmu terluka. Apa kau tidak merasa sakit?" potong Yui dengan cepat. Ia mengusap darah yang mengalir dari luka di tangan Niel. Tangan yang bebas berusaha menggulung lengan kemeja hitam yang Niel kenakan.
Niel terdiam saat matanya menangkap sosok gadis yang mengusap darah di lengannya. Rambut coklat gelap yang diikat rapi ke atas. Hanya itu yang ia lihat karena gadis itu menundukkan wajahnya. Dari baunya, ia tahu gadis itu vampir. Tapi kenapa ia tak pernah melihat gadis itu selama ini? Ia malah merasa kalau gadis itu familiar di ingatannya tapi bukan sebagai vampir, melainkan manusia.
"Kau siapa?" tanya Niel sambil menahan tangan Yui.
"Eh?" Yui mengangkat wajahnya.
Deg! Mereka saling bertatapan dalam diam. Detak jantung keduanya berdebar kencang.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Ryuta langsung membuka blackhole untuk menuju mansion Yamaichi begitu berada di luar gerbang Centerene Palace. Di kerajaan Vampir, blackhole hanya bisa digunakan di luar kediaman klan. Walaupun ada beberapa tempat pengecualian. Ia memegang katananya dengan menahan amarahnya. Szatark yang berada di belakangnya hanya berharap kalau tuannya tidak hilang kendali.
"Ryuta-sama, sepertinya sedang terjadi sesuatu," kata Szatark saat ia dan Ryuta sampai di dekat pintu gerbang mansion Yamaichi. Ada keramaian tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Aku tahu," gumam Ryuta. Ia berjalan cepat mendekati kerumunan. Ia tersentak kaget saat melihat Niel ada di dekat Yui. Posisi keduanya berhadapan dan saling bertatapan intens. Ia sempat cemas namun segera ia menepisnya. Ia mempercayai takdir yang mulai berputar kembali.
'Mereka tidak akan saling mengenal. Walaupun aku bisa merasakan takdir yang terlanjur mengikat benang merah di antara mereka berdua. Biarlah mereka saling mengenal dari awal,' pikir Ryuta.
"Niel-sama!" seru Senna keras.
Niel dan Yui yang sedang terhanyut dalam tatapan masing-masing, tersentak kaget. Mereka seakan tersadar atas apa yang mereka lakukan. Mereka segera memutus kontak mata itu. Debaran yang tersisa masih memenuhi jantung mereka.
Yui langsung menundukkan wajahnya dan menyibukkan diri untuk membersihkan darah di lengan Niel. Walaupun hanya dengan tangan kirinya karena tangan kanannya masih ditahan Niel. Ia teringat wajah tampan Niel yang serasa menghipnotisnya. Wajah tampan dengan garis wajah tegas. Mata beriris coklat keemasan yang mempesona dan tatapan tajam yang sanggup melelehkannya. Tanpa bisa ia cegah, wajahnya merona merah saat memikirkan itu. Walaupun rona merah itu tak sekuat saat ia masih menjadi manusia. Jantungnya juga berdebar tanpa ia tahu alasannya. Yang ia rasakan hanya kehangatan yang mengalir dari tangan Niel yang menahan tangannya.
Niel hanya mampu menahan nafas saat ia menyesap aroma lavender yang diam-diam ia rindukan. Ia kembali menatap Yui tanpa berkedip walaupun ia sadar ada banyak vampir yang melihatnya. Ia mengulang kembali wajah cantik yang ia tatap tadi. Wajah putih pucat tanpa cela. Bibir tipis merah yang menggoda. Rambut coklat gelap berponi yang terikat rapi. Pipi yang pucat, walaupun sekarang ia tahu pipi itu sedang merona merah. Ia yakin gadis di depannya adalah gadis manusia yang ia temui di Sorrowforest. Aroma lavendernya masih sama. Tapi iris matanya berbeda. Violetnya berubah menjadi coklat kemerahan. 'Kenapa bisa gadis itu berubah menjadi vampir secepat ini? Apa mereka berbeda? Aku harus memastikannya,' tanyanya dalam hati.
"Kau siapa?" tanya Niel sambil menarik pergelangan tangan Yui. Ia mengamati pergelangan tangan kanan Yui dengan saksama. Di sana ada tattoo phoenix kecil yang terlihat samar. Senyum kecil terlukis di bibirnya. 'Tidak salah lagi. Dia memang gadis itu. Tapi apa yang sebenarnya terjadi padanya? Kenapa dia jadi vampir?' pikirnya.
"Eh?" Yui tersentak kaget saat tangannya ditarik Niel. Tapi dia diam saja. Tak melakukan apapun. Ia juga bingung harus menjawab apa atas pertanyaan yang dilontarkan Niel.
"Niel-sama, biar saya yang menjelaskan. Dia ini penyusup! Maka dari itu saya menangkapnya," kata Senna begitu tersadar dari rasa kagetnya. Yang tidak ia sadari adalah kehadiran pemimpin klan Kurochiki.
Niel melepas tangan Yui. Ia melirik Yui yang tetap menundukkan kepalanya. Ia membalikkan tubuhnya dan menatap Senna dengan tajam. "Apa maksudmu?"
"Ya, maksud saya, vampir ini-" Senna menunjuk Yui. "-adalah penyusup. Dia akan menyusup Centerne Palace kalau saya tidak mencegahnya."
Niel mengernyitkan keningnya. Ia heran kenapa ada vampir yang mau menyusup ke Centerene Palace yang jelas-jelas sangat berbahaya karena penjagaannya yang super ketat. Ia sulit mempercayai alasan Senna.
"Dimana kau menangkapnya?" tanya Niel dengan nada datar. Matanya melirik ke arah Yui sekilas. Ia tidak percaya kalau Yui mampu melakukan itu. Walaupun ia tahu Yui sangat cerdas.
"Di dekat mansion utama Centerene Palace," jawab Senna dengan nada menyakinkan.
Niel menatap Senna tajam. Ada yang salah dengan jawaban itu. Bagaimana mungkin klan Yamaichi melakukan penangkapan di kediaman klan lain? Walaupun klan Yamaichi adalah petugas Imigrasi namun tindakan itu melanggar aturan.
"Bagaimana mungkin?" tanya Niel tak percaya.
"Tentu saja, Niel-sama. Ada pelayan yang menyelundupkannya," jawab Senna dengan nada kesal sambil menatap Liannaka. Ia yakin Niel akan mendukungnya.
Niel melihat ke belakang. Melewati Yui yang tetap diam sambil menundukkan kepalanya dan menatap Liannaka. Ia tersentak kaget saat matanya bertemu pandang dengan pemimpin klan Kurochiki.
"Paman!" seru Niel.
Senna mengikuti arah pandang Niel. Ia langsung menegang saat melihat Ryuta berdiri di samping Liannaka. Bagaimana mungkin ia melewatkan orang sepenting dia?
"Biar aku yang menjelaskan semuanya, Niel," kata Ryuta dengan tenang.
Yui yang awalnya menunduk, akhirnya mengangkat kepalanya. Ia menatap lurus ke arah Ryuta. Ia merasakan aura kebijaksanaan dari sosok Ryuta. Ia menatap kagum ke arah Ryuta. Ia senang karena bisa bertemu Ryuta, sosok yang ia kagumi.
"Eh? Bisa paman jelaskan semuanya. Aku bingung," kata Niel pasrah. Ia melirik Yui sekilas. Ia kaget saat melihat tatapan penuh kekaguman yang Yui berikan pada Ryuta.
"Dia..."
Ryuta menunjuk sosok Yui. Yui yang merasa ditunjuk hanya tersenyum kaku. Apalagi Niel menatapnya lekat-lekat. Yui bersumpah jantungnya bisa pensiun dini jika ditatap seperti itu setiap hari. Ia tak mengelak untuk mengakui kalau vampir memang makhluk mempesona yang berbahaya.
"Dia adalah tamu istimewa dari Tosakyo city. Namanya Yuicathra Fukuzawa. Dia akan tinggal di kediamanku, maka dari itu aku memerintahkan pada Liannaka untuk menjemputnya. Aku tidak menyangka akan ada kesalahpahaman seperti ini," jelas Ryuta.
Senna langsung tertohok mendengar penjelasan Ryuta. Ia sadar bahwa ia lah yang akan dihukum nantinya atas dua kesalahannya. Salah tangkap dan melanggar aturan.
"Maafkan saya, Ryuta-sama. Ini salah saya. Maafkan saya. Saya sangat menyesal," kata Senna sambil membungkuk.
Ryuta mendengus pelan. Ia tak menangkap nada sesal sedikit pun dari pengucapan Senna. Tapi ia tidak mungkin marah-marah di depan Niel. Ia akan menahan diri. "Seharusnya kau meminta maaf pada Yui. Ah, kau juga harus meminta maaf pada Yang Mulia atas luka yang kau akibatkan."
Senna mengeluh dalam hati. Ia membungkuk pada Niel terlebih dahulu. Ia masih bisa terima jika harus meminta maaf pada Niel. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya pantas dihukum."
Niel mengangguk sekilas tanpa mengatakan apapun. Ia malas berbicara pada Senna karena kejadian ini adalah kesalahan Senna.
Setelah itu, Senna meminta maaf pada Yui dengan setengah hati. "Maafkan aku, Fukuzawa-san. Kau bisa menghukumku sesukamu."
Yui tersenyum manis. Ia tak sadar kalau senyuman itu mempesona semua vampir yang melihatnya kecuali Senna. "Ah, tidak. Ini hanya salah paham, Yamaichi-san. Kau tidak perlu dihukum."
Ryuta tersenyum melihatnya. Ia sudah menduganya. Yui terlihat mirip dengan kakak iparnya, Cagalli. 'Kau tahu, Cagalli-nee. Dia sangat mirip denganmu,' batinnya sambil menatap langit.
"Baiklah. Aku akan membawa Yui ke kediamanku," kata Ryuta sambil berbalik menuju jalan ke Centerene Palace.
"Ayo!" ajak Liannaka.
"Eh?" Yui bingung. Ia melihat ke arah Niel. Ia kaget saat matanya bertemu pandang dengan Niel.
"Ada apa?" tanya Niel dengan nada datarnya.
Yui jadi salah tingkah. Apalagi Liannaka masih menunggunya. Yui menunjuk luka di tangan kanan Niel. "Emm, sebaiknya Yang Mulia segera mengobatinya."
Setelah mengatakan hal itu Yui langsung berbalik dan mengejar Liannaka. Sementara Niel hanya terdiam. Ia melirik luka di tangannya.
"Luka seperti ini bukan masalah besar. Untuk apa ku obati," gumam Niel pelan.
Ryuta berhenti berjalan dan melihat ke belakang. "Niel! Bagaimana kalau kau mengunjungi rumah pamanmu ini? Sudah lama kau tak berkunjung ke Centerene Palace."
"Eh?" Niel menatap Ryuta yang ada jauh di depannya dengan tatapan kaget juga bingung. Ia memang sudah lama tak mengunjungi rumah pamannya itu. Ia melihat pelayan pamannya juga Yui menatapnya ramah. Ia menatap Yui lama sebelum menjawab ajakan pamannya.
"Baiklah kalau paman memaksa."
Niel sengaja berjalan di samping Yui di barisan paling belakang. Ia tahu kalau sejak tadi, Yui meliriknya terus menerus.
"Kenapa kau menatapku terus menerus?" bisik Niel dengan nada menuduh dan dingin.
Yui agak kesal dan kaget mendengar nada menuduh dan dingin yang ditujukan padanya. Namun ia tetap memasang senyum manis yang membuat Niel terpesona. "Eh? Ti-tidak. Emm. Bagaimana dengan luka Yang Mulia?"
"Bukan urusanmu," kata Niel datar.
Yui hanya tersenyum begitu mendengar jawaban datar yang tidak ramah sama sekali. Dalam hati ia menyumpahi Niel agar terjatuh atau menabrak apa saja agar rasa sombong dan dingin yang dimiliki Niel berkurang. Ia paling tidak bisa menahan diri dari orang semacam Niel.
"Semoga cepat sembuh," katanya dengan setengah hati.
"Hn. Aku tidak butuh doamu." Niel hanya membalasnya dengan kalimat dingin. Ia tak peduli pada mimik wajah kesal yang ditunjukkan Yui. Walaupun gadis itu berbeda baginya, tetap saja ia anti bersikap baik secara langsung. Ia tetap berjalan dengan sekuat tenaga agar tidak mempedulikan Yui lagi. Namun tanpa sadar ia menyentuh luka di tangannya yang sudah dibalut sapu tangan putih bernoda darahnya sendiri. Sapu tangan yang ia ingat adalah milik Yui. 'Padahal aku bisa menyembuhkannya sendiri, tapi kenapa aku membiarkannya seperti ini. Ck, gadis itu membuatku aneh. Dia terlalu berbeda dan aneh,' batinnya.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Yui duduk terdiam di taman dekat kamarnya. Saat ia masuk ke kamar yang telah disiapkan untuknya, ia agak kaget karena semua bajunya sudah ada di kamar. Liannaka mengatakan padanya kalau barangnya sudah dikirim sebelum mereka ke Centerene Palace. Ia senang ada di Centerene Palace. Mansion yang indah dan tenang baginya. Walaupun ia merasa agak aneh dengan semua keadaan mansion. Semua terasa tidak asing di benaknya.
"Hahhh." Ia mendesah pelan. Pandangan matanya ia alihkan ke arah langit yang mendung. Aroma musim gugur masih terasa kuat di indra penciumannya. Padahal sudah waktunya memasuki musim dingin.
"Niel... Niel itu siapa ya?" gumamnya tanpa sadar. Ia menyangga dagunya dengan kedua telapak tangannya. Ia berpikir keras. Ia merasa pernah mendengar tentang Niel. Entah dimana ia lupa.
"Ah, aku telepon ayah saja. Mungkin dia tahu." Yui beranjak dari taman dan menuju ke kamarnya. Ia merasa diingatkan untuk segera memberi kabar pada ayahnya. Ia segera bergegas menyusuri jalan setapak di tengah taman. Namun ia berhenti berjalan saat hampir sampai di koridor menuju kamarnya. Buru-buru ia membungkuk untuk memberi salam kepada pemimpin klan Kurochiki yang ada tepat di depannya.
"Ah, kebetulan aku sedang mencarimu, Yui. Ada yang ingin ku bicarakan denganmu," kata Ryuta.
Yui mengerjapkan matanya dengan ekspresi bingung. "Hal apa yang ingin anda bicarakan dengan saya, Paman, eh tidak, Ryuta-sama, eh, Yang Mulia."
Yui nampak bingung memanggil Ryuta dengan sebutan apa. Ia menunduk malu karena sikapnya yang tidak sopan. Ia sampai memukul kepalanya dengan pelan. 'Bodoh! Yui! Kau bodoh sekali. Kenapa kau memanggilnya paman. Sejak kapan dia menikah dengan bibimu. Kenapa pula kau memanggilnya dengan Ryuta-sama. Memangnya kau anggota klan Kurochiki. Hah, untunglah aku sempat menyebut Yang Mulia. Hwah! Aku malu,' batinnya.
Ryuta tersenyum aneh saat melihat Yui memukul kepalanya sendiri. Ada rasa senang juga sedih, yang menyatu dalam hatinya. Senang karena bisa melihat keponakannya dari jarak sedekat ini. Sedih karena tidak bisa memeluknya dan berbagi kisah dalam status keponakan dan paman. 'Memang seharusnya kau memanggilku dengan sebutan Paman, Yui. Apapun yang terjadi selama 10 tahun terakhir, kau tetap dan akan selalu menjadi keponakanku,' batinnya.
"Apa yang kau lakukan?" Ryuta menahan tangan Yui yang sudah bergerak akan memukul kepalanya sendiri. Ia menatap Yui dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang saat Yui mendongak untuk melihatnya. "Kau boleh memanggilku dengan paman."
"Ta-tapi..."
"Tidak apa-apa. Sekarang ikut aku. Ada beberapa hal yang harus kau ketahui tentang peraturan di sini dan apa yang bisa dan tidak bisa kau lakukan selama ada di Vampir 'ZERO' Academy."
"Ah, iya."
Yui segera mengikuti Ryuta yang berjalan di depannya. Ia sadar akan misinya saat ini. Ia juga bisa menebak kalau misinya kali ini akan sulit.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Yamaichi's Mansion
"Apa yang kau lakukan, Senna?" seru Novak keras. Ia menatap Senna dengan marah. Iris matanya berubah semerah darah.
"Maaf, suamiku," kata Senna dengan pelan. Ia menunduk dalam-dalam. Wajahnya yang pucat semakin terlihat pucat.
"Kau!" Novak menjatuhkan dirinya ke atas kursinya. Ia mendengus keras. "Hah! Sudah ku duga! Ada yang aneh dengan tempat itu. Aku sudah mencoba masuk tapi tempat itu disegel. Dan kau! Apa yang kau lakukan sampai kau berani melukai Pangeran, huh?"
"Ma-maaf. Aku tak sengaja. Aku hanya melakukan perintahmu. Tapi gadis itu membuatku kesal." Senna memasang wajah menyesal yang memuakkan di mata Novak.
"Sudah! Pergilah! Kau membuatku kesal. Rencana selanjutnya, aku saja yang melakukannya," kata Novak. Ia mengepalkan tangannya dan memukul meja di dekatnya.
"Sial!"
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Vampire 'ZERO' Academy
"Kau kenapa, Niel? Kenapa tanganmu terluka?" tanya Marion begitu Niel memasuki ruangan kelas.
"Hn?" Niel tak menjawab. Ia berjalan melewati Marion dengan tenang tanpa sedikitpun ekspresi yang menunjukkan kalau dia memperhatikan Marion.
"Hei! Niel! Aku bertanya padamu. Kenapa kau tidak memperhatikanku?" celoteh Marion tak terima akan sikap Niel.
"Ckk. Kau seperti tidak tahu kebiasaan Pangeran kita yang satu ini," sahut seorang gadis berambut coklat terang yang dipotong pendek sepundak. Mata beriris coklat kemerahannya nampak berkilat ramah. Dia adalah Rima Udr Toushimori, adik dari Rolfer. Dia juga sepupu Niel.
"Yeah, aku tahu itu," kata Marion.
"Hei! Niel! Ada apa dengan tanganmu? Kenapa ada sapu tangan berdarah di tanganmu?" seru Rolfer saat Niel duduk di bangku dimana ia biasa duduk. Tepat di samping bangku Rolfer.
"Bukan urusanmu." Niel nampak enggan menjelaskan. Rolfer mencoba menarik sapu tangan yang mengikat tangan Niel. Plak! Niel menepisnya dengan cepat. "Jangan sentuh!"
Rolfer tertawa kecil. Ia jarang melihat Niel bersikap seperti ini. "Wow! Kau aneh!"
Niel tak mempedulikan Rolfer sama sekali. Ia menyibukkan diri membaca buku. Walaupun di dalam pikirannya, ada hal lain yang berputar.
"Niel, kenapa kau bau lavender?" tanya Rima tanpa dosa.
Niel agak kaget namun segera memasang wajah datar andalannya. "Bukan urusanmu."
Rolfer dan Marion saling memandang lalu sama-sama menatap Niel.
"Pasti gadis itu," pikir Marion dan Rolfer bersamaan.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Hunter's Rules
"Don't do anything before get command."
0 komentar:
Posting Komentar