What do you think about the darkness behind of you?
What do you think about your shadow?
Have you ever think about your destiny?
Do you believe that you can't run from your destiny?
Do you believe that your destiny still walks following you without you know it?
And all will be end or continue?
The Last Pure-Blood Vampire | The Beginning
Centerene Palace, Kingdom of Vampire, 9 a.m.
Lorong utama mansion terlihat sepi. Semua pintu mansion tertutup rapat seolah tak mengizinkan sebutir salju pun menyelinap masuk. Di luar mansion, salju turun dengan deras. Angin dingin sesekali bertiup kencang. Menerbangkan butiran salju sampai ke koridor luar mansion. Jauh berbeda dengan keadaan di dalam mansion yang sangat sepi.
"Jadi apa jawaban anda, Athrun-sama?"
Suara berat dari seorang laki-laki berbadan gempal memecah keheningan sebuah ruangan luas di tengah-tengah mansion. Laki-laki itu duduk di atas bantal duduk dengan dagu terangkat. Rambut panjangnya yang mulai memutih diikat rapi ke belakang. Mata beriris merah darahnya menatap pasti ke satu penjuru di tengah ruangan. Laki-laki itu, Argon Sensubaki menanti dengan cemas akan jawaban sosok di hadapannya. Pemimpin klan terbesar Vampir Mud-Blood itu berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya. Ia tidak siap untuk sebuah penolakan dalam bentuk apapun.
Athrun Ust Kurochiki menghela nafas panjang. Mata beriris coklat kemerahan itu menatap lurus ke arah Argon. Rambut hitam kebiruannya tertiup angin yang menyelinap dari balik pintu geser di belakangnya yang tak tertutup rapat. Pemimpin klan Vampir Pure-Blood itu memiliki jawaban mutlak atas permintaan Argon.
"Maafkan aku, Sensubaki-san. Aku tidak bisa melakukan hal itu. Memurnikan vampir mud-blood yang bukan merupakan pasangan mate adalah hal terlarang bagi kami. Itu bisa merusak kemurnian kami," jelas Athrun dengan tenang. Suara lembutnya menyihir semua yang ada di dalam ruangan.
"Tapi kita bisa menjodohkan anak-anak kita."
"Sudahlah, Sensubaki-san. Itu tidak mungkin. Putri kami sudah memiliki calon suami sejak sebelum ia lahir," sahut Cagalli Ust Kurochiki, istri Athrun. Rambut pirangnya menjuntai sampai ke lantai kayu. Mata beriris coklat kemerahannya menatap enggan ke arah Argon. Tak ada senyum sedikitpun di wajahnya. Ia tidak akan pernah mau menyunggingkan senyum untuk orang yang berani meminta hal terlarang pada klan Kurochiki. Terlebih meminta putrinya sendiri.
"Tapi Cagalli-sama, itu bisa diatur. I-" Argon tetap bersikeras membujuk pasangan pemimpin klan Kurochiki. Ia tidak akan menyerah demi masa depan cerah untuk klannya yang selalu terhina.
"Hentikan ucapanmu, Sensubaki-san. Kau sudah merendahkan keluarga kami," sahut Ryuta Ust Kurochiki, adik Athrun. Rambut pendeknya bergerak seiring gerakan tubuhnya yang tiba-tiba berdiri. Mata beriris coklatnya memerah. Pertanda ia mulai marah.
"Duduklah, Ryuta. Biar aku yang bicara," kata Athrun tetap dengan intonasi tenangnya. Ia mengangkat tangan kanannya. Mengisyaratkan pada adiknya untuk duduk.
"Aku tidak akan merubah keputusanku, Sensubaki-san. Sebaiknya anda pergi," kata Athrun. Nada bicaranya yang berubah tegas dan dingin mampu mengubah atmosfer ruangan menjadi mencekam.
Argon menatap tajam ke arah Athrun sebelum beranjak dari posisi duduknya. Ia pergi tanpa berpamitan. Jauh di dalam hatinya ia kecewa dan marah. Ia tidak menyukai penolakan. Ia membenci penolakan klan Kurochiki. Ia menganggap penolakan itu sebagai penghinaan.
"Aku pastikan kalian akan membayar penolakan ini dengan nyawa kalian," batinnya.
Begitu pintu ruangan tertutup, Athrun mendesah keras. Ia membuka pintu geser di belakangnya dengan perlahan. Membiarkan butiran salju menyelinap masuk ke dalam ruangan. Semua mata menatapnya bingung.
"Aku sudah menduganya. Akan datang hari dimana ramalan terbukti. Tapi tidak ku sangka secepat ini," gumam Athrun pelan. Mata indahnya menatap langit yang kelabu.
"Ramalan apa, Athrun? Apa maksudmu ramalan Felicite-san? Apa maksudmu ramalan kehancuran klan ini, Athrun?" seru Cagalli. Ia yakin akan apa yang dikatakannya sama dengan apa yang dipikirkan suaminya. Ramalan yang sudah menghantuinya selama setahun belakangan ini. Ramalan penting yang dikatakan oleh Felicite. Ramalan tentang kehancuran klan Kurochiki.
"Ya. Juga ramalan tentang kematian kita, Cagalli," jawab Athrun untuk menanggapi pertanyaan Cagalli.
"Kakak! Hentikan omong kosong itu! Kalian tidak akan mati. Klan Kurochiki tidak akan hancur. Keponakanku juga tidak akan ku bunuh!" sahut Ryuta cepat. Ia berdiri dan segera menghampiri Athrun.
"Sudahlah, Ryuta. Ini adalah takdir. Kalau kau tidak membunuh putriku, dia lah yang akan menjadi pembunuh," gumam Cagalli pelan. Dari intonasi yang sarat akan kesedihan dan kegelisahan, semua orang tahu kalau ia sudah menyerah pada takdir.
"Tapi-"
"Kau tidak membunuhnya, Ryu. Kau hanya menyegel darah vampirnya," potong Athrun cepat, sebelum Ryuta sempat melayangkan protes.
"Benar apa kata Athrun, Ryu. Putriku akan dibangkitkan jika sudah waktunya," kata Cagalli membenarkan apa kata suaminya. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan pelan menuju pintu keluar yang tadi sempat dilewati Argon.
"Apa aku juga bisa membangkitkan kalian berdua dan anggota klan lain yang mati?" tanya Ryuta ragu. Ia menanyakan hal yang sudah mengganggu pikirannya sejak ramalan itu disampaikan Felicite kepada klan Kurochiki.
Athrun tersenyum simpul. "Tidak, Ryu. Takdir kami hanya sampai nanti malam. Yang ditakdirkan hidup lebih lama untuk melindungi putriku hanya kau dan ketiga pelayan setiamu. Maka aku menitipkan klan ini padamu."
Ryuta menunduk dalam-dalam. Butiran air matanya menggenang di sudut matanya. Menunggu untuk segera lolos dari matanya. "Kenapa harus klan Kurochiki? Kenapa?"
"Karena klan ini terlalu bersih untuk lebih lama di kerajaan ini. Jangan menyesali takdir Tuhan, Ryu," kata Athrun. Tangan besarnya menepuk pundak adiknya dengan lembut.
Ia juga memiliki pertanyaan yang sama. Namun ia sudah menemukan jawabannya. Klan Kurochiki memang harus mengalami takdir ini untuk kemurnian yang mereka jaga. Terlalu banyak iri dan dengki vampir yang dialamatkan untuk mereka. Sebelum kemurnian mereka menghancurkan diri mereka sendiri. Mungkin lebih baik jika kemurnian itu hancur karena tangan orang lain.
Grakk!
"Cagalli, kau mau kemana?" tanya Athrun saat mendengar suara pintu digeser. Mata coklatnya menatap lembut ke arah istrinya.
"Menemui putriku. Dia cukup besar untuk tahu apa yang terjadi," jawab Cagalli pelan. Masih ada beban berat yang menggelayuti hatinya. Rasa tak rela untuk berpisah dengan putrinya.
"Pergilah."
Cagalli mengangguk. Ia berjalan pelan dengan anggun. Tradisi klan Kurochiki memang berbeda dengan klan lain. Kurochiki adalah klan yang mengutamakan kemurnian, keanggunan dan kesopanan. Kurochiki tidak menyukai pertarungan walaupun bisa dipastikan kekuatan mereka adalah yang terkuat dan termurni.
"Ibu!"
Seorang gadis mungil berlari menuju ke arah Cagalli dengan riang. Rambut coklat gelapnya yang panjang menjuntai dengan indah sampai ke pinggangnya. Matanya berbinar senang. Iris violet kemerahannya memancarkan kemurnian klan Kurochiki yang terpilih. Wajah cantiknya memukau siapapun yang memandangnya. Cagalli berhenti berjalan dan segera berlutut dengan bertumpu pada lantai kayu. Tangannya terbuka menyambut kedatangan putrinya.
"Yui-chan, kenapa kau berlarian di koridor?" tanya Cagalli dengan lembut. Tangan halusnya membelai rambut putrinya dengan penuh sayang.
"Haah! Aku capek, Ibu," keluh gadis itu, Yuicathra Ust Kurochiki. Ia membenamkan wajahnya lebih dekat dengan kimono yang dikenakan ibunya. Aroma bunga sakura menyeruak dari tubuh ibunya. Memenuhi indra penciumannya.
"Yui-chan, kau belum menjawab pertanyaan ibu," kata Cagalli tetap dengan nada lembut.
"Ah, maafkan aku, Ibu. Aku hanya sedang bermain dengan Pangeran Niel. Dia bilang akan menangkapku kalau aku tidak lari," jelas Yui dengan cepat. Ia melepas pelukan ibunya karena mendengar bunyi derap langkah yang mendekat ke arahnya. "Ah, dia sudah datang."
Yui berniat untuk lari lagi. Tapi sebelum niat itu terlaksana, sepasang tangan telah menangkap tubuh mungilnya. Tangan itu membawa tubuh mungil itu ke dalam pelukan hangatnya.
"Akhirnya aku bisa menangkapmu, Yui," kata pemilik tangan itu. Sepasang mata beriris coklat keemasannya menatap Yui dengan lembut. Senyum manis terukir indah di bibir tipisnya. Rambut hitam kemerahannya melambai-lambai ditiup angin dari arah taman di samping koridor. Wajah tampannya mampu menghipnotis pelayan yang berjajar di sisi luar koridor. Aura penakluk dalam darahnya sudah terlihat jelas. Dia lah Pangeran Nielrey Udr Toushimori yang 3 tahun lebih tua dari Yui.
"Ah, Niel. Jangan memelukku seperti ini. Aku malu dilihat Ibu," rengek Yui sambil berupaya melepas pelukan Niel yang erat.
Niel seakan tersadar dari dunianya. Ia memandang sosok anggun yang berada tak jauh di belakang Yui. Ia menunduk malu. Seulas senyum permohonan maaf menghias wajahnya. Namun ia tak juga melepaskan pelukannya pada Yui. Ia semakin erat memeluk Yui.
"Maafkan sikap putri kami, Yang Mulia. Seharusnya dia tidak memanggil nama anda seenaknya," kata Cagalli sambil membungkuk dengan hormat.
Niel buru-buru menggeleng. Ia melepaskan Yui dari pelukannya. "Ah, tidak bibi. Jangan seperti itu. Ini bukan salah Yui. Aku sendiri yang memintanya."
Cagalli tersenyum simpul. Ia bisa melihat senyum malu yang terlukis di wajah Niel. Dan semburat merah yang membakar wajah cantik putrinya. Ia tahu kalau dua orang di hadapannya ini sedang jatuh cinta. Ia turut merasa senang. Namun mengingat apa yang akan segera terjadi membuatnya sedih. Mana mungkin ia tega melihat pasangan itu berpisah dengan tragis. Sungguh takdir yang menakutkan.
"Yui-chan, mandilah dahulu. Kau belum mandi bukan?" kata Cagalli sambil menyentil hidung Yui dengan lembut.
Wajah Yui semakin merah. Ia menunduk malu. "Iya, Ibu."
Dengan cepat, Yui sudah hilang di ujung koridor. Cagalli tersenyum kaku. Ia mengalihkan tatapannya pada Niel. Ia harus mengatakan sesuatu pada Niel. Hal penting.
"Yang Mulia, apa anda ada waktu? Ada yang ingin saya bicarakan dengan anda?"
Niel agak kaget dengan permintaan Cagalli. Namun dengan cepat ia menyunggingkan senyum lembut. "Tentu saja, bibi."
"Mari ikut saya." Cagalli membungkuk sekilas sebelum berjalan menyusuri koridor yang berlawanan dengan arah perginya Yui. Tangan kanannya menggenggam sesuatu entah sejak kapan. Langkah kakinya berhenti tepat di sebuah ruangan. Ruangan luas tanpa perabot. Ruangan yang biasanya digunakan untuk pertemuan klan Kurochiki. Seorang pelayan membukakan pintu ruangan. Cagalli masuk dengan Niel mengikuti di belakang. Begitu keduanya masuk, pintu ruangan kembali ditutup oleh pelayan yang sama.
"Silakan duduk, Yang Mulia," kata Cagalli.
Niel tersenyum malu. Ia benar-benar tidak terbiasa dipanggil Yang Mulia. "Bibi, jangan memanggilku dengan Yang Mulia terus-menerus. Aku tidak nyaman."
Cagalli tersenyum kecil. "Baiklah, Niel."
Niel tersenyum puas. "Jadi apa yang akan bibi bicarakan denganku?"
Cagalli menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan perlahan. Ia menatap Niel dengan sendu. "Niel, aku meminta ini bukan sebagai seorang Kurochiki, melainkan diriku sebagai seorang ibu dari calon Ratumu. Aku ingin kau menyimpan ini."
Cagalli mengeluarkan sebuah kalung yang tadi ia genggam. Kalung perak yang berliontinkan dua cincin emas putih. Ia menyodorkan kalung itu ke tangan Niel yang menatapnya bingung.
"Niel, takdir kami hanya sampai di sini. Yang selanjutnya bertugas menjaga Yui adalah kau. Namun kau harus menunggu sampai takdir itu datang padamu. Selama menunggu, aku minta tetaplah mencintai putriku," lanjut Cagalli dengan tatapan sendu. Matanya telah tergenang air mata.
Niel menatap kalung di tangannya dan Cagalli secara bergantian. "Aku tidak mengerti maksud bibi."
Cagalli tersenyum kecil. "Anda akan segera mengerti, Yang Mulia."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Northless Palace, 7 p.m.
"Niel, aku pulang ya. Sudah malam," kata Yui pelan. Ia meniup-niup tangannya yang memucat karena kedinginan. Mantel musim dingin yang ia pakai tidak cukup untuk menghangatkannya. Ia menggosok-gosok kedua tangannya yang telanjang tanpa sarung tangan.
Sret! Niel meraih tangan Yui dengan cepat. Ia menggenggam kedua tangan Yui dengan erat. Ia ingin memberikan kehangatan pada gadisnya walaupun ia juga kedinginan. Ia menatap bola mata amethyst berwarna violet kemerahan milik Yui. Ia selalu terpesona dibuatnya. Ia sangat menyukai mata Yui yang selalu bersinar di matanya.
"Hei, apa kau tidak mau melihat bulan sabit bersamaku?" tanya Niel sambil mengusap kedua pipi Yui yang mulai mendingin.
"Emm." Yui menunduk dalam-dalam. Wajahnya terasa panas. Semburat merah menghiasi wajah cantiknya. "Aku mau, Niel. Tapi sudah malam, aku harus pulang."
Niel tersenyum kecil. Ia menarik tubuh mungil Yui ke dalam pelukannya. Tangannya mengusap rambut panjang Yui dengan lembut. Ia menghirup aroma lavender yang menguar dari dalam tubuh Yui. Aroma khas Yui yang sangat menenangkan baginya. Ia meletakkan dagunya di atas kepala Yui.
"Baiklah. Aku akan mengantarmu pulang."
"Humm." Yui hanya menjawab dengan gumaman tak jelas.
Niel melepas pelukannya. Ia menggenggam tangan kiri Yui dan menuntunnya. Mereka berjalan menyusuri taman belakang Northless Palace. Taman indah yang mulai membeku karena salju musim dingin.
"Niel, apa kau mencintaiku?" tanya Yui. Ia menundukkan wajahnya yang sedikit memerah. Tangan mungilnya yang bebas menyusuri dedaunan yang membeku.
"Hum. Kenapa kau menanyakan hal itu? Kau kan masih kecil, Yui. Ulang tahunmu yang ke-7 saja masih beberapa minggu lagi," kata Niel. Ia heran kenapa Yui tiba-tiba menanyakan hal itu. Ia teringat dengan permintaan ibu Yui. Tanpa diminta pun, ia akan tetap mencintai Yui sampai kapanpun. Ia sudah mencintai Yui sejak gadisnya itu lahir.
"Bukan, Niel. Tadi pagi kan kau bilang kalau aku adalah calon istrimu. Tapi kata ayah, kalau suami istri harus saling mencintai. Kalau aku pasti mencintai Niel. Soalnya Niel adalah Pangeranku yang paling sempurna di dalam hidupku," kata Yui. Ia tersenyum lebar.
"Humm, aku juga mencintaimu, Yui. I am deeply in love with you," gumam Niel. Ia menghela nafas dan kembali menatap ke jalanan. Tangannya menggenggam erat tangan mungil gadisnya.
"Ah, Niel. Sampai di sini saja. Sudah sana pulang," kata Yui sambil menggerak-gerakkan tangannya seolah mengusir Niel.
"Masuklah. Hati-hati ya." Niel mengecup kening Yui dengan cepat sebelum menghilang dari hadapan Yui.
"Dasar! Seharusnya aku yang mengatakan itu," gumam Yui sambil mengusap keningnya. Wajah putihnya memerah saat mengingat apa yang baru saja terjadi. Ia segera masuk ke dalam mansionnya tanpa menyadari keanehan di sekitarnya.
Sementara Niel sudah berhenti berlari begitu sampai di depan pintu gerbang mansion utama di Northless Palace. Ia bertumpu pada kedua lututnya agar tidak ambruk di tumpukan salju. Jantungnya berpacu cepat. Ia tidak tahu harus bagaimana. Wajahnya terasa panas. Ia yakin wajahnya sudah merah sekarang walaupun udara dingin masih menyergapnya. Ia mengingat apa yang baru ia lakukan.
"Ah! Apa yang ku lakukan tadi? Menci-Aish! Aku malu sekali," keluhnya sambil mengacak-acak rambutnya.
Brr! Angin malam menerpanya. Ia merapatkan mantel musim dinginnya. Harusnya vampir tak merasakan kedinginan. Namun berbeda jika vampir itu belum genap berusia 10 tahun. Ia masih harus menunggu beberapa bulan lagi untuk kebal terhadap cuaca. Eh? Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Ia mulai merutuki apa yang baru ia lakukan tadi. Dalam otaknya terus berputar pemikiran yang sama. Apa pantas seorang laki-laki berumur belum genap 10 tahun mencium seorang gadis yang belum genap berumur 7 tahun walaupun mereka adalah sepasang tunangan?
"Ah! Bodoh!" keluh Niel untuk kesekian kalinya. Setiap ia mengingat kejadian tadi, wajahnya langsung memanas. Entah darimana ia bisa berpikiran untuk mencium Yui, walau hanya di kening sekalipun.
"Kau kenapa, Niel? Wajahmu merah, apa kau sakit?" tanya seorang laki-laki berambut hitam pekat yang sejak tadi mengawasi putranya, Niel. Mata beriris coklat kemerahannya menatap putranya dengan hangat. Aiden Udr Toushimori mendekati putranya yang masih belum beranjak dari gerbang.
"Ah, ti-tidak, ayah. Mana mungkin vampir sakit hanya karena musim dingin," elak Niel dengan gugup.
"Mungkin saja, Niel. Kau tentu tahu kalau sebentar lagi kau akan menjadi dewasa," kata Aiden. Ia mengusap puncak kepala putranya. Ia menangkap semburat kemerahan menghiasi wajah putranya. Ia teringat sesuatu. Seharian ini putranya bermain berdua dengan Yui. Ia maklum dengan kedekatan keduanya. Sudah seharusnya mereka dekat. Hampir setiap hari mereka bermain berdua. Kadang Anzana Udr Toushimori, putrinya atau bisa disebut adik Niel ikut bermain. Namun semburat merah di wajah Niel sedikit mengherankan baginya. Apa yang membuat putranya malu-malu seperti ini? Jangan-jangan...
"Apa yang kau lakukan pada Yui, Niel?" cetus Aiden.
Niel terhenyak kaget. Wajahnya bertambah merah. Ia mengalihkan wajahnya dari jangkauan ayahnya. "Ti-tidak!"
Aiden semakin penasaran dibuatnya. "Katakan saja pada ayah. Apa yang kau lakukan pada Yui? Apa kau melakukan hal terlarang?"
Wajah Niel memucat. "Ti-tidak, ayah! Aku hanya mencium keningnya."
Aiden tertawa kecil. Ia baru menyadari kalau putranya sudah besar. "Ah, ayah kira kau melakukan hal terlarang."
"Te-tentu tidak, ayah. Eh? Jadi tidak apa-apa jika aku menciumnya?" Wajah Niel kembali memerah saat mengatakan kalimat itu.
"Humm. Tidak apa-apa. Bagaimanapun juga dia adalah calon Ratumu. Kau harus menjaganya." Aiden menepuk pundak Niel dan membimbingnya masuk ke dalam mansion. Ia tidak mau anaknya mati kedinginan.
"Aku akan menjaga Yui dengan baik, ayah. Oh ya, tadi bibi Cagalli mengatakan hal aneh padaku."
Aiden menatap putranya. "Hal aneh apa?"
"Hemm. Bibi bilang kalau aku yang akan menjaga Yui selanjutnya. Tapi dia memintaku menunggu dan tetap mencintai Yui. Aku tidak mengerti, ayah," jelas Niel. Ia mengingat kembali apa saja yang tadi ia bicarakan dengan ibu Yui. Sekuat apapun ia berpikir, ia tetap tidak bisa menemukan jawabannya. Ia tetap tidak mengerti apa maksud ibu Yui.
Aiden terdiam. Ada gejolak dalam hatinya. Ia takut berargumen. Namun ia mulai menyusun satu kemungkinan paling masuk akal. Kemungkinan yang menyiratkan maksud Cagalli Ust Kurochiki. Kemungkinan yang bermuara pada ramalan Felicite Merekibe yang sempat diceritakan Athrun, pimpinan klan Kurochiki kepadanya setahun yang lalu. 'Apa memang ada hubungannya dengan ramalan itu? Apa malam ini adalah waktunya takdir itu berjalan? Apa mereka benar-benar akan menyegel Yui. Apa yang harus ku katakan pada Niel?' batinnya. Ia menatap putranya yang nampak menunggu jawaban dari mulutnya.
"Mungkin Yui akan pergi ke suatu tempat dan ibunya memintamu tetap setia sampai dia kembali padamu. Bagaimana menurutmu?"
Niel menaikkan alis tanda bingung. "Bagaimana apanya, ayah? Aku tidak mengerti. Yang jelas aku akan setia dan hanya mencintai Yui apapun yang terjadi."
"Ayah anggap itu janjimu. Jadi tepati janjimu sebagai lelaki apapun yang terjadi."
"Ayah! Tunggu! Apa maksudnya Yui akan pergi ke suatu tempat? Apa dia akan meninggalkanku?" tanya Niel saat menyadari kalimat sebelumnya dari ayahnya yang terasa aneh.
"Mungkin. Kau akan mengerti kelak saat kau sudah besar."
Aiden memutus pembicaraan. Ia tidak sanggup menutupi hal itu lebih lama dari anaknya. Ia juga harus mempersiapkan diri untuk mendengar kabar paling menyakitkan baginya juga bagi kerajaan vampir.
'Dasar! Kau membuat semuanya sulit, Athrun. Kau terlalu mempercayai takdir seolah kau tak bisa lari dari takdir. Aku masih tidak mengerti kenapa kau memilih jalan menyakitkan ini. Mengorbankan sekian banyak nyawa hanya untuk sebuah takdir. Bodoh! Kau memang bodoh, Athrun. Kepercayaanmu pada takdir terlalu jauh. Sampai kau rela menghadiahkan nyawa klan mu untuk takdir,' batin Aiden.
Ia berjalan cepat menuju ruangan kerjanya. Ia harus melakukan sesuatu yang sudah dititipkan padanya. Walaupun ia tak tega melakukannya. Membohongi putranya untuk sementara waktu.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Centerene Palace, 11 p.m.
Ryuta menatap lurus ke arah genangan cairan merah pekat di hadapannya. Katana di tangannya sudah berlumuran darah. Ia menatap sosok-sosok tak bernyawa di hadapannya. Ia melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia membunuh semua pembunuh dari klan Sensubaki dengan tangannya sendiri. Tertinggal satu tugas berat yang menimpa pundaknya. Tugas yang jauh lebih sulit daripada membunuh 1000 vampir dengan satu bilah katana. Tugas untuk membunuh keponakan yang paling ia sayangi. Walaupun menyegel adalah kata yang lebih tepat tapi ia tetap merasa membunuh adalah yang akan ia lakukan.
"Ryuta-sama, sudah waktunya untuk melakukan tugas terakhir," kata Liannaka, salah satu pelayan setia di klan Kurochiki yang masih ditakdirkan untuk hidup.
"Ya, aku tahu."
Dengan langkah gontai, Ryuta berjalan menuju kamar di ujung koridor. Kamar keponakan yang paling ia sayangi. Kamar Yui. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu kamar yang terbuka lebar. Di atas ranjang putih, berbaringlah sesosok gadis mungil yang telah terlelap. Itu adalah Yui, keponakannya. Kakak iparnya, Cagalli telah menidurkan Yui agar keponakannya itu tidak merasakan sakit saat proses penyegelan.
"Ryuta-sama. Semua sudah siap," kata Liannaka. Ia telah mempersiapkan semua dengan baik.
Tubuh mungil Yui terbalut dress panjang berwarna putih salju. Rambutnya tergerai menutup penjuru bantal. Wajah cantiknya terlihat tenang dan lelap. Membuat semua orang tak akan tega melukainya. Membuat semua orang ingin melindunginya. Di sekitarnya sudah tersebar tangkai bunga lavender, bunga kesukaan Yui selain bunga lily dengan pola khusus. Pola Triangle Darkness, pola penyegelan darah vampir khusus klan Kurochiki. Penyegelan terlarang. Di tangan Liannaka membentang pedang Luciaichi yang diletakkan di atas baki kayu ek. Ryuta berdiri kaku di sisi ranjang. Mata coklatnya menyiratkan kesedihan mendalam. Dengan lembut, ia membelai wajah Yui untuk terakhir kalinya sebelum penyegelan. Ia tak tega melakukan hal terlarang ini. Namun bencana yang lebih besar akan datang jika tidak dilakukan penyegelan terlarang ini. Ia tidak punya pilihan lain.
Tiba-tiba ia duduk bersimpuh di sisi ranjang dimana Yui berada. Ia menggenggam tangan dingin Yui. Air mata mulai menggenang di sudut-sudut matanya. Meminta untuk diizinkan mengalir dari matanya. "Maafkan paman, Yui. Paman harus melakukan ini. Jika nanti saat kau bangun, kau marah pada paman, tidak apa-apa. Ini memang salah paman."
"Ryuta-sama, sudah waktunya." Liannaka kembali mengingatkan. Ia cemas jika tuannya tidak mampu melakukan penyegelan darah vampir. Semua pengorbanan anggota klan akan sia-sia jika penyegelan tidak dilakukan. Gadis penerus klan yang terpilih akan hidup dalam bayangan dendam.
"Aku tahu."
Ryuta berdiri dengan gontai, nyaris rubuh. Ia menatap keponakannya lagi sebelum meraih pedang Luciaichi di atas baki. Pedang penyegel yang akan menjaga keponakannya. Pedang Luciaichi berbentuk katana dengan ukiran naga dan salju di tengah belahan pedang. Gagang pedang yang hitam pekat menyiratkan betapa kuat pedang itu. Mata pedang yang berkilau menunjukkan ketajaman pedang yang tak bisa diragukan lagi.
Teng! Teng! Teng! Teng!
Dentang jam yang menunjukkan waktu tengah malam telah bergema di seluruh penjuru mansion. Pada dentang terakhir, Ryuta diharuskan menancapkan pedang itu ke jantung Yui.
Teng! Teng! Ryuta memejamkan mata sejenak.
Teng! Tangannya tergerak memposisikan pedangnya di hadapan dada kiri Yui.
Teng! Tangannya terlihat bergetar. Namun tangannya tetap pada posisinya.
Teng! Air mata mengalir pelan dari sudut matanya. Gejolak emosi mulai tak terkontrol.
Teng! Tangannya menggerakkan pedangnya menjauh dari dada kiri Yui. Tatapan cemas mulai tertuju padanya.
Teng! Ia menatap Yui sekilas. Ia menarik nafas panjang sebelum menggerakkan pedangnya kembali pada posisi seharusnya.
Teng! Dengan tangan bergetar, ia menancapkan pedang Luciaichi ke dada Yui.
Perlahan pedang itu mulai menancap di dada Yui. Lubang putih tercipta di sekitar ujung pedang yang terus menusuk jantung Yui. Aliran darah sedikit mengotori lubang putih itu. Semakin lama lubang itu seolah menelan pedang sampai tak bersisa.
"Ryuta-sama!" panggil Liannaka saat melihat tuannya duduk bersimpuh di lantai kayu.
Ryuta menelan ludah dengan berat. Ia bangkit dengan bantuan Liannaka. Mata merah darahnya menunjukkan emosi yang mulai menguasainya. Dengan langkah gontai, ia mendekati tubuh Yui yang masih terbaring. Tidak ada yang berubah dari tubuh keponakannya dibanding sebelum penyegelan. Tidak ada darah. Tidak ada luka. Hanya wajah cantik yang terlihat lemah. Serta tattoo Triangle Darkness yang tercetak jelas di leher bagian kiri.
"Tetaplah hidup sampai waktunya kau dibangkitkan, Yui," bisik Ryuta pelan di telinga Yui.
Ia mengangkat tubuh mungil Yui menuju blackhole yang terbuka di sudut ruangan. Ia masuk ke dalam blackhole. Dalam sekejab, ia sudah sampai di depan panti asuhan Mapple di Furishi City. Kota yang terkenal dengan bunganya. Ia meletakkan tubuh Yui di depan pintu utama panti asuhan. Tangan kekarnya menuliskan sesuatu di atas kertas dan meletakkannya di genggaman tangan Yui.
"Aku akan tetap menjagamu, Yui. Kau sudah seperti putriku sendiri."
Ryuta membunyikan bel di dekat pintu berulang kali. Ia baru berhenti saat telinganya menangkap gerakan manusia di dalamnya. Ia membuka blackhole. Ia menatap Yui sebentar sebelum masuk ke dalam blackhole.
Kriett!
"Siapa yang-Ya ampun! For God Sake!" seru seorang wanita setengah baya yang keluar dari dalam panti asuhan. Mata hijaunya menatap kaget dan terpesona pada sosok yang terbaring di lantai. Sosok gadis mungil berdress panjang di dinginnya musim dingin.
"For God Sake. Tega sekali orang yang meninggalkan gadis secantik dirimu!" oceh wanita itu.
Dengan gerak cepat, ia melepas mantelnya dan memakaikannya ke tubuh Yui. Ia menyelipkan tangannya di leher dan lipatan lutut Yui. Ia sudah bersiap mengangkat tubuh Yui saat melihat kertas di genggaman Yui. Ia mengambilnya dan membacanya.
"Please, care this girl. Her parents killed by vampir. Thanks.
Nb: Her name is....."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Northless Palace, 3 a.m.
"Apa maksud ayah? Bagaimana mungkin klan Kurochiki diserang? Dan tidak mungkin paman dan bibi tewas! Apa maksud ayah? Ayah berbohong bukan! Mereka tidak mungkin mati! Lalu dimana Yui? Dimana gadisku!" teriak Niel sambil menarik-narik tangan ayahnya yang tetap diam. Air mata mengalir tanpa henti dari kedua mata indahnya.
Niel merasa seperti mengalami mimpi buruk. Saat ia terbangun dari tidurnya, ia langsung mendengar berita kalau Centerene Palace, tempat tinggal klan Kurochiki diserang. Semua anggota klan tewas termasuk pasangan pemimpin klan karena mereka diserang saat bulan sabit, dimana kekuatan vampir murni melemah. Kabar lain menyebutkan kalau yang selamat hanya Ryuta Ust Kurochiki dan tiga pelayan setianya. Lalu dimana Yui?
Lacura Udr Toushimori memeluk putranya dengan erat. Ia berusaha menenangkan putranya. Mata beriris coklat kemerahannya tergenang air mata. Rambut coklatnya tergerai tak rapi sampai ke pinggulnya. "Sudah, jangan menangis. Semuanya akan baik-baik saja."
Aiden menatap kosong ke arah langit. Ia harus melakukan permintaan terakhir dari teman baiknya. "Yui hilang. Kemungkinan besar ia juga tewas. Tapi tidak ada yang tahu termasuk pamannya yang selamat. Mungkin dia masih hidup, Niel."
Niel membeku begitu mendengar penuturan ayahnya. Ada sebilah pisau tak kasat mata yang seolah menghujam jantungnya. Ia merasa ada bagian dari hatinya yang hilang. Ia membekap wajahnya dengan kedua tangannya yang bergetar.
"Tidak! Yui tidak mungkin meninggalkanku! Tidak!" serunya keras. Ia berontak dari pelukan ibunya. Ia berlari kencang menuju taman belakang Northless Palace. Tempat terakhirnya bersama Yui. Ia menendang apapun yang bisa ia tendang. Hatinya menolak perkataan ayahnya. Ia yakin Yui masih hidup. Gadis itu tidak akan meninggalkannya begitu saja. Ia tidak mau kehilangan Yui.
"Yui! Yui! YUI! Apa kau mendengarku! Dimana kau?" serunya keras pada langit yang gelap gulita. Butiran salju mulai mengguyur tubuhnya.
Ia berlutut di atas hamparan salju yang dingin. Ia tak peduli pada rasa dingin yang bisa membunuhnya di masa peralihan. Ia meneteskan butiran air dari sudut-sudut matanya. Ia tak peduli apapun selain Yui yang sangat ia cintai. Yui. Hanya Yui.
"Niel, apa kau mencintaiku?"
Ia terhenyak saat telinganya mendengar suara lembut itu. Ia menatap sekelilingnya dengan seksama. Ia tidak melewatkan satu centi pun untuk diperhatikan. Ia mencari sosok itu. Ia sangat berharap gadisnya muncul di hadapannya sekarang. Dengan mata amethyst ungu kemerahannya yang memukau. Dengan rambut panjang yang terjuntai di balik mantel. Dengan senyum manis yang sangat mempesona. Dengan aroma lavender yang memabukkan. Tapi...
"Tidak ada," gumamnya pelan. Yang ia takutkan benar-benar terjadi. Ia tidak menemukan gadisnya.
"Yui," gumamnya dengan suara parau. Mata indahnya menatap nanar ke arah langit. Senyum terluka terlukis di bibir tipisnya. Ia berhalusinasi seolah melihat wajah gadisnya yang sedang tertawa riang terlukis di langit. Ia tahu itu hanya angannya. Ia tahu itu mungkin tidak akan pernah terjadi.
"Niel, apa kau mencintaiku?"
Ia terkekeh sendu. Ia terus mengulang ingatan tentang pertanyaan aneh Yui. "Tentu saja. Sampai mati pun, aku tetap mencintaimu, bodoh."
Kembali menatap langit dengan kesedihan bertumpuk di pundaknya. Ia menghela nafas panjang seolah meyakinkan diri kalau ia memang masih hidup.
"Aku tidak percaya. Aku yakin kau masih hidup entah ada dimana. Aku.... aku akan menunggumu walau harus seratus tahun sekalipun, Yui. Aku berjanji akan terus menunggumu."
Janji kembali terucap dari mulut Niel. Ia tak menyadari kalau ia mengulang janji yang sama.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Waiting doesn't always mean give up.
Waiting doesn't always mean bad.
We just do the best we can do for our beloved although it must be waiting.
We have power to try, to wait and to love her until the end of our destiny.
Actually destiny never lie to us.
It should be honest for us.
0 komentar:
Posting Komentar