Proloque
“Seluruh aliran darahku adalah ‘mahoo’. Setiap sel darahku adalah energi ‘mahoo’. Setiap tetes darahku mampu mengendalikan seluruh energi mahoo-ku. Aku tak butuh tongkat untuk mengendalikan apapun yang ada di sekitarku. Aku bisa mengendalikan benda tanpa perlu menyentuhnya. Aku hanya membutuhkan konsentrasi dan darah ‘mahoo’ untuk menguasai mahoo dan melakukan apapun yang ku mau. Tapi.... aku tetap akan terikat dengan aturan langit. Aku bisa melakukan apapun.... Karena aku adalah........”
MAHOOTSUKAI GAKUEN
jceys_rancashyelf
Prolog
Boom! Boom!
Bunyi ledakan keras terus menggema di segala penjuru kota Oytori, pusat kerajaan Hethrae. Ledakan demi ledakan terus bersahutan tanpa henti. Membuat derai debu berterbangan menyapu udara. Membuat sesak siapapun yang ada di sana. Namun hal itu tak mampu menghentikan pertarungan sengit yang terjadi di berbagai sudut kota. Pertarungan terus dihiasi percikan kembang api dan cahaya merah serta biru yang saling beradu. Sesekali salah satu pihak akan terlempar menabrak puing bangunan. Sesekali pula ada yang menjemput ajal. Semua orang sibuk dengan diri mereka sendiri. Tak ada lagi pemikiran untuk kabur dari pertarungan yang mencekam ini. Mereka tahu kalau mereka adalah ujung tombak pertarungan yang menentukan siapa yang menang. Mereka tahu bahwa semua akan berakhir sia-sia jika tak segera diselesaikan sekarang juga.
Dduar! Boom!!
Sebuah ledakan keras terdengar di sudut kota, tepatnya di sebuah gedung tinggi yang menjadi icon kota. Tsukai Departement. Bangunan kokoh itu hancur. Hanya tersisa beberapa lantai yang tak mampu menopang reruntuhan di atasnya. Sesaat keheningan terjadi. Semua petarung menatap ke arah gedung dengan tatapan yang berbeda-beda. Cemas, kaget, takut, marah dan senang.
“Tidak!” seru seorang wanita berambut hitam kelam yang ada di tengah pertarungan. Dia berlari mendekat ke arah reruntuhan gedung dengan wajah kalut dan ketakutan. Dia tak mempedulikan lawan bertarungnya yang tetap berposisi menyerang. Seluruh perhatiannya hanya tertuju pada gedung yang baru saja runtuh karena serangan salah satu ‘mahootsukai’.
Seketika pertarungan berhenti secara mendadak. Semua mata menatap ke arah gedung yang hancur. Beberapa di antara mereka ada yang melakukan hal yang sama dengan wanita berambut hitam. Kebanyakan adalah wanita.
“Lihat apa yang sudah kau lakukan, Harahata-san!” kata seorang pria yang bermantel hitam pekat. Rambut coklat terangnya menyala dalam kegelapan.
Seorang wanita yang dipanggil Harahata menoleh ke arah pria yang tadi menjadi lawan bertarung suaminya. Ia tersenyum meremehkan. Walaupun samar terlihat penyesalan yang tersirat di matanya. “Ya, aku melihatnya, Shimizu-kun. Hancur! Aku penasaran apa anakmu selamat.”
Ekspresi tenang yang terukir di wajah pria itu mengeras. Dia menahan keras amarah yang sudah menyala-nyala di dalam hatinya. Dia memilih untuk tidak menanggapi apa yang dikatakan nyonya Harahata itu. Dia berbalik meninggalkan nyonya Harahata dan tuan Harahata yang saling menatap dengan ekspresi senang. Senang akan kehancuran yang berhasil mereka lakukan. Pria yang merupakan kepala keluarga Shimizu itu menghentikan langkahnya sejenak. Tanpa membalikkan tubuhnya, ia berkata dengan pelan, “Kau tahu kalau aku tak akan melepasmu begitu saja. Pergilah sebelum Shiojiri-san datang. Kalau tidak aku dan istriku akan memastikan pengkhianat seperti kalian akan mendekam dalam penjara lagi.”
Nyonya Harahata tertawa pelan mendengar kalimat panjang yang diucapkan teman lamanya itu. Tawanya itu berubah menjadi lebih keras sampai menggerakkan rambut pendeknya. Membuat siapa pun yang melihatnya merasa penasaran akan alasan yang membuat wanita itu tertawa. “Dia bercanda kan, Daichi. Mana mungkin dia dan istrinya itu bisa menangkap kita.”
Harahata Daichi hanya terdiam. Dia menatap lurus ke arah Shimizu Ichi. Dia tahu kalau teman baik- ah, mungkin lebih baik disebut mantan teman baiknya itu tidak main-main. Dia tahu kalau Ichi sangat mematuhi peraturan yang ditetapkan di Hethrae, tapi juga akan melanggar semuanya jika bertentangan dengan hati nuraninya. Dia tahu sekarang dia lah yang salah. Dia tahu kalau dia akan mati di tangan mantan teman baik yang telah ia khianati.
“Tidak, Ozuka. Aku tidak akan meneruskan ini. Kita akan pergi jauh dari sini. Ayo!” katanya sambil berjalan menjauhi kerumunan yang histeris di depan gendung yang baru saja runtuh.
Harahata Ozuka berhenti tertawa senang. Dia menatap suaminya dengan tatapan kaget. Dia memasang wajah yang seolah bertanya ‘apa-yang-kau-katakan?’. Dia sudah merencanakan penyerangan ini bertahun-tahun. Dan sekarang saat tinggal selangkah lagi, suaminya justru berkata untuk menghentikan semuanya. Tidak. Tidak akan semudah itu. Dia akan menghancurkan semuanya. Semua penghuni Hethrae yang sudah membuat hidupnya menderita dalam pengasingan.
“Tidak, Daichi. Aku akan membunuh mereka. Aku akan membunuh Ichi dan Ruki yang sudah menjebloskan kita ke penjara. Juga ‘dia’ yang telah mengunci kekuatan kita.”
Tap! Langkah Daichi terhenti. Dia menghela nafas panjang. Sungguh sulit baginya untuk menyakinkan Ozuka kalau itu bukan salah Ichi dan Ruki. Ini murni salahnya yang telah mencuri apa yang harusnya tidak ia miliki. Dan ia juga sadar kalau penguncian kekuatannya adalah hukuman yang setimpal atas apa yang telah dilakukannya. “Kau tahu ini salah kita, Ozuka. Jangan menyalahkan orang lain. Setsuna melakukan itu untuk kebaikan kita juga.”
Ozuka menggeram marah mendengar penolakan yang dikatakan suaminya. Kenapa suaminya sendiri justru membela orang yang telah membuat hidup mereka menderita? “Kau bodoh, Daichi. Kalau Setsuna melakukan itu untuk kebaikan kita, harusnya ia melakukan apa yang Tuan Shigetani lakukan. Tuan Shigetani adalah satu-satunya orang yang mau menerima kita dengan baik, Daichi. Kita harus membantunya.”
Daichi menghela nafas panjang. Ia tak punya pilihan lain. Ia harus memaksa istrinya untuk meninggalkan tempat yang sudah porak poranda ini. Ia tahu mereka berdua tak akan mampu membalas dendam atas kematian Shigetani Hatori, pemimpin mereka. Untuk sekarang, kekalahan pasti akan memihak mereka. “Kita akan balas dendam, Azuka. Tapi tidak sekarang.”
Azuka terdiam sesaat. Ia mencoba memahami apa yang dimaksud suaminya. Yah, ia sadar dengan sisa pasukan pemberontak yang ia punya, ia tak akan mampu melawan kekuatan anak buah Shiojiri Shinji. Suaminya benar jika memilih untuk mundur sekarang. Menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam. “Aku tahu. Baiklah, kita mundur sekarang. Tapi lihatlah Daichi. Ada pertunjukkan bagus.”
Daichi mengernyitkan alisnya pertanda bingung akan apa yang dimaksud ‘pertunjukkan’ oleh istrinya. Ia melihat ke langit, mengikuti arah pandangan istrinya. Ia terhenyak kaget. Sebuah komet yang cukup besar bergerak menuju ke arah kota Oytori. Ia beralih menatap istrinya yang sedang tersenyum senang. “Apa ini.....”
“Ya, Tuan Shigetani sudah mempersiapkan komet sihir itu untuk menghancurkan Oytori. Itu alasan mengapa dia begitu mudah dibunuh oleh Shinji.”
Di sisi lain, seorang wanita berambut hitam yang tadi berteriak sudah sampai di puing-puing bangunan. Shimizu Ruki terisak menahan tangis yang sudah mengambang di pelupuk matanya. Ia menatap setiap sudut reruntuhan dengan harapan dapat menemukan apa yang ia cari. Tubuhnya sudah bergetar hebat.
“Ti-dak, Inori.... Hiroki.... Tidak!” serunya keras. Ia terduduk di atas tanah yang berdebu. Ia mengeluarkan semua emosinya melalui tangisan pilu yang mampu menyayat siapa pun yang mendengarnya.
Teriakan-teriakan wanita lain turut memenuhi sudut kecil kota Oytori. Wanita-wanita yang meneriakkan nama anak-anak mereka yang sebelumnya berlindung di gedung yang sekarang telah berubah menjadi puing-puing tak berguna. Mereka shock dengan apa yang mereka lihat. Semuanya hampir tak bersisa. Mereka ketakutan jika anak-anak mereka tidak selamat.
“Ruki,” panggil Ichi dengan lembut. Ia merengkuh tubuh ringkih istrinya yang terduduk di atas tanah. Ia memeluk istri yang ia sayangi dengan erat. Seolah itu bisa mengurangi rasa sedih yang dirasakan istrinya. Ia sebagai suami dan ayah dari kedua anaknya turut merasakan kesedihan itu. Ia tak bisa menggambarkan seperti apa kesedihannya kehilangan kedua anak yang sanagt ia sayangi.
“Sudah, tenanglah. Relakan semuanya. Ini adalah takdir,” kata Ichi dengan nada pelan.
Ruki menggeleng cepat. Ia tidak pernah menerima jika anaknya telah tiada. Ia yakin anaknya masih hidup dan ia tak mau merelakan apapun. “Tidak... ti-dak, Ichi. Anakku masih hidup. Mereka pasti selamat. Aku yakin. Mereka masih hidup.”
0 komentar:
Posting Komentar