• Home
  • About
  • Contact
  • Help
skip to main | skip to sidebar

Zicra Zalathha Malfoys' World

This blog posts all of my own story. Please don't copypaste my story. If you do, please ask me first. Once again. I Hate PLAGIATISME.

Kamis, 19 April 2012

The Last Pure-Blood Vampire - The Murderer





First Rule of Seven Rules
"Human doesn't allowed to go out from their house after 12 p.m. until 4 a.m. If they run against from this rule, they will be Vampire's prey."



The Last Pure-Blood Vampire | The Murderer



They never know what in behind of the forest...
They just think but never want to see...
Because they know that it is scared, dangerous and dark...
Never think to close there...
It is the real warning...
But there are many stupid human who never think for twice to close there...
And they will be injured...
Or died...



Hunter "ELF" Gakuen



Hunter 'ELF' Gakuen adalah sekolah dimana manusia yang memilih menjadi Hunter dilatih untuk melawan vampir. Walaupun sudah ada perdamaian di antara manusia dan vampire namun harus tetap waspada. Sudah menjadi rahasia umum jika Vampir Mud-Blood tidak menyukai perdamaian itu. Ditambah pula dengan kejadian berdarah 10 tahun lalu. Pembunuhan Bulan Sabit dimana hampir seluruh anggota klan Kurochiki dibantai. Manusia dan Vampir sangat menghormati klan Kurochiki karena klan itu lah yang menjadi jembatan perdamaian manusia dan vampir. Karena kejadian itu pula Vampir Mud-Blood diusir dari kerajaan vampir. Mereka bersembunyi di dua kota di antara Furishi city dan Tosakyo city. Tidak ada yang tahu dimana tepatnya mereka berada. Karena status mereka yang menjadi buronan, memaksa mereka hidup dalam pelarian dan penyamaran. Kerajaan vampir dengan terbuka menganjurkan manusia untuk mendirikan sekolah hunter untuk melawan Vampir Mud-Blood. Tapi kerajaan vampir melarang manusia untuk keluar dari Tosakyo city. Manusia hanya diperbolehkan ke Furishi city, kota terdekat dengan kerajaan vampir karena kota di antara kedua kota itu, yaitu Nerenka city dan Sanharo city telah dikuasai vampir Mud-Blood. Kedua kota itu juga dianggap seperti kota mati karena tak ada manusia yang tinggal disana. Semua penduduknya telah mengungsi sejak 4 tahun lalu ke Furishi city dan Tosakyo city. Manusia juga dilarang memasuki Oyharo city apalagi masuk ke Vampire 'ZERO' Academy. Alasannya adalah karena vampir belum terbiasa dengan aroma darah manusia. Akan sangat berbahaya jika manusia terlalu dekat dengan vampir. Dengan kata lain ini untuk kebaikan manusia sendiri tepatnya keselamatan manusia dari serangan vampir yang haus.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ




Excellent Class 1, 9 a.m.


"Yu-chan, kau sudah dapat jadwal tes menjadi anggota Departement of Hunter Spy?" bisik seorang gadis cantik yang duduk di pojok kelas. Rambut pirang ikalnya tergerai sampai ke pinggang. Mata beriris hijau toskanya melirik guru di depan kelas berkali-kali. Badge seragamnya tertulis namanya dengan jelas. Shara Kojichiru.
Gadis yang dipanggil Shara yang duduk di sebelahnya tetap bergeming. Mata beriris violet kemerahannya tetap tertuju pada buku di tangannya. Rambut coklatnya tergerai indah sampai ke pinggangnya. Badgenya tertulis Yuicathra Fukuzawa.
"Sebaiknya kau diam," bisik Yui dengan nada rendah yang pelan.
Shara menggembungkan pipinya karena kesal. Ia selalu gagal mengajak teman sekamarnya di asrama untuk mengobrol pada jam pelajaran. Segala cara telah ia lakukan, namun hasilnya selalu gagal. "Kau menyebalkan, Yu-chan. Sulit sekali mengajakmu bicara pada jam pelajaran. Sebenarnya berapa besar cintamu pada pelajaran?"
Yui tetap diam tak bergeming. Matanya menatap ke papan tulis di depan kelas juga sosok berwajah serius di dekatnya. Ia yakin tak lama lagi akan ada kapur melayang ke arah bangkunya, tepatnya ke arah Shara. Mora Udagaki, atau biasa dipanggil Udagaki sensei adalah guru ahli penyamaran yang killer dan mempunyai disiplin tinggi. Karena alasan itu pula Yui tidak menghiraukan ajakan mengobrol yang ditawarkan Shara.
Pletak! Tepat seperti dugaan Yui. Sebuah kapur melayang dan tepat mengenai kepala Shara.
"Aduh! Sakit!" seru Shara secara reflek.
"Nona Kojichiru berhenti mengobrol. Atau aku akan membatalkan tes Hunter Spy-mu!" seru Udagaki sensei dengan wajah menakutkan. Rambut pirangnya yang digerai nampak sedikit kusut. Mata beriris hijaunya menatap tajam ke arah Shara.
Shara buru-buru menunduk setelah matanya menangkap sosok Udagaki sensei sedang murka padanya. Ia bisa merasakan aura kelam berasal dari kemarahan Udagaki sensei. Pada akhirnya ia tahu akibatnya mengobrol saat pelajaran. Ia berjanji dalam hatinya kalau ia tidak akan mengulanginya. Setidaknya tidak pada pelajaran Udagaki sensei.
"That is the reason why I don't answer your question, Shara-chan," bisik Yui singkat sebelum menatap kembali buku di tangannya dengan serius.
Suasana hening kembali menguasai ruang kelas. Tidak ada yang berani mengacau di kelas Udagaki sensei. Karena konsekuensi yang harus diterima tidak bisa dianggap remeh. Pembatalan tes Hunter Spy.
Teng! Teng! Teng!
"Baiklah. Sampai disini pelajaran hari ini. Jangan lupa persiapkan diri kalian dengan baik untuk tes keanggotaan Hunter Spy kalian," kata Mora Udagaki sambil merapikan buku-buku tebal yang tersebar di atas meja.
"Baik, sensei," jawab semua siswa dengan serempak.
Keributan mulai terdengar saat para siswa mulai memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Ada yang mengobrol bahkan saling mengejek. Mora pun nampak tak terganggu sama sekali. Ia tetap sibuk merapikan mejanya yang bisa dikatakan sangat berantakan. Ia pun tak terlalu mempedulikan siswa yang berpamitan padanya. Saat ia mendongak sekilas untuk melihat jam, matanya menangkap sosok Yui yang beranjak dari tempat duduknya. Seketika ia ingat akan urusannya dengan gadis beriris violet kemerahan itu.
"Ah, Fukuzawa. Bisa kau tinggal di kelas sebentar? Ada yang ingin ku bicarakan denganmu?" kata Mora cepat.
"Hah? Apa?" tanya Yui dengan ekspresi kaget. Ia tak menyangka akan mendapat permintaan semacam itu dari Udagaki sensei.
"Ah, pasti dia ada maunya, Yu-chan. Kau ingat beberapa bulan lalu dia memintamu menjadi relawan di Furishi city. Ah, sebaiknya aku kembali ke asrama. Aku tidak mau mendapat jatah extra dari Udagaki sensei," kata Shara. Ia membereskan buku terakhirnya dan langsung kabur meninggalkan ruang kelas sebelum Yui sempat menanggapi ocehan panjang yang keluar dari mulutnya.
"Dasar! Seenaknya saja," gumam Yui agak kesal dengan sikap temannya itu. Ia tahu betul sifat Shara yang hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri jika sudah berhubungan dengan pelajaran dan sekolah. Temannya itu selalu mengatakan keinginannya untuk segera lulus. Walaupun itu sedikit mustahil. Setidaknya mereka harus menunggu 1 tahun lebih untuk lulus dari Hunter 'ELF' Gakuen.
"Duduklah, Fukuzawa," kata Mora sambil menunjuk kursi murid paling depan saat matanya melihat Yui sudah ada di depannya.
"Baik, sensei," kata Yui dengan sopan. Ia menarik kursi dari belakang meja dan membawanya mendekat tepat di hadapan meja Mora. Ia duduk dengan tenang tanpa berniat mengusik kesibukan Mora dalam merapikan meja.
"Ah, kau ada tes Hunter Spy nanti malam bukan?" cetus Mora tiba-tiba.
Yui agak kaget mendengarnya. Ia hanya menjawabnya dengan anggukan. Ia memang dijadwalkan mengikuti tes nanti malam di Sorrowforest di dekat Orbitary village. Ia tidak tahu tes apa yang diujikan. Namun ia tidak akan menolaknya. Tes itu sudah diwajibkan bagi semua murid Excellent Class.
"Humm. Sebenarnya aku punya penawaran untukmu," gumam Mora. Matanya menatap Yui sekilas sebelum mengamati langit dari bingkai jendela.
"Penawaran apa, sensei?" tanya Yui. Ia sangat penasaran akan penawaran yang dibicarakan Mora. Ia merasa tertarik. Padahal ia tidak tahu macam apa penawaran itu. Mungkin menjadi relawan lagi. Tak masalah baginya. Ia cukup senang membantu orang lain. Walaupun tugas relawan beberapa bulan lalu jauh dari angan-angannya. Hunter yang ahli membunuh vampir malah bertugas membersihkan taman kota Furishi. Konyol dan menyebalkan.
"Penawaran untuk sebuah misi. Yeah, aku memilihmu karena kau cukup berbakat dan nilai tesmu selalu baik. Tapi Riku tidak memperbolehkanku mengikutkanmu dalam misi ini. Padahal kau lah yang menurutku bisa diandalkan," jelas Mora panjang lebar.
Yui mengerutkan alisnya. Ia tidak mengerti kenapa ayahnya-Riku Fukuzawa, melarangnya ikut dalam misi. Padahal ia yakin kalau ayahnya mendukungnya masuk Hunter 'ELF' Gakuen. Lalu kenapa sekarang ayahnya melarangnya? Aneh.
"Kenapa ay-eh Fukuzawa sensei melarangku?" tanya Yui dengan tak sabar.
Mora mengalihkan pandangan kembali pada Yui. Ia bisa melihat keheranan di mata violet gadis itu. Sebenarnya ia juga tidak tahu pasti. Tapi ia yakin penyebabnya karena rasa takut Riku akan keselamatan putrinya.
"Mungkin dia khawatir padamu."
"Tapi biasanya dia tidak melarangku. Memangnya seberapa besar bahayanya misi ini?" tanya Yui lagi. Ia tak puas dengan jawaban Mora.
"Tidak pasti ukuran berbahayanya. Tapi misi ini memang berbahaya," gumam Mora pelan. Tersirat keraguan dalam ucapannya. Ia memang tidak bisa memastikan seberapa berbahaya misi kali ini. Ada satu hal yang membuat misi ini berbahaya. Yaitu tidak adanya data apapun yang bisa membantu pelaksanaan misi baik sasaran tempat maupun jangka waktu misi.
"Jadi, sebenarnya apa misi itu?" tanya Yui pada akhirnya. Ia tidak bisa menebak apa misi yang ditawarkan padanya kali ini. Tapi ia yakin ada sesuatu di baliknya.
"Humm, bagaimana kalau kau tanya saja pada Riku. Aku tidak enak mengatakannya padamu."
"Kenapa?" tanya Yui cepat karena tidak terima dengan elakan Mora. Ia sudah sangat penasaran.
"Bagaimana ya. Kalau aku yang bilang kau pasti akan langsung menerimanya seperti biasa. Jadi tanya saja pada Riku, ya," bujuk Mora. Ia sadar bukan hanya itu alasannya. Ia hanya takut jika Yui menerima misi ini karena berhubungan dengan masa lalunya. Ia juga yakin kalau Riku akan memarahinya karena memberitahu Yui. Tapi apa boleh buat. Ini misi penting dan mendesak. Hanya Yui yang bisa ia andalkan.
"Ah, sensei. Kau membuatku penasaran. Dan sensei tahu betul aku tidak akan berhenti bertanya di saat aku dalam tahap super penasaran," kata Yui sambil menatap tajam ke mata Mora.
Dengan berat hati Mora mengangguk. Ia mengalah untuk ke sekian kalinya. "Baiklah. Misinya adalah mencari buronan yang diperkirakan bersembunyi di Vampir 'ZERO' Academy."
"Buronan? Di Vampir 'ZERO' Academy?" ulang Yui tak percaya. Bagaimana mungkin ada buronan yang bersembunyi di Vampir 'ZERO' Academy? Semua orang juga tahu betapa ketatnya pengamanan Akademi vampir itu. Tak mungkin ada buronan yang bisa bersembunyi di sana. Rasanya sungguh tidak mungkin dan sulit untuk dipercaya.
"Yeah, begitulah informasi yang kami dapatkan," kata Mora. Ia beranjak dari kursinya dan berjalan menuju bingkai jendela. Mata hijaunya memandang lurus ke arah horizon langit yang berubah mendung. Aroma dedaunan musim gugur merangsek masuk ke dalam indera penciumannya.
"Tapi itu sulit dipercaya. Udagaki sensei tentu tahu seperti apa Akademi Vampir itu. Pengamanannya sangat ketat. Seekor kelinci pun sulit menyusup ke sana. Bagaimana mungkin buronan bisa ada di sana?" jelas Yui untuk mempertegas ketidakpercayaannya. Ia ikut beranjak dari kursi dan berjalan mendekati Mora. Dengan santai, ia duduk di meja paling dekat dengan jendela. Ia sedikit merapatkan kakinya agar rok seragamnya yang hanya menutupi sampai lutut tidak tersingkap. Ia melipat tangan di depan dada. Menunggu argumen sensei-nya.
"Aku juga berpikir seperti itu, tapi itulah kenyataannya. Hunter Spy terbaik saat ini, Rave Kunihonshou sendiri yang melaporkan hal itu. Dia mengatakan kalau buronan itu keluar masuk ke dalam Academy dengan bebas," jelas Mora panjang lebar. Ia menoleh ke arah Yui dan menatapnya lama-lama. "Bagaimana menurutmu?"
Yui terdiam. Otak encernya sedang memproses penjelasan Mora. Ia tahu kemampuan Rave, seniornya di Hunter 'ELF' Gakuen, tidak diragukan lagi. Ia mengagumi seniornya itu. Jadi bisa dipastikan kalau Yui mempercayai laporan Rave. Ia menyangga dagunya dengan kepalan tangannya. Bagaimana mungkin buronan bisa keluar masuk ke Akademi Vampir dengan bebas? Ah, ia mengingat satu hal. Pertanyaan mendasar yang harusnya ia tanyakan sejak awal.
"Sensei, sebenarnya apa kasus kejahatan dari buronan ini? Siapa dia?" tanyanya dengan nada menyelidik.
"Ah, aku belum menceritakan itu rupanya," cetus Mora setelah sembuh dari keterkejutannya akan pertanyaan Yui. Ia menatap Yui dengan mata berbinar senang. Ia tak salah menceritakan misi ini pada Yui. Ia yakin murid kebanggaannya ini akan banyak membantu dalam tugas ini. Ia mengutuk sifat egois Riku yang menyembunyikan potensi besar dalam diri Yui. 'Kalau Headmaster-sama tahu akan hal ini, dia pasti senang. Dan Riku akan dihukum. Ah, biar pria itu merasakan nikmatnya detensi,' batinnya.
"Buronan itu sangat pandai bersembunyi. Kami hanya tahu kalau dia laki-laki dengan tattoo burung phoenix kecil di pergelangan tangan kirinya dan wajahnya selalu tertutup tudung mantelnya. Kami tidak tahu nama ataupun ciri-ciri lainnya. Semua tersamar dalam mantel besarnya dengan sempurna. Kami bahkan ragu dia benar-benar laki-laki atau malah seorang wanita. Semua serba tak pasti. Hal itu yang membuat misi ini sulit diatasi. Kejahatannya adalah membunuh 13 penduduk di Orbitary village sebelum jam 12 malam dalam jangka waktu dua minggu terakhir. Korban diambil secara acak namun kesamaannya hanya golongan darah, yaitu O. Semua korban ditemukan tewas karena kehabisan darah dengan luka gigitan di leher bagian kanan," jelas Mora panjang lebar. Ia menatap Yui lekat-lekat. Menanti analisa murid kebanggaannya itu.
Yui terdiam sejenak. "Siapa saja yang mengintai? Siapa yang melihatnya di akademi vampir?"
"Eh? Ada Rave, Karen, Sean, Natasha dan Tony. Yang mengintai di dekat akademi adalah Rave dan Sean. Mereka hampir saja ketahuan, padahal mereka belum masuk ke dalam Oyharo city."
Yui terdiam lagi. Mata indahnya menatap ke langit-langit ruangan kelas. Ada banyak pemikiran yang memenuhi otaknya. Ia menghela nafas singkat sebelum memulai analisanya.
"Aku yakin pelakunya vampir, kemungkinan besar Vampir Half-Blood. Itu jawaban kenapa dia bisa bebas keluar masuk ke dalam akademi vampir, lagipula gerbang akademi vampir adalah gerbang Oyharo city juga. Dan penyerangan itu, aku rasa ada hubungannya dengan Triangle Darkness," gumam Yui. Ia nampak ragu dengan pernyataan terakhirnya.
"Hah? Apa? Triangle Darkness apa?" tanya Mora aneh. Ia tak mengerti dengan apa yang dibicarakan Yui. Terkadang muridnya ini terlalu pintar untuk ukuran gadis yang belum genap 17 tahun.
"Sensei pernah membaca buku karangan John Ust Kurochiki, leluhur klan Vampir Pure-Blood Kurochiki? Judulnya 'The Forbiden Way for Safe Our Purity'."
Mora menggeleng pelan. Alisnya berkerut bingung. "Aku pernah mendengarnya tapi tidak pernah membacanya. Buku itu terlalu tebal dan bahasanya aneh."
Yui terkekeh pelan. Tangan mungilnya merapikan poni yang sedikit menutupi arah pandangannya. "Itu bahasa kuno Kurochiki. Hanya perlu konsentrasi untuk mengerti maksudnya. Ah, dalam buku itu tertulis 3 cara terlarang untuk menyelamatkan kemurnian klan. Ya, salah satunya kejahatan buronan tanpa nama ini."
"Hah? Aku tidak mengerti, Fukuzawa." Mora menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pasrah.
"Hehe, memang agak membingungkan, sensei. Biar ku perjelas. 3 cara itu adalah penyegelan, pembangkitan dan peleburan. Penyegelan itu bisa dibilang membuat tattoo Triangle Darkness atau menyegel darah vampir murni terpilih. Kalau pembangkitan bisa dikatakan membuka segel Triangle Darkness dengan pertukaran darah vampir murni terpilih dengan matenya. Dan terakhir adalah peleburan. Ini-" Yui menghela nafas sebelum meneruskan. "Ini jalan pintas dengan mengumpulkan 99 sampel jenis darah bergolongan sama dalam waktu 3 sampai 4 bulan dari tempat berbeda secara berurutan. Dan kejahatan buronan ini mungkin untuk itu. Eh, apa ada tattoo helai sayap phoenix di tubuh korban?"
Mora mengernyitkan keningnya. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya berseru keras. "Ada! Ada tattoo helai sayap tapi tidak jelas sayap apa. Letaknya di bawah tulang selangka."
Yui mengangguk. "Jadi kemungkinan besar ini dilakukan lebih dari 1 vampir. Aku penasaran siapa sebenarnya yang akan dibangkitkan?"
"Hei, Fukuzawa. Bagaimana kalau kau ikut misi ini?" tawar Mora.
Yui menanggapinya dengan senyum kecil. "Entahlah. Kalaupun aku terima, aku harus lulus tes dulu kan?"
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
"Aku pulang!" seru Yui keras-keras dari pintu depan sebuah rumah minimalis di pinggiran kota Tosakyo tepatnya di Guinave Village. Tangan mungilnya memencet bel berkali-kali sampai terdengar bunyi 'ting tong' berurutan.
"Hei! Jangan berteriak seperti itu, Yu-chan!" balas seorang pria berumur akhir 30 tahunan yang memakai celemek berwarna biru laut. Di tangannya ada sodet masak yang masih bersih. Ia berjalan santai menuju pintu depan. Mata beriris abu-abunya tersembunyi indah di balik kacamata non frame yang ia pakai. Rambut hitamnya yang terpotong pendek nampak acak-acakan. Ia berusaha mengabaikan bunyi bel yang mulai membuat telinganya sakit. Ia, Riku Fukuzawa tak akan memaafkan ulah Yui kali ini dengan mudah.
Ceklek! Pletak!
"Ah! Aduh! Ayah! Sakit tahu!" omel Yui kesal. Ia tak menyangka ayahnya akan memukul kepalanya dengan sodet sayur.
"Itu hukumanmu karena memencet bel seenakmu sendiri," balas Riku. Ia juga nampak kesal.
"Ah, ayah. Aku kan baru pulang dari Hunter 'ELF' Society. Apa kau tidak merindukanku?" kata Yui dengan nada merajuk.
"Aish! Bagaimana mungkin ayah merindukanmu kalau setiap hari kita bertemu di Hunter 'ELF' Gakuen dan setiap akhir minggu kau juga pulang," jelas Riku panjang lebar. Sekedar memberitahu putrinya kalau ia tidak merindukan putrinya sedikitpun.
Wajah Yui berubah cemberut. Bibirnya maju beberapa milimeter. "Ayah jahat!"
"Hei!" Riku memekik kaget saat putrinya melewatinya sambil menabrakkan diri ke tubuhnya. Ia menggeleng pelan sebelum menutup pintu rumah. Ia heran kenapa dia bisa mempunyai anak seunik Yui. Meledak-ledak seperti petasan.
"Ayah! Kare-mu gosong!" seru Yui dari arah tangga di dekat dapur.
"Hah?" Riku terhenyak kaget. Ia buru-buru berlari ke dapur dan meninggalkan kegiatan melamunnya beberapa saat lalu. Matanya membelalak kaget menatap kepulan asap dari panci karenya.
"For God Sake. Kare-ku!" serunya frustasi. Ia menatap pancinya dengan sedih. Kare spesialnya gosong padahal baru ia tinggal sebentar. Ini pasti gara-gara apinya terlalu besar. Argh! Ia menjambak rambutnya sendiri. Harus makan apa dia malam ini? Padahal Yui ada tes Hunter Spy tengah malam nanti. Bagaimana kalau putrinya kelaparan nanti? Lalu gagal dalam tes. Tidak! Ia merasa jadi ayah yang jahat.
"Sudahlah, ayah. Aku sudah belikan bahan makanan. Masak saja lagi!" seru Yui dari lantai atas. Ia sudah hafal kebiasaan ayahnya yang hanya membeli bahan makanan untuk sekali masak. Dan ayahnya itu hanya masak setiap akhir pekan saat ia pulang.
"Hah? Baiklah. Aku akan masak kare lagi," kata Riku dengan semangat baru yang entah ia dapat darimana. Ia berjalan mendekati meja dapur dimana ada sekantong bahan makanan di sana. Ia terdiam saat melihat bahan makanan yang ada di dalam kantong. Hanya ada daging, paprika, bawang bombay, cabai, kecap, saus dan wasabi. Ia hanya mampu menatapnya dengan bingung. Tidak ada bahan makanan untuk kare.
"Aku mau barbeque bukan kare," kata Yui tiba-tiba.
Riku menatapnya kecewa. "Tapi ayah mau kare, Yu-chan."
"Tidak bisa, aku mau barbeque!" tandas Yui kesal. Ia bosan makan kare setiap pulang ke rumah. "Kalau ayah tidak mau, ya sudah. Aku bisa masak sendiri."
"Eh? Ayah mau kok. Yu-chan duduk saja, biar ayah yang masak," kata Riku dengan senyum yang kelewat lebar.
"Baiklah." Yui duduk di kursi di ruang makan dengan tenang. Ia mengamati ayahnya yang sedang memasak. Terkadang ia sempat berpikir 'bagaimana mungkin orang sekonyol ayahnya bisa menjadi guru obat yang cukup disegani di Hunter 'ELF' Gakuen'. Sulit dipercaya tapi memang itu kenyataannya.
"Eh, ayah. Ada yang ingin ku bicarakan denganmu," kata Yui saat tiba-tiba ia teringat pada pembicaraannya tadi siang dengan Udagaki sensei.
"Ya? Bicara apa? Katakan saja! Aku masih bisa mendengarmu dengan jelas," balas Riku.
Yui menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara. "Ini tentang misi pengejaran buronan di Vampire 'ZERO' Academy. Aku mau ikut misi Hunter Spy di sana kalau aku lulus tes."
Klontang!
Riku menjatuhkan pisau yang tadi ia gunakan untuk memotong daging. Pisau itu jatuh membentur lantai dengan cukup keras. Beruntungnya pisau itu tidak mengenai kakinya yang hanya memakai sandal rumah berbentuk kepala sapi di ujungnya. Riku membalikkan tubuhnya perlahan ke arah dimana Yui berada. Matanya menatap Yui dengan horor.
"A-apa kau bilang tadi, Yu-chan?" tanyanya dengan suara tercekat. Ia masih memberikan tatapan horor pada Yui. Ia kaget dan tak menyangka kalau Yui akan mengatakan itu. Darimana putrinya tahu kalau ada misi pengejaran buronan ke Akademi Vampir? Ah, ia ingat. Ia yakin kalau Mora yang sudah mengatakannya pada Yui.
Yui menatap ayahnya dengan bingung. Reaksi yang diberikan ayahnya cukup membuatnya kaget. Walaupun ia sudah menduga hal itu sebelumnya. Ia berdecak kesal sebelum angkat bicara. "Ckk. Ayah tidak dengar ya? Aku bilang kalau aku akan ikut misi pengejaran buronan ke Vampire 'ZERO' Academy kalau aku lulus tes Hunter Spy tengah malam nanti."
"Ah, Yu-chan. Jangan lakukan itu. Kau tahu di sana sangat berbahaya. Lagipula kejahatan ini bukan kejahatan besar," kata Riku dengan wajah memelas.
Yui kembali berdecak kesal. "Ayah! Bukan kejahatan besar bagaimana! Sudah ada 13 korban dan itu akan terus berlanjut."
"Tapi-"
"Aku tidak terima kata 'tapi' dari ayah. Lagipula aku ikut misi ini kalau aku lulus tes Hunter Spy tengah malam nanti. Kalau aku gagal, aku tidak akan ikut," potong Yui cepat sebelum ayahnya sempat meneruskan kata 'tapi'-nya.
"Yu-chan, aku melarang karena aku tahu kalau kau akan berhasil dalam tes Hunter Spy. Kau bisa melakukan misi apapun, asal jangan misi penyusupan seperti ini. Ayah tidak setuju. Bagaimana kalau vampir di akademi vampir mencium bau darahmu saat haus. Kau bisa diserang oleh mereka. Kita tahu pasti tentang larangan memasuki Vampir 'ZERO' Academy yang dikeluarkan kerajaan Vampir. Itu untuk keselamatan kita," jelas Riku panjang lebar.
Yui mendengus kesal. "Kasus kejahatan ini juga menyangkut kepentingan mereka. Aku yakin kalau mereka akan mengizinkan penyusupan ini."
"Apa maksudmu? Kepentingan mereka?" ulang Riku tak mengerti.
"Ayah ingat tentang peleburan untuk membuka segel Triangle Darkness?" tanya Yui. Ia tersenyum licik saat ayahnya nampak bersemangat.
"Tentu saja. Itu jalan pintas yang cukup menantang. Ah, tapi apa hubungannya dengan ini?" Riku memandang putrinya dengan curiga.
"Kejahatan ini adalah proses peleburan itu."
"Kenapa kau bisa beranggapan seperti itu?" tanya Riku ragu.
"Ada beberapa poin penting yang sama. Pertama, semua korbannya bergolongan darah O. Kedua, ada tattoo helai sayap phoenix di bawah tulang selangka korban. Ketiga, dalam dua minggu ini semua korban ada 13 dan dari Orbitary village. Bukankah itu syarat utama peleburan, yaitu berurutan tiap malam dengan 1 korban dan 14 korban dalam 1 tempat. Jadi kemungkinan ini ilegal. Kalau legal tentunya pihak kerajaan akan memberitahu kita kan?" jelas Yui.
Riku menatap Yui dalam-dalam. Ia tak menyangka putrinya mampu menganalisa seakurat ini. "Hebat. Kau memang putriku yang paling hebat."
Yui tersentak kaget saat ayahnya sudah ada di depannya dan memeluknya erat-erat. Ia hanya tersenyum kecil sambil menepuk-nepuk punggung ayahnya. Tiba-tiba keningnya mengernyit bingung saat hidungnya mencium aroma sesuatu. Bau gosong. Matanya membulat begitu melihat daging yang dipanggang telah berasap.
"Ayah, dagingmu gosong," bisiknya pelan. Senyum geli terukir di bibirnya.
"Apa!"
Riku langsung histeris melihat dagingnya telah hangus dan tidak bisa dimakan pastinya. "Mau makan apa kita malam ini?"
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ



"Yu-chan, kau tidak apa-apa hanya makan malam dengan mie instan? Apa perlu ayah buatkan bekal roti?" tanya Riku sebelum mengantar Yui ke Orbitary village. Karena dagingnya hangus, ia dan Yui hanya makan mie instan. Ia khawatir kalau Yui akan kelaparan saat tes nanti.
"Tidak perlu, ayah. Aku sudah kenyang dengan mie instan tadi," tolak Yui. Ia sudah mengenakan seragam Hunter 'ELF' Gakuen lagi setelah ia sempat berganti pakaian saat di rumah. Ia merapikan kemeja berlengan panjang berwarna putih yang membalut tubuhnya. Dasi berwarna biru muda sudah terikat rapi. Rok lipit selutut yang sewarna dengan dasinya juga sudah rapi. Di tangannya sudah ada mantel panjang berwarna putih dan pistol rakitan yang ia buat sendiri sebulan yang lalu. Ia menamainya dengan Darkyuri.
"Baiklah. Kita berangkat sekarang," kata Riku. Ia menyalakan mobil Volvo putihnya dan melajukannya dengan cepat menuju ke Orbitary village.
Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di pinggiran Orbitary village, tepat di tepi Sorrowforest. Di sana sudah terlihat ramai. Tidak hanya Yui yang mendapat jadwal tes tengah malam ini.
"Aku tes dulu, ayah. Sebaiknya ayah pulang," kata Yui sebelum keluar dari mobil.
"Ya. Hati-hati," balas Riku. Ia memperhatikan pergerakan Yui sampai gadis itu berhenti di depan seorang wanita.
"Ckk, Mora. Awas kalau sampai putriku terluka," gumam Riku pelan. Ia segera memutar arah mobilnya menuju rumahnya.
Yui berjalan cepat menuju tempat dimana Mora Udagaki berada. Ia menyelipkan pistolnya ke dalam saku mantelnya. Lalu mengenakan mantelnya dengan cepat.
"Sensei!" seru Yui pada wanita yang ia kenali sebagai Mora.
Mora menoleh ke arah kedatangan Yui. Ia berdecak singkat. "Ckk. Kau telat 13 detik, Fukuzawa. Segera masuk hutan dan kembali ke tempat ini dengan membawa bendera yang ada di tengah hutan. Hanya ada 3 bendera malam ini."
Yui mengangguk mengerti. Ia sudah akan berjalan ke dalam hutan tapi ia menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Mora. "Sensei, sebaiknya hunter yang ada di sini berjaga karena malam ini pasti ada serangan di Orbitary village, walaupun sudah lewat tengah malam."
"Hah? Apa mak-Hei! Ck! Bocah itu," keluh Mora pelan karena Yui sudah menghilang di balik pekatnya hutan.
Yui terus berlari menerobos hutan. Tujuannya hanya satu yaitu tengah hutan. Ia mengingat rute jalan pintas yang pernah ia baca. Saat sampai di persimpangan, ia memilih jalan ke kanan. Walaupun terjal tapi itu adalah jalan pintas. Dengan lincah, tubuh mungil itu melewati jalanan berbatu yang berbatasan langsung dengan jurang. Ia melompat di bebatuan terakhir dan langsung sampai di tengah hutan. Ia melihat ada banyak bendera yang sejenis. Tapi ia hanya melihat ada 3 yang memiliki tanda Hunter 'ELF' Gakuen kecil di ujung bendera. Dengan cepat ia meraih salah satunya dan kembali menyusuri jalan yang berbeda dengan jalan saat datang.
"13 menit 3 detik. Yuicathra Fukuzawa," seru hunter yang bertugas menghitung waktu di garis finish.
"Midget, kau membuat rekor baru!" seru seorang laki-laki berambut coklat terang. Tangan kekarnya menepuk-nepuk kepala Yui dengan semangat. Mata beriris birunya nampak bersinar di keremangan malam.
"Sean senpai! Jangan memanggilku midget! Aku tidak kerdil!" seru Yui dengan kesal pada seniornya, Sean Kotatsuki yang dua tahun di atasnya.
"Bagiku kau tetap midget! Iya kan, Rave?" Sean menoleh sekilas pada laki-laki di belakangnya yang ia panggil Rave.
Rave Kunihonshou hanya tersenyum kecil. Rambut hitamnya tersembunyi rapi di balik tudung mantelnya. Mata beriris coklat terangnya menatap Yui dengan lembut. "Selamat, ya. Kau memang hebat."
Yui mengangguk cepat dan segera memukul bahu Sean sebagai balasan atas jitakan di kepalanya tadi. Wajahnya sedikit memerah karena pujian dari Rave. Ia memang mengagumi Rave sejak masuk Hunter 'ELF' Gakuen. Baginya, Rave adalah senior paling tampan di sekolahnya. Ia sering merasa malu jika bertatapan dengan Rave. Wajahnya juga selalu memerah kalau Rave sudah memuji atau menatapnya dengan lembut.
"Hei! Yui, aku dengar kau mau ikut misi pengejaran buronan ke Vampir 'ZERO' Academy. Benar tidak?" tanya Sean saat Yui sudah berhenti memukul bahunya.
"Hah? Itu ya, sepertinya iya. Tapi kalau bisa aku ingin menangkapnya malam ini," jawab Yui sambil melepas mantelnya. Dengan tak peduli, ia duduk meluruskan kaki di atas dedaunan kering. Tangan mungilnya dengan lincah melepas sepatu ketsnya. Dan menggantinya dengan stileto berhigh heels lebih dari 7 cm.
"Malam ini? Memangnya kau yakin dia akan datang malam ini?" tanya Sean lagi.
"Ya." Yui kembali berdiri dan memandang ke langit. "Pasti datang. Dia tidak bisa melewatkan sehari pun. Ah, bagaimana menurut senpai tentang tujuan kejahatan ini? Aku yakin Udagaki sensei sudah menceritakan itu pada kalian."
Sean mengangkat bahu. "Entahlah. Analisamu masuk akal. Berhubung aku tidak tahu menahu soal buku itu dan isinya, aku setuju saja denganmu. Kau kan memang buku berjalan."
Yui menoleh dan menatap Sean dengan tajam. "Apa maksud senpai dengan buku berjalan?"
"Nothing." Sean mengacungkan tanda peace dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Aku setuju denganmu, Yui. Memang ada indikasi ke arah itu. Tapi belum bisa dipastikan mengenai hal itu," kata Rave. Ia menatap Yui tetap dengan tatapan lembut. "Ngomong-ngomong darimana kau tahu tentang buku itu?"
Yui terkekeh pelan. Dengan canggung ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Dari ayah. Senpai kan tahu kalau ayahku memang menyukai buku-buku seperti itu."
"Ah, aku jarang bertemu Fukuzawa sensei. Apa dia sedang melakukan sebuah proyek?" tanya Sean tiba-tiba. Ia terlihat antusias menanyakan Fukuzawa sensei. Sudah menjadi rahasia umum kalau ia sangat mengidolakan Fukuzawa sensei dan selalu menjadi orang pertama yang memuji obat penemuan Fukuzawa sensei.
"Entahlah. Sepertinya memang begitu. Ayah bilang dia sedang sibuk meneliti komposisi darah vampir dan bagaimana cara vampir mengidentifikasi bau darah manusia," jawab Yui sambil menunjukkan pose berpikirnya. Kepalan tangan menyangga dagu.
"Dimana Udagaki sensei?" tanya seorang anggota Hunter Spy pada Rave yang berdiri tak jauh darinya.
"Ah, ada di posko penilaian. Memangnya ada apa?" kata Rave pada orang itu.
"Eh?" Orang itu nampak ragu untuk menjawab.
"Sedang apa kau di sini? Bukannya aku menyuruhmu berjaga di balai desa Orbitary," cetus Mora yang sudah ada di belakang Yui entah sejak kapan.
"Sensei, ada pe-pembunuhan di balai desa. Pelakunya vampir."
"Apa?" seru Mora dan Sean dengan keras secara bersamaan. Sementara Yui dan Rave tetap tenang. Sepertinya keduanya sudah menduga hal itu akan terjadi.
"Sebaiknya kita segera ke sana," kata Rave dengan nada datar.
Yui sudah berlari terlebih dahulu sebelum yang lainnya bergerak. Ia penasaran dengan kondisi korban. Ia ingin melihat korban dengan mata kepalanya sendiri. Langkah kakinya berhenti tepat di dekat kerumunan orang. Ia menerobos masuk ke dalam kerumunan dan langsung mendekati korban, tepatnya mayat korban berada. Ia duduk berjongkok di dekat mayat seorang wanita seusianya. Wajah mayat itu pucat pasi dengan mata tertutup. Bajunya sedikit terkoyak. Tangan Yui sudah terulur untuk menyingkap baju korban di bagian leher. Namun ada tangan kekar yang menampik tangannya dengan keras.
"Apa yang kau lakukan? Kau bukan anggota Hunter Spy!" seru hunter yang menampik tangan Yui.
"Ckk." Yui berdecak kesal sambil mengusap tangannya yang memerah karena tampikan tangan hunter itu. Ia berdiri tegak dan menatap hunter itu dengan kesal. "Aku sudah menjadi anggota Hunter Spy sejak beberapa menit yang lalu."
"Omong kosong. Pergilah, bocah!" Hunter itu mendorong Yui sampai nyaris menubruk tanah kalau tidak ditahan Rave yang ada di belakang Yui beberapa detik yang lalu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Rave tepat di belakang Yui.
"Eh?" Yui nyaris berteriak begitu mendengar suara Rave. Wajahnya berubah merah. Sebelum ia membuat ulah, ia segera menjauhkan tubuhnya dari tubuh Rave. "Ti-tidak. Aku tidak apa-apa."
"Biarkan dia memeriksanya. Dia berada di bawah perintahku," tandas Mora. Ia mengalihkan tatapannya pada Yui. "Lakukan apapun yang mau kau lakukan!"
"Ya." Yui menjawab singkat dan segera duduk berjongkok di dekat mayat. Tangannya menyingkap baju yang menutupi leher bagian kanan korban. Ada dua lubang bekas gigitan yang jelas terlihat di leher korban. Tangannya menyingkap baju korban lebih ke bawah tepatnya di tulang selangka bagian kanan. Namun tidak ada tattoonya. Ia beralih ke tulang selangka bagian kiri. Ada tattoo helai sayap phoenix di sana.
"Udagaki sensei, apa tattoonya ada di bagian kiri semua?" tanya Yui tanpa melihat ke arah Mora sedikitpun.
"Entahlah. Bagaimana menurut catatanmu, Sean?" Mora menatap Sean yang nampak sibuk membolak-balik notenya.
"Tidak. Korban pertama di kanan, korban kedua di kiri. Tattoonya berganti tempat tergantung urutan korban. Untuk yang ganjil ada di kanan, dan kiri untuk yang genap," jelas Sean.
"Oh, begitu." Yui bangkit dan berjalan menjauh. "Aku pergi sensei, mungkin pembunuhnya belum jauh. Dia akan melambat kalau terlalu kenyang."
Sebelum sempat ditanggapi, Yui sudah menghilang.
"Apa boleh buat, midget benar," kata Sean seraya berlari mengejar Yui. Rave menyusul di belakangnya.
"Bocah-bocah itu terlalu bersemangat," kata Mora sebelum memerintahkan anak buahnya menyisir setiap tempat.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Yui berlari cepat menyusuri jalan setapak yang ada di samping balai desa. Jalan itu membawanya ke dalam hutan, Sorrowforest. Ia tetap berlari jauh ke dalam hutan walau terkadang ia berhenti karena stiletonya menancap di tanah basah. Ia tidak tahu kenapa ia menyusuri jalan ini. Ia hanya menuruti apa kata hatinya saja.
"Hah? Apa yang ku lakukan?" gumamnya pelan, sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah.
Ia memperhatikan sekitarnya dengan cermat. Tidak ada apapun kecuali kegelapan yang membayang di balik pepohonan. Ia menyeka keringat yang menetes dari keningnya. Beberapa bulir keringat mengalir sampai ke matanya. Ia memejamkan matanya yang terasa perih.
Srett! Tubuhnya menegang saat merasakan ada yang lewat di dekatnya. Dengan cepat ia berbalik ke arah dimana ia merasakan sesuatu tadi berasal. Dari matanya yang belum bisa melihat dengan jelas, ia menangkap sesuatu yang menyerupai manusia bergerak cepat ke arahnya. Brugh! Belum sempat ia menghindar, sosok itu sudah menabraknya dengan keras.
Bugh! Krasakk! Tubuh Yui jatuh menimpa dedaunan kering dengan sosok itu tepat di atasnya. Lengan tangan bagian atas Yui tergores bebatuan. Membuat gadis itu meringis kesakitan.
Deg! Deg! Deg! Jantung Yui berdetak kencang saat matanya bertemu pandang dengan sosok itu. Amethyst violet kemerahan bertemu hazel semerah darah. Keduanya terdiam tetap pada posisinya. Saling menyelami mata masing-masing. Jantung Yui terus berdetak tak terkontrol. Darahnya mengalir menuju ke wajahnya, dengan cepat membuat wajah cantik itu merona merah.
Tes! Suara tetes darah dari luka gores di lengan Yui, memecah keheningan. Keduanya mengerjapkan matanya bersamaan. Cahaya rembulan yang bersinar menerobos melewati pepohonan menerpa wajah Yui. Membuat sosok itu terpaku pada Yui. Sementara Yui tak bisa melihat apapun dari siluet sosok itu kecuali ketajaman mata dan kenyataan kalau sosok itu adalah vampir laki-laki. Tidak ada makhluk lain yang mempunyai iris mata semerah mata vampir. Dan tidak ada tubuh seberat itu kecuali tubuh laki-laki. Ia juga merasakan samar-samar otot sixpack di perut vampir itu. Memikirkan hal itu membuat wajahnya semakin memerah. Bagaimana mungkin ia memikirkan hal itu di saat nyawanya mungkin terancam.
"Ka-u vampir?" tanya Yui dengan suara tercekat.
Sosok itu diam saja. Ia tetap menatap Yui dengan tajam. Mengamati wajah cantik Yui yang memerah. Tapi satu hal yang mengusiknya. Warna iris mata Yui. Mata itu mempesonanya dalam sekejab. Ia seolah tersihir akan mata itu. Ia tak mampu mengalihkan tatapannya dari mata itu sedikitpun. Tangannya secara naluriah terangkat menuju luka gores di lengan Yui. Dengan sihir ringan, ia mengobati luka itu. Walaupun ia sudah tak mampu menahan rasa hausnya, ia tak berniat menggigit Yui. Ia merasa tak tega. Selain itu minum bukanlah tujuannya saat ini.
"A-ku ber-tanya pada-mu. Apa kau vampir yang membunuh mereka?" ulang Yui dengan pertanyaan yang hampir sama. Ia hanya menambahkan sedikit pertanyaan yang menganggu pikirannya.
Sosok itu tersenyum manis. Membuat rona merah makin terlihat di wajah Yui. Sosok itu tak menjawab. Tangannya bergerak cepat melonggarkan dasi yang dikenakan Yui. Tangan dinginnya menelusuri leher Yui bagian kiri. Tapi tatapannya tetap terpaku pada mata Yui. Membuat gadis itu diam tak berkutik. Membuat gadis itu tahu betapa hebatnya kemampuan vampir dalam mempesona manusia.
"Ya, aku memang vampir," gumam sosok itu pelan. Ia memang tak berniat menggigit Yui, namun saat melihat wajah Yui yang merona merah, ia menjadi lost control. Ia menjadi sangat haus. Ia semakin tak tahan untuk segera minum. "Tapi sayang, aku bukan pembunuh yang kau cari. Kau tahu, sepertinya kita mencari vampir yang sama."
Yui tercekat saat taring tajam sosok itu terlihat ketika sosok itu menyeringai lebar. Ia tak bisa mengelak lagi saat sosok itu mendekatkan kepalanya ke arah lehernya. Ia menahan nafas saat hembusan nafas dingin sosok itu menerpa lehernya. Nafas itu terasa menggelitik kulit lehernya namun anehnya ia merasa tenang. Ia mendongakkan kepalanya saat sesuatu yang basah dan lembut menjilat lehernya. Jantungnya mulai berdetak semakin kencang. Tubuhnya mulai terasa merinding. Ada yang bergejolak dalam hatinya. Jleb! Ia memejamkan mata saat taring itu menembus kulitnya. Dan ia memalingkan wajahnya ke arah kanan saat kedua taring tajam itu terasa semakin dalam menancap di lehernya. Ia bisa merasakan volume darahnya tersedot keluar. Kepalanya pening dan pandangan matanya mulai kabur. Pikirannya mulai kalut jika tersadar nanti ia sudah di alam lain. Ia takut, sangat takut untuk pertama kalinya.
"Apa kau-"
Sebelum mendengar penuturan sosok itu lebih jauh, Yui sudah jatuh pingsan. Hal terakhir yang ia lihat adalah tangan dingin yang mengusap pipinya.
"-baik-baik saja?" bisik sosok itu saat ia sudah selesai meminum darah Yui. Ia mengangkat kepalanya dan menemukan Yui dalam keadaan pingsan. Ia tersenyum kecil sebelum menjilat bibirnya. Membersihkan sisa darah yang tertinggal di bibirnya. Ia menatap wajah terlelap itu lekat-lekat. Ia tidak tahu kenapa wajah itu begitu menarik di matanya. Ia mengalihkan pandangannya ke badge nama di seragam Yui.
"Padahal aku hampir berhasil menahan rasa hausku selama 1 bulan penuh. Tapi kau membuatku sangat haus, Nona..... Yuicathra Fukuzawa."
Sosok itu tersenyum manis. Ia menyentuh luka bekas gigitannya. Dalam sekejab luka itu menghilang. Begitu pula bekas darah yang sebelumnya mengotori seragam gadis itu. Ia beralih menyentuh kening gadis itu. Sinar merah berpendar beberapa detik sebelum kembali hilang.
"Kau harus melupakanku. Anggap malam ini kita tidak pernah bertemu."
Ia tersenyum kecil sebelum merapikan dasi dan kerah baju Yui. Ia tidak mau dihukum karena kesalahan kecilnya yang melanggar aturan Seven Rules. Ia tidak bisa memastikan apa gadis itu ikhlas memberikan darahnya atau tidak. Walaupun gadis itu tidak mengelak saat dia menggigitnya. Namun akan jauh lebih mudah jika ia menghapus ingatan gadis itu. Jadi ia tidak perlu membuat beban di pikiran gadis itu. Ia beranjak dari posisinya yang menindih Yui. Ia berjongkok di dekat tubuh Yui.
"Terima kasih, Nona. Entah kenapa darahmu manis sekali," gumam sosok itu pelan. Ia mengusap kening Yui. Menyibak poni yang menutupinya. Ia menghirup nafas dalam-dalam. Aroma lavender memenuhi indra penciumannya. "Lavender ya. Entah kenapa wangimu sangat familiar bagiku."
Sosok itu meraih pergelangan tangan kanan Yui. Membuat pola khusus di sana. Pola phoenix kecil yang hanya bisa dilihat olehnya.
"Aku tidak berniat menandaimu tapi aku ingin melakukannya. Maaf jika kau merasa keberatan. Suatu saat aku akan menghapusnya jika kau memintanya padaku. Sampai jumpa, Yui."
Sosok itu meletakkan tangan Yui kembali ke atas dedaunan kering. Ia beranjak dari posisi jongkoknya. Ia menatap wajah Yui lama-lama sebelum beranjak pergi. Meninggalkan gadis yang tak sadarkan diri itu sendirian.

Tak lama setelah vampir itu pergi, Yui terbangun dari pingsannya. Ia menatap sekelilingnya dengan bingung dan heran. Kepalanya masih pusing. Matanya masih agak buram. Hanya kegelapan yang dapat ia lihat.
"Apa yang terjadi? Kenapa aku ada di sini?" gumamnya pelan.
"Yui, kau tidak apa-apa?" tanya Rave sambil duduk berjongkok di dekat Yui.
"Hah?" Yui menatapnya dengan bingung. Ia berdiri dengan bantuan Rave. Kepalanya masih sedikit pening. "Ya, aku rasa begitu. Sepertinya aku terjatuh tadi."
"Kau yakin? Sebaiknya kau pulang. Sudah hampir pagi. Aku akan mengantarmu pulang," kata Rave sambil tetap memegangi tubuh Yui. Ia masih khawatir dengan keadaan Yui yang sepertinya masih linglung.
"Eh? Em, ti-dak perlu repot-repot, senpai," elak Yui dengan gugup.
"Tidak apa-apa. Aku tidak merasa direpotkan." Rave tersenyum lembut.
Yui tak sempat menolaknya karena Rave sudah memapahnya berjalan. Tangannya sudah melingkar di bahu Rave. Dan tangan Rave pun sudah melingkari pinggangnya. Hal itu membuatnya gugup sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa menit.
"Kenapa senpai bisa ada di sini?" tanya Yui sambil tetap menundukkan wajahnya yang memerah karena kontak fisik dengan Rave. Ia tidak mau menatap wajah Rave dalam jarak sedekat itu.
"Kebetulan. Tadi aku mengejar vampir. Dia berlari ke tempatmu berada tadi. Apa kau melihatnya?"
Yui terdiam lama sebelum akhirnya menggeleng pelan. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi tadi, tapi ia tidak bisa mengingatnya sedikitpun.
"Aneh. Sepertinya dia vampir yang hebat," gumam Rave.
Yui tak menanggapinya lagi. Ia merasa benar-benar lelah. Apa mungkin gara-gara ia hanya makan mie instan malam ini?
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ


Back-yard of Northless Palace, 3 a.m.



Seorang laki-laki berjalan pelan menyusuri jalan setapak di taman belakang istana. Mantel hitam yang membalut tubuhnya menjuntai sampai ke tanah yang tertutupi dedaunan maple kering. Rambut hitam kemerahannya yang acak-acakan dimainkan angin musim gugur yang nakal. Helai-helai rambutnya terkadang menutupi matanya. Rambut bagian belakang memanjang melewati batas kerah kemeja. Namun ia nampaknya tak berniat untuk memotongnya.
Krasak!
Mata beriris coklat keemasannya melirik ke arah belakangnya sekilas. Ia kembali sibuk menikmati pemandangan musim gugur di pagi buta. Wajah tampan dengan garis wajah tegas dan kulit pucatnya menampakkan ekspresi datar tanpa emosi. Hanya sesekali bibir tipisnya melengkungkan senyum kecil karena mengingat apa yang baru terjadi tadi.
"Niel-sama, anda darimana saja?" tanya Marion Jurotsuchi. Pemuda berambut hitam pekat itu berjalan pelan tepat di belakang laki-laki yang ia panggil 'Niel-sama'. Mata beriris coklat kemerahannya menyiratkan kekhawatiran.
"Sudahlah, Marion. Aku tidak suka dengan panggilan itu. Aku juga tidak suka gaya formalmu itu. Bisa kah kau bersikap normal seperti biasa?" tandas Niel dengan nada datarnya.
"Ya, asal kau tidak kabur seenakmu sendiri," sahut Marion. Ia menyunggingkan senyum liciknya.
"Aku hanya menyelidiki beberapa hal sekaligus jalan-jalan mencari udara segar," elak Niel singkat. Ia menyibukkan diri dengan menatap rembulan di langit. Melihat sinar terangnya, ia jadi teringat pada gadis itu.
"Eh? Baumu aneh, Niel," cetus Marion tiba-tiba. Ia mencium bau yang tidak biasanya menguar dari tubuh Niel.
"Hn? Apa maksudmu?" tanya Niel tanpa mengalihkan tatapannya dari rembulan. Ia mulai berfantasi aneh. Ia merasa telah melihat wajah gadis itu terlukis di bulatnya rembulan.
"Tidak biasanya kau memakai parfum ini. Biasanya jeruk lemon atau melon kan?" Marion menatap Niel tajam. Ia meminta penjelasan pasti dari teman baiknya itu. Apa temannya sudah berubah selera? Atau ada hal lain yang menyebabkan bau Niel berubah.
"Tidak, aku-"
Ucapan Niel terhenti saat ia mencium tangannya. Lantas ia mencium mantelnya untuk lebih memastikan aroma yang menguar kuat dari tubuhnya. Wangi yang berbeda. Padahal seingatnya, ia memakai parfum jeruk lemon hari ini.
"Lavender?" sahut Marion. Ia menatap temannya dengan tatapan geli. "Kau gagal kan? Aku yakin kau baru saja minum. Masih ada aroma darah yang manis dari bibirmu."
Niel terdiam. Ia menatap Marion dengan tatapan datar. Seulas senyum simpul mengembang di bibirnya. "Hmm, begitulah. Ada darah yang sangat menggoda tadi."
Marion tertawa geli. "Sudah ku duga kau akan gagal. Sebaiknya hentikan percobaan anehmu itu. Kau tidak bisa merubah kebiasaan kita untuk minum darah setiap hari dari tablet darah dan maksimal 1 mangsa setiap minggu. Kita adalah vampir dan darah adalah makanan utama kita."
Niel tersenyum sinis. "Aku hanya mencoba hal baru."
"Terserah kau saja." Marion menendang-nendang dedaunan kering tanpa semangat. "Jadi apa kau berhasil menangkapnya?"
"Tidak. Tapi aku kenal aroma mereka."
"Mereka? Maksudmu lebih dari satu?" serbu Marion cepat.
"Ya. Mereka itu teman kita. Aku akan memastikan semuanya pada mereka. Pasti ada alasan untuk ini semua."
"Ya, pasti untuk menghidupkan dia," gumam Marion pelan.
"Dia?" tanya Niel.
"Ya, tentu saja Athrun-sama, pemimpin klan Kurochiki sebelum Ryuta-sama. Keadaan tak menyenangkan di kerajaan ini membutuhkan lebih dari satu vampir murni. Apalagi putri Athrun-sama juga menghilang. Ryuta-sama tidak mengatakan apapun mengenai itu." Mariyon melirik cemas ke arah Niel saat mengatakan putri Athrun-sama menghilang. Ia merasa lega dengan ekspresi datar Niel yang tidak berubah.
"Memangnya Paman Athrun mempunyai anak?" tanya Niel heran. Ia sama sekali tak ingat kalau paman Athrun-nya memiliki anak.
"Ya, kemungkinan besar sudah tewas," gumam Marion pelan. Ia tak ingin meneruskan pembicaraan berbahaya ini.
"Jadi itu alasan kenapa harus paman Athrun yang dihidupkan? Karena jasad putrinya tidak ada?"
"Mungkin."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ




Hunter's Rules
"Don't kill vampire after 12 p.m."
Diposting oleh Zicra Zalathha Malfoy di 18.01
Label: The Last Pure-Blood Vampire
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru » « Posting Lama
Langganan: Posting Komentar (Atom)

My Friends' Blog

Jceys-Online


My Song


MusicPlaylistView Profile
Create a MySpace Playlist at MixPod.com

Blog Archive

  • ▼  2012 (11)
    • ►  Juni (3)
    • ▼  April (8)
      • Zion Academy - Prolog
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Uncertainty
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Wrathful
      • The Last Pure-Blood Vampire - The First Trace
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Infiltration
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Forbiden Experi...
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Murderer
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Beginning

About Me

Foto Saya
Zicra Zalathha Malfoy
Lihat profil lengkapku

Labels

  • Bloody Love Run Away (1)
  • Mahootsukai Gakuen (1)
  • The Last Pure-Blood Vampire (8)
  • Zion Academy (1)
  • Beranda

Popular Posts

  • The Last Pure-Blood Vampire - The Anxiousity
    Seventh Rule of Seven Rules "Vampire doesn’t allowed kill human without decision from Hunter and Vampire Kingdom." The Last ...
  • Zion Academy - Prolog
    Prolog Los Angeles 2 a.m at Fullmoon Night Darah berceceran membasahi tiap-tiap sudut kota. Tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak tanpa d...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Uncertainty
    Sixth Rule of Seven Rules "Vampire can mark their mate and live together with their mate, although the mate is human." The ...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Infiltration
    Third Rule of Seven Rules "Human can give their blood for vampire and to be vampire with sincerely and not in underpreasure."...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The First Trace
    Fourth Rule of Seven Rules "Vampire can use their power to influence human for get blood after 12 p.m." The Last Pure-Blo...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Forbiden Experiment
    Second Rules of Seven Rules "Vampire can't kill hunter who guard human except hunter avoid the hunter's rules." The L...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Wrathful
    Fifth Rule of Seven Rules "Vampire and Hunter can attack each other if anyside avoid rule." The Last Pure-Blood Vampire | The ...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Murderer
    First Rule of Seven Rules "Human doesn't allowed to go out from their house after 12 p.m. until 4 a.m. If they run against fr...
  • Spoiler - Bloody Love Run Away
     credit photo : Takamiya Satoru - My Medicine - Aoi & Inori BLOODY LOVE “RUN AWAY” Inspired by a Greatest Novel of JK Rowling, “HAR...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Beginning
    What do you think about the darkness behind of you? What do you think about your shadow? Have you ever think about your destiny? Do you ...

Tom Felton

Tom Felton
Draco Lucius Malfoy

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "


 
Copyright © Zicra Zalathha Malfoys' World. All rights reserved.
Blogger template created by Templates Block. Price India. Hostgator Coupon.