Seventh Rule of Seven Rules
"Vampire doesn’t allowed kill human without decision from Hunter and Vampire Kingdom."
The Last Pure-Blood Vampire | The Anxiousity
When any thing which is never you wanted happen now
What will you do?
Do you feel worry?
Do you want to run away from this destiny?
Or you choose to walk in the right destiny
Destiny which is given by God
Anything you choose
It have their own consequece
Everything just need to believe with their heart
Sorrowforest, 5 a.m
“Jadi, kau mau lewat blackhole atau berjalan melintasi hutan?” tanya Niel saat ia dan Yui telah berada di perbatasan hutan. Coat hitam kelamnya bergerak pelan atas ulah angin. Mata hazelnya menatap Yui dengan lembut. Sebelah tangannya dengan gentle merangkul bahu Yui. Melindunginya agar tak jauh darinya.
“Emm, bagaimana kalau blackhole saja. Aku ingin segera sampai di Tosakyo city,” kata Yui. Kilau amethystnya telah kembali menghiasi bola matanya. Kilat rasa cemas yang menggelayuti hatinya terlukis di matanya. Membuat Niel bisa membacanya dengan jelas.
“Tenanglah. Aku jamin kalian tidak akan apa-apa. Yang lain akan menyusul nanti malam sebelum penyerangan terjadi,” kata Niel sambil mengusap-usap bahu Yui dengan lembut. Ia berusaha menenangkan Yui yang terlihat gelisah. Ia tak mau Yui terlalu berat memikirkan keluarga dan teman-temannya. Ia akan menggantikan tugas Yui sebagai Hunter kalau perlu asal Yui tidak terluka sedikitpun.
“Eh?” Yui menaikkan kedua alisnya. Ia memutar kepalanya ke samping. Ia melancarkan tatapan bingung pada Niel yang ada di sampingnya. “Apa maksudmu dengan ‘yang lain’? Memangnya ada yang ikut selain kamu?”
Niel tersenyum simpul. Senang rasanya bisa membuat Yui bingung seperti ini. Ia juga yakin kalau Yui akan terkejut begitu mendengar apa jawabannya. “Anza, Rima, Marion dan Rolfer.”
“A-apa?” seru Yui tak percaya. Ekspresi terkejut jelas terlihat di wajahnya. Ia tak menyangka kalau Niel akan mengajak teman-temannya untuk ikut membantunya. Ia tahu kalau semakin banyak yang membantu akan semakin bagus. Tapi apa kata teman-temannya-sesama manusia jika tahu ia berhasil membuat para vampir membantu mereka. Ah! Jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sekejab saat ia teringat akan ayahnya. Apa kata ayahnya jika ia kembali ke Tosakyo city dengan seorang vampir tampan yang merupakan Putra Mahkota kerajaan Vampir? Putra Mahkota yang terkenal akan kebenciannya pada manusia. Ia tak mau membayangkan betapa senangnya ayahnya. Ia justru takut kalau ayahnya akan berbuat hal konyol karena kecintaannya pada dunia vampir. Ia tak akan kaget jika ayahnya akan langsung menyembah Niel jika mereka bertemu nanti. Atau lebih gila lagi, ayahnya mungkin akan dengan sukarela menjamu Niel di rumah. Ia mendengus kesal saat membayangkan betapa memalukannya sikap ayahnya nanti. Sepertinya ia harus menjauhkan Niel dari jangkauan ayahnya. Kalau tidak, ia tidak akan punya muka untuk bertemu Niel lagi.
Niel yang terus mengamati perubahan raut wajah Yui menyadari kalau ada sesuatu yang sedang dipikirkan Yui. “Kenapa? Apakah salah kalau aku mengajak mereka? Apa kau keberatan?”
Yui tersentak kaget saat Niel angkat suara. Ia buru-buru menggeleng dengan cepat. Sungguh ia sangat menghargai bantuan yang diberikan oleh Niel. Bukannya ia keberatan tapi lebih kepada....takut.
“T-tidak, Niel-sama, eh.” Yui buru-buru menghentikan ucapannya saat Niel menatapnya tajam. Sepertinya ia baru saja melakukan kesalahan dengan menambahkan ‘sama’ pada akhir nama Niel.
“Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak memanggilku dengan kata itu, Yui,” kata Niel dengan nada dingin yang sukses membuat Yui ketakutan dalam sekejab.
“Ma-maaf, Niel. Aku tidak akan mengulanginya. Sungguh.” Yui berjengit menjauhi Niel tanpa ia sadari. Membuat Niel sadar kalau ia baru saja menakuti Yui.
“Ya, maafkan aku juga. Aku tak bermaksud membuatmu takut,” kata Niel sambil meremas bahu Yui yang ia rangkul. Ia menatap Yui yang sedang menunduk dengan menyesal.
“Ti-tidak, Niel.”
“Humm, jadi kenapa? Apa kau keberatan?” tanya Niel mengulangi pertanyaannya.
Yui menggeleng pelan. Ia mulai menyadari sesuatu. Niel akan terus bertanya jika ia tak segera menjawabnya dengan jelas. Ia menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Niel. “Aku sama sekali tidak merasa keberatan, justru aku sangat senang karena kalian mau membantuku. Tapi...”
Kalimat pertama yang dikatakan Yui mampu membuat senyum terlukis jelas di bibir Niel. “Tapi?”
“Emm, apa tidak apa-apa?” tanya Yui dengan nada ragu yang sangat kentara.
“Maksudmu?” tanya Niel yang tak mengerti maksud pertanyaan Yui.
Yui mengangkat wajahnya dan memutarnya hingga dapat menatap kedua iris hazel milik Niel. Wajahnya terasa panas karena teringat akan semua yang telah diberikan Niel padanya. Ia jadi ragu untuk mengatakannya. Namun ia tak tega melihat kebingungan membayang di wajah tampan Niel. “Emm, kalian membenci kami, manusia.”
Niel langsung mengerti arah pembicaraan Yui. Ia mengalihkan pandangannya dari kedua amethyst milik Yui yang telah kembali. Ia akui ia memang sangat membenci manusia. Ia tak mengerti kenapa vampir harus menjaga manusia dengan menjauh dari mereka. Dan lagi kenapa vampir harus menahan diri untuk tidak membunuh manusia. Baginya manusia hanya pemasok darah yang tak berguna. Ya, itu pendapatnya dulu, sebelum bertemu Yui yang sanggup mengubrak-abrik akalnya. Dari Yui ia tahu kalau manusia tak semuanya jahat. Ia tahu kalau manusia memang pantas dilindungi jika hati mereka sebersih hati Yui. Dan Yui adalah manusia yang sanggup menjinakkan hatinya. Satu-satunya yang mampu membuatnya gila dan terpikat sedemikian jauhnya. Ia tahu ia mencintai Yui. Ia menginginkan Yui ada di sampingnya. Ia tak akan mengingkari itu walaupun jelas terdengar aneh jika sang Putra Mahkota terpikat kepada ‘manusia biasa’.
“Hmm, kau benar.”
Jawaban Niel membuat Yui agak merinding. Ia tak tahu apa yang akan terjadi jika Niel marah padanya. Karena bagaimanapun juga ia telah menyinggung prinsip Niel, masalah pribadi Niel. Ia jadi menyesal telah mengatakan hal itu. Ia hanya takut. Bagaimana pun juga vampir yang telah menjadi temannya itu membenci manusia terutama hunter. Yui menundukkan wajahnya. Takut kalau Niel manatap tajam ke arahnya. Tatapan Niel yang setajam belati itu serasa mampu menembus hatinya.
“Itu dulu, sebelum aku mengenalmu.”
Yui langsung mendongakkan wajahnya dan menatap Niel lekat-lekat. Kalimat yang baru sekian detik meluncur dari mulut Niel mampu membuat jantungnya menggila. Perutnya serasa diaduk-aduk. Darahnya terus berdesir tak karuan hanya karena tatapan lembut penuh cinta yang diberikan Niel padanya detik itu juga.
“Kau membuatku sadar kalau kalian memang berharga. Terutama kau. Kau sangat berharga bagiku. Hanya kau yang mampu membuatku tergila-gila seperti ini, Yui. Aku akan menjagamu dari siapapun yang mau melukaimu. Aku akan pastikan tak ada baret sekecil apapun yang akan menghiasi tubuhmu. Kejadian kemarin adalah yang pertama dan terakhir kali aku membiarkanmu terluka. Kau tahu, aku mencintaimu.”
Deg!
Jantung Yui serasa berdetak kencang. Nyaris menghancurkan rongga dadanya. Nafasnya terasa sesak. Sekelibat bayangan menumbuk otaknya.
"Humm, aku juga mencintaimu, Yui. I am deeply in love with you."
“Kau baik-baik saja, Yui?” tanya Niel cemas saat melihat wajah Yui memucat.
Yui menggeleng pelan. Berusaha mengenyahkan kilat bayangan aneh yang membayang di otaknya. Ini kedua kalinya dalam hidupnya, ia teringat bayangan itu. Hanya sebuah siluet tanpa wajah yang mengucapkan kalimat cinta yang tak jelas ia dengar. Ia tak yakin apa itu. Ia hanya menganggapnya sebagai bunga tidur saja. “Ti-tidak, aku hanya kaget. A-aku hanya tak menyangka kau akan mengatakan itu.”
Niel tersenyum manis. Ia memeluk Yui dengan erat. Menenggelamkan wajah Yui di dadanya. Ia merasa telah sering melakukan hal itu. Ia terlalu terbiasa dengan keberadaan Yui seolah Yui memang ditakdirkan untuknya. Tubuhnya terus merespon dengan baik kehangatan yang ditawarkan tubuh Yui seolah ia terbiasa melakukannya. Lidahnya terasa benar saat mengucapkan kalimat cinta yang terasa fasih diucapkan bibirnya. Ia tak tahu kenapa dan apa jawabannya. Yang penting Yui ada dalam pelukannya. Itu saja sudah membuatnya tenang.
“Kalau kau mau aku akan mengatakannya setiap detik.”
“Eh? Ti-”
“Aku mencintaimu, Yuicathra Fukuzawa. Sangat mencintaimu.”
Kalimat penuh cinta yang terasa benar dan tepat di dalam relung indera pendengaran, indera pengecap dan kejauhan dalam memori yang tertidur.
§_zalathhamalfoy.blogspot.com_§
Hunter ‘ELF’ Gakuen
Yui melirik ke arah sampingnya dimana Niel berada. Ia sedikit ragu untuk mengajak Niel masuk ke dalam Hunter ‘ELF’ Gakuen. Bukan karena enggan, tapi ia belum menemukan jawaban jika...
“Yui!”
Brugh! Sebuah panggilan kencang yang diiringi pelukan erat menubruk tubuh Yui. Ia hampir kehilangan keseimbangan kalau saja sang putra mahkota tak menahan bahunya. Ia melirik Niel sambil tersenyum malu. Sebuah ucapan terima kasih ia ekspresikan lewat matanya.
“Aku merindukanmu, Yui. Kau lama sekali di sana. Apa yang-eh. Siapa dia?”
Ini dia yang ditakutkan Yui. Pertanyaan Shara yang selalu membuat mimpi buruk tersendiri baginya. Apa yang akan ia katakan pada temannya yang cerewet dan penuh rasa ingin tahu ini. Apa ia harus jujur mengenai Niel? Eh tapi bukannya ia tak memiliki hubungan apa-apa dengan Niel? Walaupun sudah jelas-
“Aku Niel, kekasih temanmu,” sahut Niel tanpa diduga oleh Yui. Niel dengan mudahnya mengatakan itu. Ia tersenyum simpul pada Shara. Walaupun senyum itu hanya menarik ujung bibirnya 1 milimeter saja. Namun tetap saja senyum itu sangat menawan kaum hawa. Didukung pula dengan aura penakluk vampirnya, tak heran jika senyum irit itu sudah mampu mempesona wanita manapun.
Sontak saja Yui langsung melotot. Ia menatap tajam ke arah Niel. ‘Apa-apaan katanya itu? A-apa maksudnya mengatakan hal aneh begitu? Eh, apa yang akan dikatakan Shara nanti? Aku tak bisa membayangkannya.’
Shara tersentak kaget saat mendengar jawaban laki-laki yang bersama Yui. Otak berkemampuan cukupnya mulai menerjemahkan apa yang baru saja diucapkan laki-laki yang ia tahu adalah vampir. Itu adalah jawaban mutlak mengingat dimana tujuan misi yang dijalankan Yui seminggu yang lalu. ‘Apa tadi kata laki-laki tampan yang mengintimidasi itu? Kekasih temanku. Kekasih? Semua tahu apa itu kekasih. A-apa benar dia kekasih Yui? Oh Tuhan, bagaimana mungkin Yui berpacaran dengan vampir. Walaupun itu bukan masalah besar. Tapi yang aneh, kok bisa Yui berpacaran dengannya. Sedangkan Yui saja tak pernah berpengalaman tentang ‘cinta’ apalagi soal pacaran. For God Sake, dia berhutang penjelasan padaku.’
“Yui, aku rasa kau berhutang penjelasan padaku,” kata Shara dengan ekspresi yang sulit ditebak. Seringai kecil membayang di bibirnya. Hal itu tentu memberikan ancaman tak kasat mata pada Yui.
“Eh? Sh-shara, a-aku ra-sa itu nanti saja. Se-sekarang kami harus menemui Udagaki sensei dulu,” kata Yui dengan gugup. Ia bisa mengartikan seringai yang dikembangkan di bibir Shara. Dan itu membawa kemungkinan buruk baginya. Sebaiknya ia menghindar sebelum terjadi sesuatu yang tak pernah ia duga.
“Ah! Yui! Baiklah, tapi kau harus segera menemuiku setelah bertemu sensei. Ku tunggu di asrama,” kata Shara yang nampak tak terima dengan jawaban Yui yang menunjukkan kalau ia sedang menghindar. Walaupun ia cukup yakin jawaban Yui memang bukan kebohongan tapi tetap saja ia merasa kalau Yui berusaha menghindar dari paksaannya untuk cerita.
Yui hanya membalasnya dengan senyum. Ia sudah akan berbalik pergi menuju ruang Udagaki sensei. Namun ia menghentikan langkahnya dan segera berputar menghadap teman baiknya itu. Ia seolah diingatkan akan sesuatu.
“Shara, kau sudah sembuh?” tanyanya cepat dengan ekspresi cemas yang sangat kentara.
Shara tersentak kaget sejenak sebelum memasang wajah innoncentnya. Ia menggeleng pelan. “Ya, aku sudah sehat. Terima kasih sudah menolongku, Yui. Kalau kau tak segera menembaknya, mungkin aku sudah mati.”
Pletak! Yui memukul puncak kepala Shara dengan tangannya. Ia menatap tajam ke arah Shara yang telah mengucapkan kata yang ia benci. Mati. Ia tak akan membiarkan temannya mati begitu saja. Ia belum gila. Dan ia tak suka siapa pun mengatakan ‘mati’ sesukanya. Termasuk Shara.
“Jaga mulutmu, bodoh. Aku akan selalu melindungimu. Dan aku pasti akan menemukan siapa yang telah melukaimu,” kata Yui dengan nada serius. Tanpa berbalik lagi, ia segera menarik tangan Niel dan menggiringnya ke bangunan Departement of Hunter Spy.
Niel hanya mengikuti langkah Yui dengan tenang. Ia melirik tangannya yang ditarik Yui. Ia yakin Yui tak sadar akan apa yang ia lakukan. Menggandeng tangannya dengan erat. Itu jelas bukan kebiasaan Yui. Selama ini, yang ia tahu Yui adalah gadis pemberani yang baik, setia kawan dan sangat penyayang tapi jelas bukan tipe agresif. Yui-nya terkesan malu-malu apalagi jika ada di depannya. Gadis itu selalu merona setiap saat. Hampir membuat Niel tak mampu menahan rasa hausnya setiap kali melihat rona merah di wajah Yui. Ia sedikit terpikirkan oleh pembicaraan Yui dengan temannya tadi. Entah siapa namanya, ia tak tahu. Ia bahkan tidak dikenalkan pada teman Yui itu. Yang pasti ia bisa membaca kalau Yui sangat menyayangi temannya itu.
“Jadi kita mau kemana?” tanya Niel untuk memecah keheningan.
Yui tersentak kaget. Ia lupa. Ia terlalu bersemangat ingin menemui sensei-nya sampai melupakan keberadaan sang putra mahkota. Ia buru-buru menunjuk gedung Department of Hunter Spy dengan tangan kanannya. Deg! Langkahnya langsung terhenti tiba-tiba. Ia melotot menatap tangannya yang sedang bertaut dengan tangan asing. Ia mengikuti tangan asing itu sampai ke tubuh pemiliknya. Wajahnya langsung merona merah begitu menyadari siapa yang ia gandeng. Niel!
“Eh, i-tu...”
Niel tertawa kecil. Ia melepas genggaman tangan Yui dan memutar tubuh Yui sampai menghadapnya. Ia meneliti tiap detail cipataan Tuhan yang membingkai wajah Yui. Ia terpesona dengan keindahan seorang manusia bernama Yuicathra Fukuzawa yang ada di hadapannya itu. “Apa kau marah karena mengatakan itu pada temanmu?”
Yui mendongak seketika. Ia buru-buru menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak, eh, itu a-ku, eh, sebenarnya itu, eh, aku.....”
“Kau bingung menjelaskan pada temanmu itu?” tanya Niel yang seolah bisa membaca kebingungan Yui.
“Eh? Yah, itu, yah begitulah. Dia itu cerewet sekali, Niel. Dia pasti akan bertanya dengan sangat detail. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya,” urai Yui dengan jujur. Rasa kesal menghiasi wajahnya.
“Tenang saja. Aku akan membantumu berbicara pada temanmu-“
“Namanya Shara, Shara Kojichiru. Dia adalah teman baikku di sini,” potong Yui.
Niel tersenyum kecil. “Ya, Shara. Terlihat sekali kalau kau sangat menyayanginya.”
“Sangat. Karena dia, aku hampir membatalkan misiku ke Oyharo city.”
“Maksudmu?”
“Dia diserang vampir sebelum jam 12 tepat malam sebelum aku berangkat. Dia hampir saja em mati.”
Wajah Niel mengeras begitu melihat ekspresi sedih di wajah Yui. “Siapa pelakunya? Apa Rolfer atau Rima?”
“Bukan! Darah Shara bukan O, ada vampir lain. Aku berhasil menembaknya di tangan, tapi aku kehilangan jejaknya. Dia terlanjur kabur. Aku kesal sekali. Aku sangat ingin membunuhnya.”
“Sudahlah, kau tak perlu memikirkannya lagi. Bukannya kita harus segera pergi ke Department of Hunter Spy?”
Yui terhenyak kaget. Ya, dia terlalu asyik bercerita sampai lupa. “Ah iya. Aku hampir lupa. Ayo kita ke sana.”
Entah sadar atau tidak, Yui kembali menggandeng tangan Niel. Membuat sang putra mahkota tersenyum senang.
‘Aku sangat menyukai aliran hangat yang menelusup melalui jemarimu. Aku sangat menyukai denyut nadi yang bergetar kencang di pergelangan tanganmu. Aku sangat menyukai semua yang ada padamu. Seolah kau adalah bagian hatiku yang hilang. Siapa kau sebenarnya?’
§_zalathhamalfoy.blogspot.com_§
Yui melirik Niel berkali-kali saat keduanya berjalan beriringan menuju rumah minimalis di pinggiran kota Tosakyo di Guinave Village. Tepatnya rumah keluarga Fukuzawa. Ia tak punya pilihan selain mengajak Niel ke rumahnya. Ia tak mungkin menyuruh Niel istirahat di kantor Hunter Spy yang sedang kacau mempersiapkan peperangan nanti malam. Ia langsung pulang setelah bertemu Mora Udagaki. Yang membuatnya agak terkejut adalah sambutan sensei-nya tadi. Ia langsung memeluknya dengan erat, dan nyaris membuatnya sesak nafas. Pelukan mematikan itu terlepas saat Niel menariknya menjauh. Ia benar-benar bersyukur pada aura Niel yang sudah mampu membuat senseinya diam tak berkutik. Walaupun hanya sesaat karena senseinya itu kembali heboh dan meluapkan kegembiraannya atas kedatangan Putra Mahkota kerajaan Vampir. Yang ia syukuri juga adalah tanggapan datar dari Niel yang membuat senseinya diam lagi. Terakhir ia bersyukur bisa keluar ruangan senseinya dengan selamat. Dan sekarang ia benar-benar bingung bagaimana bertemu dengan ayahnya tanpa harus ada kekonyolan ayahnya akan keberadaan Niel.
“Ada apa, Yui? Kau terlihat gelisah,” kata Niel.
Yui melirik Niel. Ia tak mampu menatap mata hazel Niel yang selalu memancarkan cinta jika ia melihatnya. Itu membuat kupu-kupu terasa memenuhi perutnya. Desiran aneh di dadanya yang justru membawa perasaan senang tersendiri baginya.
“Umm, aku takut ayah akan heboh menyambutmu seperti sensei. Itu memalukan sekali,” kata Yui cepat. Ia buru-buru berjalan untuk membuka pagar rumahnya. Ia menoleh ke belakang untuk menyuruh Niel masuk tapi sosok pangerannya itu lenyap tak berbekas.
“Niel?”
“Hmm. Aku disini.”
Yui segera memutar kepalanya ke depan. Niel sudah berdiri tegak di depan pintu rumahnya. Mata amethyst Yui langsung membulat seketika. “Hei, kau mau apa Niel?”
Kepanikan melanda Yui. Ia buru-buru berlari ke arah pintu depan rumahnya. Sekarang ia kesal kenapa jarak pagar dengan pintu depan sangat jauh. Jantungnya berpacu cepat saat melihat Niel sudah mengetuk pintu rumahnya. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ceklek! Secara naluriah langkah Yui terhenti. Mata amethystnya yang mempesona hanya terbelalak kaget juga cemas. Iris violetnya menatap lurus ke arah pintu, mengamati tiap detail gerakan yang akan terjadi. Otaknya kosong dan tak mampu berfikir atau pun membayangkan apa yang akan terjadi.
Pintu terayun terbuka. Sesosok pria setengah baya menyeruak dari dalam rumah. Tangan kanannya memegang cangkir penuh kopi yang masih menyembulkan uap panas. Iris abu-abunya membulat sempurna. Tanpa sadar, ia membiarkan mulutnya terbuka lebar. Kekagetan dan rasa tak percaya tercetak jelas di wajahnya. Sementara Niel yang berdiri tepat di depannya hanya menatap dengan tenang ke arahnya. 1 detik 2 detik 3 detik. Prang! Cangkir yang dipegangnya terjatuh dengan keras menghantam lantai.
“Ya-yang Mu-lia Pu-put-putra Mah-kota?” kata Riku Fukuzawa dengan tergagap-gagap. Shock tingkat akut melandanya dengan deras. Ia tak pernah membayangkan akan bertemu dengan seorang Putra Mahkota Kerajaan Vampir yang terkenal di kalangan vampir maupun manusia. Apalagi ia tak perlu susah-susah menyusup ke Oyharo city karena Sang Putra Mahkota ada di depan rumahnya, baru saja mengetuk pintu. Ia sampai kehabisan kata-kata karena shock dan senang. Tapi untuk apa Putra Mahkota ada di depan rumahnya?
“Anda Fukuzawa-san?” tanya Niel dengan nada datar yang mengintimidasi namun masih bisa dirasakan keramahannya.
Riku tersentak kaget. Ini lebih aneh lagi. Darimana sang Putra Mahkota tahu namanya? Hell! Pasti sudah terjadi sesuatu.
“Ah, eh. Ehmm, ya, sa-saya Fukuzawa, Riku Fu-fukuzawa,” jawab Riku dengan gugup setengah mati.
Niel hanya tersenyum kecil dan melirik ke belakangnya. Jauh di sana ada Yui yang berdiri terpaku di tanahnya berpijak. Gadis itu tak mampu berkata-kata. Nampaknya gadis itu sama shocknya dengan ayahnya. Itu membuat Niel senang bukan main. Rasanya sangat menyenangkan saat bisa melihat wajah kesal, shock dan ketakutan khas milik Yui. Ia tak tahu apa yang membuat semuanya berbeda, namun tetap saja ia suka melihat semua ekspresi gadisnya. Apapun itu.
“Ehm, senang bertemu dengan anda, Fukuzawa-san. Anda tahu, saya menyukai anak anda.”
Jder! Dua jantung baru saja meledak di tempatnya. Raut shock dan kaget tingkat akut melanda mereka. Yui yang tak menyangka akan kejujuran Niel yang baginya sangat gila dan jauh dari image Niel selama ia kenal. Riku yang kaget karena perkataan Niel yang seolah sedang melamar putrinya. Demi Tuhan, ia memang menyukai Sang Putra Mahkota. Ia sangat mengagumi sosoknya, namun ia tak mau kehilangan putri kesayangannya secepat ini. Ia tak akan rela melepas putrinya yang belum genap 17 tahun.
“Niel!” teriak Yui keras. Matanya berkilat aneh. Antara kesal, malu dan marah. Ia segera berlari mendekati Niel sebelum vampir itu banyak bicara.
Riku hanya bisa menatap keduanya dengan tatapan yang masih shock dan tak percaya. Bagaimana mungkin putrinya bisa dekat dengan sang Putra Mahkota? “Yui?”
Yui tersadar dari acara saling tatap dengan Niel. Ia segera menatap ayahnya dengan tatapan cemas. Ia tak yakin ayahnya akan baik-baik saja setelah mendengar kalimat aneh yang diucapkan oleh Niel. “Ah, ayah. Jangan per-“
“Ayah tidak menyangka kau sudah besar. Tapi jangan menikah dalam waktu dekat, ayah belum siap. Beri waktu pada ayah untuk mengenal Yang Mulia. Ah! Bagaimana bisa putri ayah ini menjadi kekasih Yang Mulia Putra Mahkota,” urai Riku sebelum Yui selesai bicara.
Yui dan Niel terbelalak kaget. Niel tak menyangka ‘calon’ ayah mertuanya akan menyambutnya dengan hangat tanpa memikirkan posisinya sebagai vampir. Ia tak tahu kalau masih ada manusia-manusia baik selain Yui. Nampaknya ia harus mengubah persepsinya mengenai manusia selama ini. Ada banyak manusia baik di Tosakyo city. Sementara Yui benar-benar kehilangan kata-kata. Ia benar mengenai firasatnya bahwa ayahnya akan heboh. Itu pun karena andil dari Niel yang mengatakan hal aneh. Tapi yang tak ia duga adalah kalimat persetujuan tak kasat mata yang ditunjukkan ayahnya. Bagaimana mungkin ayahnya setuju hanya karena Niel itu Putra Mahkota? Apa dia tak keberatan dengan status Niel sebagai vampir yang pasti akan membuatnya menjadi vampir juga. Ah! Membayangkannya saja sudah membuat Yui merinding.
“Ah, Yang Mulia. Bagaimana perjalanan anda? Anda pasti lelah? Silakan masuk dan istirahat di dalam,” kata Riku yang nampaknya sudah sembuh dari rasa terkejutnya hingga menemukan kembali jiwa kekagumannya pada sang vampir.
Niel nampaknya menyadari perubahan aneh itu. Ia melirik Yui lama sampai gadis itu sadar akan maksud tatapannya. Tatapan yang seolah berkata ‘Apa ayahmu baik-baik saja? Apa tidak apa-apa?’
Yui yang menyadari maksud tatapan Niel hanya mampu mendengus kesal. Dugaannya benar bukan? Ayahnya terlalu memuja sang vampir. Tapi tak apa asal tidak ada pengusiran saja. Yui segera tersenyum pada Niel. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban.
Niel ikut tersenyum dan beralih pada Riku yang sudah sibuk menunjuk-nunjuk sofa di ruang tamu. “Paman tidak usah repot-repot. Saya tidak terlalu lelah. Dan sebaiknya paman memanggil saya dengan Niel saja.”
Riku segera menjawab dengan gelengan kencang. “Tidak, Yang Mulia. Bagaimana mungkin saya memanggil nama anda begitu saja.”
“Tidak apa-apa. Saya tidak suka dengan panggilan Yang Mulia seperti itu. Bukankah saya akan segera menjadi menantu anda?” Kalimat terakhir ini ditujukan untuk menggoda Yui.
“Niel!” seru Yui dengan wajah memerah.
§_zalathhamalfoy.blogspot.com_§
Niel duduk dengan tenang di atas sebuah dahan pohon di dekat rumah Yui. Hanya menghitung waktu untuk dimulainya penyerangan. Seharian dia sudah mengobrol dengan ayah Yui, yang baru ia tahu bahwa Riku adalah ayah angkat Yui. Ia tak pernah tahu karena Yui tak pernah cerita. Ia juga tak pernah bertanya mengenai keluarga Yui. Baginya cukup dengan adanya Yui sudah tak menjadi masalah.
Srek! Niel berubah siaga saat mendengar suara aneh. Indera penciumannya mengenali aroma ini. Seringai licik membayangi wajahnya. “Aku tahu kalian sudah datang. Tidak usah sembunyi.”
Bruk! Empat vampir dengan cepat melompat turun dari atas pohon. Mereka, dua perempuan dan dua laki-laki berdiri di bawah pohon dimana Niel duduk. Sedetik kemudian Niel ikut turun dari pohon dan bergabung bersama mereka.
“Sudah ku bilang kan, jangan berisik. Kita jadi ketahuan,” omel Rima pada ketiga temannya atau lebih tepatnya kepada Marion yang sibuk memutar-mutarkan senjata apinya.
Merasa ditatap tajam oleh perempuan berambut coklat itu, Marion menoleh. Ia balas menatap sengit pada Rima. Ia tak merasa membuat keributan apapun. Dengan ada atau tidaknya keributan itu, sudah pasti Niel tahu keberadaan mereka hanya dengan mencium baunya. Jadi ini tentu bukan salahnya bukan? “Kenapa kau menatapku begitu, Rima?”
“Kau ini terlalu polos atau bodoh sih. Tentunya aku sedang kesal padamu,” kata Rima. Ia tak suka melihat ekspresi datar yang ditunjukkan temannya itu.
“Hah? Kenapa kau kesal padaku? Seingatku yang merusak lukisanmu itu Rolfer bukan aku,” kata Marion tetap dengan wajah innoncentnya.
Rima sudah akan menanggapi tapi Anza buru-buru menahannya. “Sudah, Rima. Jangan pedulikan vampir aneh itu. Sebaiknya kita temui Yui. Aku sudah merindukannya.”
“Ah, iya. Kau benar. Ayo!”
Tanpa banyak bicara, Anza dan Rima segera berlari mendekati rumah Yui yang tak jauh dari tempat dimana mereka berada. Rolfer hanya mendengus pelan. Mengejek tingkah adiknya dan adik temannya yang terlalu berlebihan. Ia mengalihkan pandangannya pada Niel.
“Jadi?” tanya Rolfer dengan sengaja menggantungkannya.
“Hm.” Niel hanya bergumam pelan. Ia menatap langit yang mulai menggelap. “Sebentar lagi mereka datang. Pihak manusia sudah mulai berjaga di posisinya.”
“Begitu ya. Aku masih tak habis pikir kenapa Mud-Blood mengincar manusia,” kata Rolfer. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana bahannya. Ia melirik Niel sekilas sebelum ikut melihat ke langit. Bulan separuh yang mulai menampakkan wajahnya.
“Untuk pasukan yang akan mengkudeta kita,” kata Marion sebelum Niel sempat menanggapi. “Kau tentu tahu bagaimana kebencian Mud-Blood pada kita. Mereka begitu iri dengan darah vampir.”
“Mereka memang iri dengan itu. Aku sempat membaca tentang penyerangan mereka pada klan Kurochiki hanya karena darah. Mereka itu hina sekali,” sahut Rolfer.
Marion terhenyak sejenak. Ia melirik Niel yang nampak masih tenang. ‘Apa dia tidak merasa ada sesuatu jika disebut tentang penyerangan itu?’
“Sudah waktunya. Sebaiknya kita menyusul Rima dan Anza ke rumah Yui,” kata Niel tiba-tiba. Ia berjalan dengan tenang tanpa tergesa-gesa sedikitpun. Dalam pikirannya ada yang mengganjal. Ia merasa ada yang hilang dalam ingatan masa kecilnya. Ia tak tahu apa itu tapi ia yakin itu kenangan yang berarti.
“Jadi apa rencanamu, Niel?” tanya Rolfer tiba-tiba.
Niel meliriknya sekilas sebelum kembali berjalan. “Aku tidak tahu. Aku hanya punya satu tujuan untuk datang ke tempat ini.”
Rolfer menaikkan alisnya tak mengerti. “Tujuan apa?”
“Melindungi Yui.”
Marion terhenyak kaget. Ia langsung merubah ekspresinya dengan cepat sebelum ada yang menyadarinya. ‘Aku tidak tahu sebesar apa cinta kalian di masa lalu. Tapi mendengar kalimat itu membuatku kagum. Sepertinya cinta kalian dalam sekali. Aku yakin kau dan Yui akan baik-baik saja.’
Rolfer tertawa puas mendengarnya. “Yak! Pangeran kita sudah menemukan sang putri. Aku jadi iri. Hahaha!”
Niel tak terganggu dengan tawa dan ejekan dari Rolfer. Ia merasa tak perlu menanggapi hal itu. Ia melirik Marion yang agak aneh. “Kenapa Marion? Kau terlihat gelisah?”
“Hah?” Marion nampak kaget karena dilempar pertanyaan oleh Niel. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum tertawa kecil. “Tidak. Aku hanya tidak bersemangat jika ada zombie yang ikut menyerang. Mereka itu makhluk bau. Aku tidak suka.”
Niel hanya tersenyum geli sekilas. “Kau kalah dari Yui kalau begitu.”
Sebelum Marion sempat membuat pembelaan, Rolfer sudah menyambarnya terlebih dulu. “Kau ini sok higienis sekali. Kau kira aku tak tahu jika kamarmu itu jauh lebih bau daripada bau zombie.”
“Kau! Jangan mengejekku jika kau sendiri juga begitu.”
Dan dimulailah adu mulut antara dua sahabat itu. Niel tak berminat melerai sama sekali. Ia justru asyik memandangi tingkah Yui yang sedang berlatih pedang dengan Rima di pekarangan rumah keluarga Fukuzawa. Dengan cepat ia bergerak mendekati Yui dan langsung menahan tangannya yang akan menyerang Rima.
“Kakak!” Anza berteriak keras saat melihat Yui yang dipeluk kakaknya sembarangan.
“Niel!” Ini teriakan tak terima dari Rima yang langsung memasang wajah kesal.
“Ahhh!” Ini seruan kaget dari Yui yang tak menyadari kehadiran Niel.
“Kau mengganggu kami!” seru Rima dan Anza bersamaan dengan volume keras.
Niel hanya menatap mereka dengan datar. Tangannya merebut paksa pedang di tangan Yui. Ia menoleh pada Yui yang nampaknya juga kesal padanya.
“Kau mengganggu, Niel. Kami latihan untuk persiapan nanti malam,” kata Yui dengan nada kesal namun tak sekeras Anza maupun Rima.
“Sudah malam. Sebaiknya kau makan malam dulu. Kau tak malu jika perutmu berbunyi saat melawan vampir dan zombie?” kata Niel dengan nada lembut yang nyaris membuat Anza dan Rima muntah.
“Eh, i-ya,” gumam Yui dengan gugup. Rona merah telah membayangi wajahnya. Ia buru-buru menarik diri dari tubuh Niel. Menghindari lengan kokoh yang masih merengkuhnya dengan posesif beberapa saat lalu.
“Hei, aku juga lapar. Apa kau keberatan kalau aku meminta darahmu sedikit saja?” tanya Niel dengan nada lembut namun terdengar sedikit ragu. Ia memandang Yui dengan tatapan aneh. Seolah takut kalau kalimat yang ia ucapkan akan membuat Yui marah.
“Eh?” Yui mengerjapkan matanya sejenak. Berusaha keras memastikan kalau ia tak salah dengar. Ia menatap Niel dengan tatapan bingung. Ia tak menyangka kalau Niel akan meminta darahnya dengan kalimat jujur seperti itu. Ia shock namun senyum malah terukir di bibir merahnya. Rona merah semakin matang menghiasi kedua belah pipinya. “Ya, tentu.”
Niel tersenyum mendengarnya. Dengan gentle ia menggiring Yui masuk ke dalam rumah Yui. Ini sedikit membuatnya gugup. Ia jarang minum darah langsung dari sumbernya. Dan setelah ia ingat-ingat, Yui adalah satu-satunya manusia yang ia minum darahnya secara langsung. Biasanya ia minum darah dari bank darah yang ada di Oyharo city. Bank khusus yang menangani stock darah para anggota kerajaan. “Terima kasih.”
“Dasar! Bilang saja kakak lapar!” omel Anza yang mendengar semua perkataan Niel. Ia sungguh tak menyangka kalau kakaknya akan segombal itu. Setelah sekian lama tak melihat kegombalan kakaknya, ia baru sadar betapa besar pengaruh Yui bagi kakaknya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan melindungi Yui dan selalu memastikan keselamatan Yui demi kakaknya, senyum dan kehangatan kakaknya yang telah lama padam.
“Kakakmu semakin bermulut manis. Aku jadi heran melihatnya seperti itu. Pangeran untouchable itu sudah berubah jadi player,” tambah Rima sambil geleng-geleng kepala melihat Niel menyeret Yui menuju rumah Yui.
“Kau benar Rima. Nampaknya pangeran kita sudah takluk pada Yui. Gadis itu adalah gadis hebat yang bisa menaklukkan pangeran untouchable kita. Beda dengan si gila Yamaichi itu,” sahut Rolfer demi menyambung topik yang diangkat Rima dan Anza.
“Jangan bandingkan Yui dengan gadis gila itu!” seru Anza dan Rima bersamaan.
“Eh? Kompak sekali kalian ini.”
Mereka terus berdebat tentang Yui dan Niel. Sementara Marion sedikit tersisihkan dari pembicaraan itu. Ingatannya terus melayang pada tugas rahasia yang diberikan padanya.
‘Paman, aku tahu kau mempercayaiku. Tapi ini sepertinya sulit. Bagaimana aku bisa menemukan ‘dia’ di antara ratusan vampir yang akan menyerang tempat ini?’
§_zalathhamalfoy.blogspot.com_§
Aula utama Kerajaan Vampir nampak lengang. Kekosongan menguasai penuh atas ruangan besar ini. Angin semilir pun dengan mudah dapat didengar pergerakannya. Tirai-tirai kain sutra yang berfungsi sebagai gorden yang menutupi jendela kaca besar melambai-lambai anggun. Sesekali membiarkan butiran salju kecil menyelinap masuk ke dalam ruangan. Di sana, di tengah ruangan dimana tempat Raja seharusnya berada, sosok itu masih duduk dengan tenang. Wajah bijaksananya terpengkur menatap kosong ke arah pintu aula. Seolah sengaja menunggu kedatangan seseorang.
Kriett! Pintu aula terbuka dengan pelan. Namun tetap saja suaranya memenuhi tiap sudut ruangan kosong itu. Sosok yang semula duduk di singgasananya langsung berdiri tegak menyambut kedatangan orang yang ia tunggu.
“Ryuta, bagaimana keadaanmu?” tanya Aiden dengan cemas. Ia sudah merasa luar biasa cemas sejak mendengar penyerangan yang dilakukan Ryuta ke gua An.
Ryuta yang masih berjalan hanya tersenyum simpul. “Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit kurang tidur.”
Aiden segera duduk kembali setelah Ryuta duduk di sampingnya. Ia merubah ekspresi cemasnya dengan ekspresi serius. “Jadi apa yang akan kau lakukan? Kau sudah tahu semua bukan?”
Ryuta nampak bingung. Ia menarik nafas panjang berkali-kali. Tekanan kuat di dalam hatinya membuatnya sedikit tak nyaman. “Aku tahu dia tidak bersalah. Dia melakukan itu demi adiknya. Aku sudah menyuruh Marion mencari adiknya atau dia saat perang. Aku yakin mereka ada di sana. Sudah cukup aku mengorbankan pengawal setiaku.”
Seolah mengerti apa yang dirasakan Ryuta, Aiden menepuk pundak temannya itu dengan lembut. “Aku tahu bagaimana perasaanmu. Oya, apa perlu aku menempatkan mata-mata di kediaman ‘nya’?”
Ryuta menggeleng pelan. “Tidak perlu. Itu akan membuatnya curiga. Sebentar lagi sihirku akan memudar. Tinggal menunggu waktu saat semua orang tahu apa yang terjadi pada klan Kurochiki sebenarnya pada malam itu.”
“Ah, 13 hari lagi bukan? Aku tak menyangka hari itu akan datang sebentar lagi. Aku sedikit kecewa pada keputusan Athrun, tapi aku juga lega. Keirian itu tak lagi sebesar dulu. Kita juga memiliki alasan kuat untuk menghukum mereka.”
Ryuta tersenyum miris. Perkataan Aiden memaksa memorinya terulang saat kejadian berdarah itu terjadi. “Aku sudah mengerti apa yang diinginkan kakakku. Hanya saja aku merasa kalau aku terlalu kejam pada Niel. Dia berhak tahu semuanya tapi aku menyembunyikan ini semua darinya. Justru Anza dan Marion yang harus menahan diri untuk tidak menceritakan ini pada Niel.”
Pandangan Aiden ikut meredup. Ia menerawang saat dimana ia dengan teganya membohongi anaknya tentang calon istrinya. “Anak itu sudah besar sekarang. Setelah kejadian itu sifatnya berubah drastis seolah ia kehilangan hatinya. Aku tidak tega melihatnya sesaat sebelum kau menghapus eksistensi keponakanmu di dalam sejarah. Dia begitu rapuh dan tak bersemanagt untuk hidup.”
Ryuta tersenyum simpul. Ia balik menepuk pundak teman baik kakaknya dulu. “Tenang saja. Putramu yang ceria dan mempesona itu sudah kembali. Jiwa penakluknya sebagai vampir sudah kembali. Berterimakasihlah pada keponakanku. Meski dia masih belum berperan menjadi keponakanku.”
Aiden nampak kaget akan kalimat panjang yang diutarakan Ryuta. Ia menatapnya lama seolah bertanya mengenai apa maksud dari deretan kalimat yang membuatnya sedikit bingung. “Keponakan? Yui? Apa yang terjadi di antara mereka? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku? Apa yang terjadi, Ryuta?”
“Itu rahasia mereka, Aiden. Tenanglah jangan cemas begitu. Haha.” Ryuta hanya tertawa kecil tanpa berniat menjawab. Ia senang melihat temannya itu bingung dan nampak cemas yang berlebihan.
“Jangan bilang kalau-“
“Ah, Aiden. Aku mencarimu tadi. Ternyata kau di sini. Ah, hai Ryuta,” cetus Lacura yang tiba-tiba datang. Ia langsung memeluk Ryuta dengan pelukan sahabat.
“Ah, hai Lacura. Lama tak bertemu. Bagaimana kabarmu?”
“Hei, jangan mengalihkan pembicaraan, Ryuta. Cepat bilang paadaku apa yang telah terjadi di antara Niel dan Yui yang tak ku ketahui. Dan apa maksudmu dengan pernyataan kalau anakku yang ceria sudah kembali?,” desak Aiden yang nampak sangat penasaran. Bukan. Ia tak marah. Ia justru senang tapi tetap saja rasa penasaran menguasai penuh hatinya.
“Eh, apa yang kalian bicarakan?” Lacura nampak mencoba membaca situasi. “Ah, aku melihat putra kita membawa gadis ke kamarnya. Apa dia benar-benar Yui? Niel sangat cemas waktu itu.”
“Apa? Kenapa kau tidak cerita?”
“Memangnya kenapa?”
“Ah, jika aku tahu aku akan menjadikannya bahan ancaman agar Niel patuh padaku.”
§_zalathhamalfoy.blogspot.com_§
Sorrowforest
“Shara, apa kau yakin kalau Yui sudah kembali?” tanya Sean lagi.
Shara melotot pada kekasih yang baru beberapa hari jadian dengannya. Ia sudah bosan menjawab pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya. Seolah ia berkata bohong sehingga harus terus ditanyai dengan pertanyaan yang sama. “Sudah ku bilang kan berkali-kali kalau Yui sudah pulang. Lagipula misinya sudah selesai. Kenapa kau selalu bertanya dengan pertanyaan yang sama. Apa kau tak percaya padaku?”
Buru-buru Sean menggeleng-gelengkan kepalanya cepat-cepat. Ia tak mau membuat kekasihnya itu marah. Pasti akan sangat kacau jika itu terjadi. Shara adalah tipe perempuan yang cerewet dan keras kepala. Tak akan habis jika berdebat dengannya. “Ti-dak, bu-bukan begitu. Hanya saja aku belum melihatnya di sini sejak tadi. Padahal kita sudah berkumpul di sini sejak tadi. Sebentar lagi juga sudah jam 12 malam.”
Shara terdiam sejenak untuk mencerna apa yang dikatakan Sean. Ia harus mengakui kalau yang dikatakan Sean memang benar. Kemana Yui? Bukankah seharusnya ia ada di sini untuk membantu pertahanan? Eh? Seolah baru tersadar dari alam bawah sadarnya. Ia teringat sesuatu. “Ah, mungkin Yui sedang sibuk dengan kekasihnya!”
Kalimat yang baru saja diucapkan Yui sontak membuat beberapa orang melihat ke arahnya dengan penuh minat.
“Eh? Sejak kapan Yui punya kekasih? Mana ada yang mau dengan gadis cerewet dan sok tahu itu!” Kalimat tanya ini datang dari Sean secara reflek karena ia tahu betul kalau Yui belum mempunyai kekasih. Setahunya juniornya itu sedikit tertarik pada Rave. Mungkin bukan tertarik tapi kagum.
“Benarkah? Siapa kekasih Yui?” Kalimat ini keluar dari mulut Rave yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan antara Sean dan Shara. Haruskah ia kecewa? Ya, karena ia mulai tertarik pada Yui dan baru menyadari kalau ia menyukai Yui saat gadis itu sudah tak ada di dekatnya selama misi.
“Siapa kekasihnya, Shara? Aku tak pernah dengar ia punya kekasih.”
“Tampan tidak? Kan sayang kalau gadis secantik Yui, kekasihnya jelek.”
“Hah? Mana mungkin gadis ingusan itu punya pacar?”
“Eh?” Shara mengerjapkan matanya karena kaget dengan reaksi orang-orang di sekitarnya. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Sepertinya ia sadar telah melakukan sesuatu yang salah. “Eh, i-tu, ti-ah. Ba-gaimana ya menjelaskannya, aku tidak yakin sih.”
“Shara!”
Deg! Jantung Shara serasa dihantam palu saat mendengar namanya dipanggil dengan suara yang ia kenal dengan pasti. ‘Tidak! Aku bisa dibunuh Yui karena telah membocorkan hal ini.’
Perhatian yang awalnya diberikan untuk Shara kini beralih kepada seorang gadis berambut panjang yang berjalan mendekat. Rambutnya terikat tinggi dan rapi. Ia mengenakan seragam hunternya dengan lengkap. Tangannya menenteng pedang putih yang terlihat indah. Di belakangnya ada 2 gadis dan 3 pria yang berjalan beriringan. Mereka semua mengenakan mantel panjang sehitam malam. Kecantikan dan ketampanan abadi terukir pasti di wajah mereka. Membuat semua yang melihat mereka terpesona mutlak. Itu tidak mengherankan jika mengingat siapa mereka. Membuat orang lain takhluk dan terpesona adalah keahlian mereka.
“Fukuzawa!” seru salah seorang gadis yang nampak tak senang dengan kedatangan Yui. Rambut blondenya membuat silau siapapun yang melihatnya. Mata beriris hijau miliknya mendelik tak suka pada Yui, gadis yang ia panggil dengan Fukuzawa. Ia mendekat pada Rave dan langsung memeluk lengannya. Seolah ia takut jika kedatangan Yui akan merebut Rave, pria yang ia cintai dengan sepenuh hidupnya. Ia sama sekali mengabaikan sosok-sosok tampan yang jelas-jelas ada di sekitar Yui. Seolah semua perhatiannya hanya untuk Rave. Haruskah Rave senang dengan itu?
Yui menoleh ke arah Kanna Matjishi dengan tatapan datar. Ia memang tak suka pada Kanna karena sikapnya yang selalu memusuhinya juga mengolok-olok ayahnya. Ia melihat gadis berambut blonde itu sedang mengapit lengan Rave. Yang aneh ia tak merasa kesal sama sekali. Dulu ia pasti akan kesal sendiri karena sosok yang ia anggap panutan dan figur kakak selain Sean malah berdekatan dengan gadis yang terganggu jiwanya seperti Kanna. Ia justru merasa biasa saja. Apakah karena perhatiannya sudah teralih?
“Senpai!” Sapaan Yui justru untuk Sean dan Rave yang berdiri tak jauh dari Shara. Ia mengabaikan keberadaan Kanna yang selalu membuatnya teringat pada kejadian yang nyaris membuatnya menembak kepala Kanna. Ia menambahkan lambaian tangan pada keduanya sekaligus Shara.
Sean hanya membalas lambaian tangan Yui. Ia melihat ke arah belakang Yui. Menilai dan mengira-ngira siapa yang menjadi kekasih Yui. Entah kenapa tebakannya mengarah ke arah pria tampan yang memasang wajah stoic super dingin yang terus menatap ke arah Yui. Memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan juniornya itu.
Rave hanya mampu tersenyum kecil menanggapi sapaan Yui. Ia merasa sedikit aneh saat melihat pria yang terus menatap ke arah Yui. Apa dia kekasih Yui? Ia tak mungkin mengatakan bagaimana rasa kesalnya mendengar kalau Yui mempunyai kekasih.
“Yui!” seru Shara. Ia segera memeluk teman baiknya itu. Ia melayangkan senyum simpul untuk sosok-sosok yang berjalan di belakang Yui. Seolah mereka itu adalah pengawal Yui saja.
“Hai, kau pasti Shara. Aku Anzana Udr Toushimori, teman Yui selama di Oyharo city,” sahut Anza bahkan sebelum pelukan Yui dan Shara lepas.
Shara agak kaget dengan ajakan perkenalan gadis cantik berambut merah maroon itu. Namun ekspresi kagetnya langsung hilang saat menyadari kata ‘teman Yui’ terucap dalam satu kalimat. Ia langsung menyambut uluran tangan Anza. “Ya, aku Shara, Shara Kojichiru. Senang berkenalan denganmu, emm-“
“Anza. Panggil saja Anza. Aku tak suka jika dipanggil dengan nama keluarga. Oya ini sepupuku, Rima Udr Toushimori.”
“Hai, Shara. Panggil saja aku dengan Rima.” Rima ikut mengulurkan tangan pada Anza yang langsung disambut dengan hangat oleh Shara.
Sebelum sempat mengatakan apapun, Shara langsung ditarik Rima dan Anza. Mereka langsung menanyakan banyak hal tentang Yui dan Shara sendiri. Hal itu tentu membuat Yui bingung. Sepertinya sikap sok kenal dan berlebihan yang dipraktekkan oleh Rima dan Anza sanggup membuat siapapun bingung dan heran.
“Aku heran kenapa mereka berdua hiperaktif sekali,” kata Rolfer tiba-tiba.
“Aku juga merasakan hal itu, Rolfer-san. Apa kalian tak khawatir pada sikap mereka ini?” kata Yui yang ikut menanggapi kalimat Rolfer.
“Buat apa aku mengkhawatirkan mereka. Mereka itu sudah cukup menakutkan untuk dijaga,” sahut Rolfer.
“Tenang saja, Yui. Mereka sudah bisa melindungi diri mereka sendiri,” tambah Marion yang dari tadi hanya diam.
“Ya, aku hanya khawatir jika mereka terlalu banyak memiliki penggemar,” kata Yui sambil terkikik pelan.
“Aku rasa mereka sudah datang,” kata Niel tiba-tiba.
Yui langsung berhenti tertawa. Ia menatap Niel dengan tatapan penuh cemas. Apakah harus secepat ini? Apakah mereka bisa menang melawan ratusan pasukan dari musuh? “Niel.”
Panggilan lembut yang keluar dari mulut Yui membuat Niel tersadar dari aksinya menatap ke arah langit yang mulai mendung karena awan. Seolah menunjukkan kalau langit turut berduka akan serangan ini. Ia bisa melihat kilatan rasa cemas yang terlihat jelas di wajah Yui. “Yui, kau jangan cemas seperti itu.”
Niel merengkuh Yui ke dalam pelukannya dalam gerakan cepat yang nyaris tak terlihat oleh mata manusia. Yang dilihat manusia hanya sosoknya yang telah menenggelamkan tubuh Yui ke dalam tubuhnya sendiri. Ia mengusap puncak kepala Yui dengan sayang.
“Bagaimana aku tidak cemas. Sebentar lagi mereka akan menghancurkan Hunter ‘ELF’ Society. Mereka akan menyerang kami. Bagaimana jika mereka melukai ayahku, Shara dan semua orang yang ku sayangi. Bagaimana jika mereka membunuhku? Aku takut jika kejadian waktu itu terjadi lagi. Itu sangat menyakitkan. Aku tak mau mengalaminya lagi,” gumam Yui tak jelas karena terhalang tubuh Niel. Dari setiap kata-kata yang ia pilih sangat menunjukkan betapa ia sangat cemas dengan serangan kali ini. Dalam otaknya terus terbayang kejadian yang hampir merenggut nyawanya. Ia masih bisa merasakan rasa sakitnya yang ia rasakan waktu itu. Lagipula ia tak mungkin bisa hidup jika kehilangan orang-orang yang ia sayangi.
“Aku tak akan membiarkan mereka melukaimu dan orang yang kau sayangi, Yui. Aku janji. Aku tak akan membiarkan mereka menyentuhmu sedkit pun,” bisik Niel dengan emosi. Ia tak suka melihat gadisnya kalut seperti ini. Ia tak pernah membayangkan kalau Yui yang ia kenal sangat keras kepala bisa selemah ini.
“Niel...”
“Sudah, hentikan, Yui.”
“Tapi aku takut Niel. Aku lemah. Kami ini hanya manusia. Bagaimana mungkin kami bisa melawan setengah kekuatan penuh mereka?” Lagi, kalimat penuh kepesimisan keluar begitu saja dari mulut Yui. Dalam pikirannya terus terlintas bayangan dimana ia akan diserang puluhan vampir dalam satu kali waktu. Bagaimana jika ia digigit beberapa vampir buas? Bagaimana jika ia kehilangan bagian-bagian tubuhnya dan diperebutkan banyak zombie bahkan vampir juga. Ba-
“Berhentilah membayangkan hal yang tidak-tidak!” seru Niel agak keras. Ia sudah kesal mendengar kalimat pesimis yang Yui katakan. Ditambah dengan bayangan mengerikan yang terus berputar dalam pikiran Yui yang coba ia baca. Dengan agak keras ia melepas pelukannya dan mencengkeram kedua lengan atas Yui. Ia memaksa Yui menatap ke matanya.
Tindakan itu tak luput dari perhatian Rolfer dan Marion yang memang berdiri tak jauh dari mereka berdua. Keduanya mulai cemas jika Niel kehilangan kendali.
“Niel, kau menyakitinya,” kata Rolfer mengingatkan.
Niel langsung melemaskan cengkeramannya. Ia bisa melihat ketakutan yang bersarang di kedua iris mata Yui. Ia merasa sangat bersalah karena membuat Yui ketakutan. Ia melunakkan ekspresinya yang awalnya mengeras marah. Ia mengangkat sebelah tangannya untuk menyentuh pipi kanan Yui. Tanpa diduga Yui menghindar. Ia masih ketakutan dan Niel menyadari itu. Yang bisa dilakukan Niel hanya tersenyum sendu. Dan itu cukup untuk membuat Yui ikut merasa bersalah.
“Ma-af, Niel. Ak-aku tak ber-maksud, a-ku-“
“Tsuut! Ini bukan salahmu,” potong Niel seraya meletakkan telunjuknya di depan bibir Yui. Nyaris menyentuh kulit terluar dari bibir merah menggoda milik Yui.
“Ti-dak, Niel, a-ku ya-“
“Harusnya aku yang minta maaf. Maaf aku telah membuatmu ketakutan. Aku hilang kendali. Aku tak tahan melihat pikiranmu mengenai apa yang kau takutkan. Kau harus yakin kalau aku tak akan pernah membiarkanmu mengalami hal itu. Tidak akan aku biarkan satu vampir atau zombie yang bisa menyenttuhmu seujung rambut pun. Lagipula kau kuat. Percayalah pada dirimu sendiri, Yui.”
Dan saat itu juga, Yui tahu kalau ia tak perlu takut akan apa yang mungkin terjadi. Ia sudah memiliki malaikat yang akan menjaganya dari apa yang ia bayangkan tadi. Jelas ia bisa melihat keseriusan di mata Niel dan itu lebih dari cukup baginya untuk mempercayai apa kata Niel.
“Terima kasih,” ucap Yui dengan tulus. Ia tersenyum lega pada Niel. Ia tak lagi menghindar saat Niel kembali melayangkan tangan untuk menyentuh pipinya. Ia justru merasa hangat saat tangan besar itu mengusap pipinya yang agak dingin karena cuaca musim dingin yang tak bersahabat malam ini. Mendung yang terus menggantung. Seolah akan ada badai salju malam ini.
“Itu sudah menjadi tugasku untuk melindungimu, Yui.”
“Eh? Apa maksudnya?”
Niel tersenyum misterius. “Kau kira apa alasanku mau membantumu di sini. Tentu saja untuk melindungimu. Memangnya apa lagi. Hanya kau yang bisa melakukan ini padaku.”
“Melakukan apa?”
“Menawan hatiku.”
§_zalathhamalfoy.blogspot.com_§
Di kedalaman hutan di waktu yang sama
“Hei, Mark. Kapan kita berangkat ke tempat itu. Aku sudah haus dan lapar,” kata seorang vampir berambut pirang acak-acakkan.
Mark hanya meliriknya sekilas sebelum memandang langit dengan tatapan kosong. Rasanya ia berat untuk melakukan ini. Namun jika ia menyerah sekarang, apa yang telah lakukan dan korbankan selama ini hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Ia tak mau itu terjadi. Kematian Leomy di depan matanya telah menumbuhkan dendam tersendiri untuknya. Ia tak mau jika harus kehilangan lagi. Ia akan melakukan apapun asal adiknya, Suri bisa selamat dan berada di tempat yang aman. Centerene Palace. Tapi bagaimana caranya?
“Hei, idiot! Kapan berangkat!” seru vampir pirang itu lagi.
Mark mendengus kesal. “Sekarang!”
Dengan satu kata itu, pasukan zombie dan vampir Mud-Blood langsung bergerak pasti menuju Tosakyo city tepatnya Hunter ‘ELF’ Society. Tanpa tahu apa yang telah menunggu di sana.
Mark hanya berdiam diri. Ia tak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Ia melihat kosong pasukan itu. Ia bisa melihat ambisi mereka untuk melakukan penyerangan ini. Hanya ambisi berlapiskan nafsu membunuh.
“Kakak.”
Panggilan lembut dari seorang gadis memenuhi telinga Mark. Dengan segera Mark melihat ke belakang dimana sang gadis berada. Gadis pucat yang mengenakan mantel hitam tebal.
“Suri, kenapa kau ada di sini?” tanya Mark kaget. Ia segera menghampiri adiknya yang sedang sakit. Adiknya telah diracuni tuannya. Itulah alasan kenapa ia berkhianat pada pimpinan klan Kurochiki. Karena jika ia tidak berkhianat adiknya akan mati sejak 10 tahun yang lalu.
“Tuan menyuruhku ikut misi ini.”
“A-apa?”
§_zalathhamalfoy.blogspot.com_§
Centerene Palace
“Szatark, kau sudah siap?” tanya Ryuta saat melihat pengawalnya masuk ke dalam ruangannya.
“Ya, Ryuta-sama.” Szatark membungkuk hormat sebelum duduk di depan tuannya.
“Aku memberimu tugas ke Hunter ‘ELF’ Society bukan untuk membantu Niel dan Yui.”
Szatark nampak bingung dengan apa yang dikatakan tuannya. “Lalu siapa, Ryuta-sama?”
“Bantu Marion menemukan Suri dan Mark. Kau dan Liannaka harus membawa keduanya ke sini.”
“Mark? Tapi dia peng-“
“Dia punya alasan untuk itu, Szatark. Kau dan Liannaka tentu tahu bagaimana sayangnya Mark terhadap adiknya.”
Szatark terdiam lama sebelum menatap tuannya dengan tatapan mengerti. “Baik, Ryuta-sama. Saya berjanji akan membawa mereka ke Centerene Palace dengan selamat.”
§_zalathhamalfoy.blogspot.com_§
6 komentar:
oke, YuNi couple sudah makin manis dan membuat iri..
Tapi ini emang keren banget..
Di tunggu kelanjutannya ya!
makin suka yui ama niel
XD
ga sabar baca kelanjutannya
horee... akhirnya jumpa jga blog jceyz.. akhirnya bisa bca kelanjutan cerita yui, ehm... boleh tanya g' bgaimana edit label jdi jdul utama, dan g keluar brdasarkan tanggal? soalnya aku pemula dlm buat blog >.<
kenapa gag d upload d wattpad lagi??
Jgn tu2p akun wattpad yaaa :D
ayo smangadt...
gag sbar liat niel inget sma yui
haha ^^
Hei, salam kenal :-)
Aku sangat menyukai ceritamu
Sudah lama sekali rasanya aku menunggu kelanjutan dari ceritamu ini
Kenapa tidak dilanjutkan lagi? Ada apa sebenarnya? :-( kamu kemana? Kabarmu bagaimana?
Aku berdoa semoga kamu baik2 saja, semangat terus ya ☆☆☆☆
♡ berharap suatu hari nanti ada kabar darimu dan kelanjutan dari ceritamu ini ♡
mana lanjutannya nih???
aku udah pernah baca di watty sampe chap 9 tapi ga dilanjutin malah di hapus.
aku pindah ke sini tapi yang ini juga belum di lanjut, kapan lanjutnya ya??? sayang lho kalau ceritanya gantung, padahal kan bagus ceritanya.
Posting Komentar