• Home
  • About
  • Contact
  • Help
skip to main | skip to sidebar

Zicra Zalathha Malfoys' World

This blog posts all of my own story. Please don't copypaste my story. If you do, please ask me first. Once again. I Hate PLAGIATISME.

Kamis, 19 April 2012

The Last Pure-Blood Vampire - The Forbiden Experiment



Second Rules of Seven Rules
"Vampire can't kill hunter who guard human except hunter avoid the hunter's rules."



The Last Pure-Blood Vampire | The Forbiden Experiment



When your destiny come to you, you can't run from that.
Although you don't believe it, you must know if you can't change your destiny whatever you do.



Department of Hunter Spy, 8 a.m.



"Jadi apa rencanamu, Mora?" tanya seorang pria berambut hitam di hadapan Mora. Wajah kakunya tersaji di depan Mora dengan angkuh. Mata beriris birunya menatap Mora dengan tatapan menindas. Dia adalah pemimpin Hunter Spy, Jack Bishihana.
"Kau tidak perlu memasang wajah menggelikan semacam itu. Aku sudah kebal," kata Mora dengan nada sambil lalu.
Jack tersenyum sinis. "Jangan membuatku marah, Udagaki. Cepat katakan apa rencanamu!"
Nada memerintah yang tak bisa dibantah mulai keluar dari mulut Jack. Mora hanya mendengus kesal. Ia menyodorkan map biru ke hadapan Jack tanpa rasa hormat sedikitpun.
"Itu surat untuk kerajaan Vampir. Itu langkah pertamanya. Langkah seterusnya belum ditentukan karena menunggu reaksi kerajaan Vampir terlebih dahulu."
"Apa maksudmu? Memangnya kertas ini bisa memberi efek apa pada mereka, hah?" tandas Jack tanpa ampun. Ia menatap Mora dengan garang. Ia merasa dipermainkan dengan rencana konyol Mora.
"Sudahlah. Ikuti saja apa rencanaku. Semua resiko biar aku yang menanggung," kata Mora cepat.
Jack hanya menghela nafas panjang. Ia masih ragu untuk menyetujuinya. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Pemerintah harus konsisten dalam menangani kasus apapun termasuk kasus ini. Kejahatan ini tergolong kejahatan besar dan pemerintah tidak akan setuju jika kasus ini tidak segera ditangani. Apalagi Perdana Menteri sudah memintanya untuk menyelesaikan kasus ini sampai tuntas.
"Huh, baiklah. Lakukan sesukamu." Jack mengembalikan map yang tadi diberikan kepadanya. Kembali pada pemiliknya. "Siapa yang kau pilih untuk ke sana? Tidak mungkin kau ke sana sendirian?"
Mora tersenyum puas. "Tentu saja aku akan mengajak beberapa orang. Aku tidak akan berani ke sana sendirian. Tempat itu menakutkan walaupun kerajaan akan menjamin keamananku di sana."
"Ck. Tentu saja pihak kerajaan akan menjamin keselamatanmu. Jadi siapa yang kau ajak?" Jack hanya menggeleng kesal. Semua orang juga tahu kalau kerajaan vampir akan menjaga keselamatan tamunya. Bagaimana pun juga manusia tetap relasi berharga bagi mereka.
"Rave Kunihonshou dan Yuicathra Fukuzawa."
"Fukuzawa? Maksudmu anaknya Riku Fukuzawa? Kau gila!"
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ



The Boundary of Sorrowforest, 11.00  p.m.



"Aku dengar kau akan ke Kerajaan Vampir dengan Rave senpai dan Udagaki sensei. Benar tidak?" tanya Shara. Ia dan Yui sedang bertugas di perbatasan hutan Sorrowforest. Mereka berjalan menyusuri pinggiran hutan. Mereka memegang senter di tangan masing-masing.
"Ya. Besok aku berangkat," kata Yui dengan nada sambil lalu. Matanya memandang sekitarnya dengan waspada. Ia menyorotkan senternya ke arah pepohonan lebat di samping kanannya.
"Hah? Besok? Berapa lama?" sahut Shara dengan cepat. Ia menatap Yui lekat-lekat.
"Heh? Tidak lama. Hanya satu atau dua hari. Kami hanya mengantar surat," jawab Yui. Ia berhenti berjalan secara tiba-tiba. Matanya menangkap setetes darah di atas dedaunan kering.
"Ada apa, Yu-chan?" tanya Shara heran saat melihat Yui berhenti tiba-tiba.
Yui tak menjawab. Ia duduk berjongkok di dekat dedaunan kering yang ia perhatikan. Sinar senter menyoroti daun yang ada darah di atasnya. Tangannya terulur untuk mengangkat daun itu. Ia membauinya dengan seksama. Jari telunjuk kanannya mencolek sedikit dari volume darah di atas daun.
"Sepertinya ini darah manusia. Masih hangat," kata Yui pelan. Dengan cepat ia menyinari pepohonan di sekitarnya.
"Darah manusia? Apa mungkin ada serangan?" tanya Shara dengan nada khawatir. Ia ikut menyinari pepohonan di sekitarnya dengan senter di tangannya.
"Yu-chan, sepertinya di sana ada sesuatu," kata Shara pelan. Ia menyinari dedaunan yang tak jauh dari tempat mereka berada.
Yui ikut menyinari tempat yang dimaksud Shara. Ada siluet sosok manusia di sana. Ia melirik Shara yang juga sedang meliriknya. Keduanya saling menyunggingkan seulas senyum kecil. Tanpa dikomando, keduanya langsung berlari mendekati sosok itu. Shara langsung mengecek nadi di leher dan tangan sosok manusia berjenis kelamin laki-laki. Darah sudah berhenti mengalir di tubuh laki-laki itu.
"Dia sudah mati, mungkin-" Shara menghentikan kalimatnya karena ragu.
"-sudah sejak 5 menit yang lalu," lanjut Yui. Ia menatap luka koyakan di kaki dan tangan korban. Cakaran memanjang juga menghiasi leher korban. Dada korban juga berlubang. Jantungnya menghilang.
"Pelakunya zombie level S." Shara menyiapkan pisau bedah dari dalam tas kecilnya.
"Zombie itu belum terlalu jauh. Kita harus waspada. Sebaiknya kau bunuh dia secepatnya sebelum dia menjadi zombie level H," jelas Yui. Ia sudah mengeluarkan pistolnya dan mempersiapkan peluru khusus untuk membunuh zombie. Ia sudah bersiap di posisi siaga dan siap menyerang.
"Serahkan padaku," kata Shara sambil tersenyum lebar. Ia juga sudah siap dengan pisau dan sarung tangan di kedua tangannya. Ia menusuk bagian perut di bawah tulang rusuk terbawah. Menggerakkan pisaunya segaris dengan tulang rusuk lalu ke atas. Darah langsung terciprat keluar. Ia segera mengambil kapsul antibodi yang tadi ia siapkan. Ia membuka tutup kapsul lalu menuangkan isinya tepat ke atas hati korban. Antibodi itu berguna untuk melawan racun zombie yang mulai menyebar di tubuh korban.
Srak!! Yui langsung berdiri dengan mengacungkan pistol ke arah pepohonan di bagian kirinya. Mata jelinya menangkap bayangan di balik pohon. Ia yakin itu zombie. Mayat hidup yang menyukai jantung manusia. Ia melirik Shara. Dengan isyarat mata ia menyuruh Shara membereskan peralatannya. Shara mengangguk setelah menerima isyarat selanjutnya bahwa zombie yang ada di dekat mereka tidak hanya satu.
Srek! Dor! Yui langsung menarik pelatuk begitu mendengar gerakan kaki menginjak daun kering. Peluru keperakan meluncur dari moncong pistolnya dengan cepat. Brugh! Satu zombie sudah tumbang di atas tanah. Begitu temannya mati, zombie lain langsung keluar dari tempat persembunyiannya. Yui langsung menarik pelatuk lagi. Dor! Brugh! Zombie kedua juga tumbang. Dor! Dor! Dua zombie yang tersisa jatuh ke tanah dengan bersamaan.
"Mereka zombie level S baru. Sangat ceroboh," kata Yui pelan.
"Ya-"
Brugh! Tubuh Shara langsung terjatuh di tanah saat ada yang memukul tengkuknya. Yui langsung berbalik sambil mengacungkan pistol begitu melihat Shara terjatuh di sampingnya. Mata violetnya menangkap sosok vampir di hadapannya.
"Tenang, Nona. Aku hanya kebetulan lewat," kata vampir berambut hitam sebahu. Mata coklat kemerahannya menatap Yui tanpa minat. Ia sedang berusaha kabur secepatnya. Namun ada yang menghalangi jalannya. Hunter dengan reflek cukup bagus.
Yui mengerutkan keningnya. Matanya menyipit. Memandang vampir itu dengan curiga. "Untuk apa vampir berkeliaran di sini sebelum jam 12 malam?"
Vampir itu tersentak agak kaget. Namun ia segera memasang wajah tenangnya lagi. "Ah, hanya jalan-jalan di hutan."
Alasan konyol untuk membuat Yui percaya. Ia menatap vampir itu dengan tajam. Matanya menyipit ke arah bibir vampir itu. Tidak ada yang aneh sekilas. Namun jika diperhatikan lebih detail, ada noda darah di sana. Hanya sedikit namun cukup membuat Yui curiga. Ia bersyukur bulan bersinar terang malam ini.
"Kau pelakunya kan?" kata Yui dengan nada tajam. Ia tidak bertanya namun menegaskan.
"Pelaku apa? Aku tidak mengerti," kata vampir itu santai.
"Tidak perlu mengelak. Jadi sudah ada 15 kan? Perlu 84 lagi kan?" pancing Yui dengan nada meyakinkan.
"Apa maksudmu?" tanya vampir itu dengan kesal. Ia mulai terusik dengan penuturan Yui.
"Aku penasaran sejak awal ulahmu. Sebenarnya siapa yang ingin kau hidupkan dengan peleburan ini?"
Vampir itu diam dengan wajah mengeras. Reaksi vampir itu membuat Yui senang. Tanpa menunggu lebih lama, ia meneruskan argumennya. "Kalau dari golongan darah yang kau pilih sepertinya dari klan Kurochiki. Jadi siapa dia?"
Vampir itu menggeram marah. Ia menatap Yui dengan tajam. Iris matanya semerah darah. Ia sedang marah. "Kau terlalu banyak bertanya, Nona!"
Vampir itu bergerak mendekati Yui dengan menyeringai licik. Seringaian yang menunjukkan kedua taring tajamnya. Taring yang siap mengoyak leher Yui. Vampir itu semakin mendekat pada Yui. Sementara gadis itu tetap menodongkan pistol walaupun dengan tangan bergetar. Ia mundur selangkah. Setelahnya kakinya merinding hebat. Wajahnya memucat. Tanpa aba-aba, vampir itu bergerak cepat untuk menerjang Yui. Gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat karena takut.
Buagh! Tubuh vampir itu terlempar jauh dan menubruk pohon di belakangnya. Ia meringis kesakitan dan menggeram marah.
"Apa yang ka-"
Kata-katanya terhenti saat matanya menangkap sesosok vampir lain yang ia kenal. Tubuhnya terasa kaku. Ketakutan terpancar jelas dari kedua matanya.
"Niel-sama," gumamnya dengan suara tercekat.
Yui membuka matanya perlahan. Ia tidak merasakan apapun. Ia merasa tubuhnya baik-baik saja. Bahkan ia mendengar suara seseorang menghantam sesuatu dengan keras. Ia mengerjapkan matanya dengan bingung saat melihat vampir itu terduduk jauh di hadapannya. Vampir itu nampak ketakutan di matanya.
"Apa yang ter-Ahh! Apa yang kau lakukan?"
Yui yang hendak bertanya mengenai apa yang terjadi langsung mengubah kalimat tanyanya saat ada sepasang tangan kekar memeluk pinggangnya dengan erat. Sensasi dingin meresap ke dalam tubuhnya saat ia menyentuh tangan itu.
"Le-lepaskan!" pintanya dengan suara tercekat. Tanpa bisa ia cegah, jantungnya terus berpacu cepat. Perutnya terasa penuh oleh kupu-kupu. Tangannya yang menyentuh tangan itu mulai berkeringat dan merinding. Darah di pinggangnya terus berdesir aneh. Wajahnya pun terasa memanas. Rona kemerahan memenuhi wajahnya.
"He-hei! Le-lepas-"
Brugh! Tubuh Yui merosot jatuh ke tanah, namun tangan kekar itu menariknya, dan menopang tubuh lemah Yui agar tidak terjatuh ke tanah.
"Niel-sama, ma-maaf a-"
"Sebaiknya kau lebih berhati-hati, Rolfer. Kau hampir melanggar aturan," potong vampir yang menahan tubuh Yui. Vampir berambut hitam kemerahan itu menatap tajam ke arah vampir yang ia panggil Rolfer. Ia tidak menyangka kalau sepupunya akan seceroboh ini.
"Sejak kapan kau tahu, Niel?" tanya Rolfer sambil bangkit dari duduknya.
"Hn?" Vampir yang dipanggil Niel itu hanya bergumam tidak jelas. Ia menghirup aroma lavender yang menguar dari tubuh Yui. Ia membenarkan letak tubuh Yui yang bersandar pada tubuhnya. Ia menyelipkan tangan kanannya di lipatan lutut Yui dan tangan kirinya di leher bawah Yui. Ia mengangkat tubuh mungil Yui dalam gendongannya.
"Sudah lama aku menduganya. Jadi sebenarnya siapa yang ingin kau hidupkan?" tanya Niel dengan nada datar. Matanya masih tertuju pada Yui. Wajah Yui yang merona merah.
Rolfer tidak terlalu kaget. Ia sudah mengiranya. Ia sadar kalau ia tidak akan bisa menyembunyikan sesuatu dari sepupunya. Sepertinya ia memang harus menceritakan percobaan gilanya kali ini pada sepupunya.
"Sebenarnya aku hanya main-main. Kalau pun berhasil, aku ingin menghidupkan paman Athrun." Rolfer berjalan mendekati Niel.
"Hm? Begitu. Kau tidak sendiri, bukan?" Niel masih menggendong Yui di atas kedua tangannya. Ia merasa tidak membawa beban apapun di tangannya. Tubuh gadis itu terlalu ringan.
"Ya, aku dan Rima yang melakukan ini semua. Jadi apa kau akan melaporkan kami kepada ayahmu?" Rolfer sudah berhadapan dengan Niel. Ia mengamati tingkah Niel yang terus memperhatikan gadis di gendongannya.
"Tidak. Aku rasa ini bukan masalah besar. Mungkin ayah akan memakluminya," kata Niel. Ia menegakkan kepalanya dan langsung menatap tepat ke manik mata Rolfer.
"Tapi aku dan Rima sudah membunuh 15 orang sampai hari ini. Setahuku manusia menganggapnya sebagai kejahatan besar," kata Rolfer. Ia nampak ragu untuk mengatakan argumennya.
"Jujur saja aku tidak peduli pada manusia. Bagiku mereka tetap saja mangsa bagiku." Niel mengatakan itu dengan nada dingin. Ia tak menyembunyikan ketidaksukaannya pada manusia. Baginya manusia hanyalah pemasok darah. Manusia terlalu lemah dan selalu merepotkan vampir.
"Eh, jadi apa yang harus ku lakukan? Apa ini perlu dihenti-"
"Tidak perlu. Lakukan sesukamu. Aku akan membantumu kalau ayah marah. Siapa tahu paman Athrun bisa benar-benar dihidupkan," potong Niel sebelum Rolfer menyelesaikan kalimatnya.
"Baiklah." Rolfer mengalihkan pandangannya pada Yui dan Shara. Dua sosok manusia yang sama-sama tak sadarkan diri. "Eh, tapi bagaimana dengan kedua gadis manusia ini?"
"Hapus ingatannya."
Niel meletakkan tubuh Yui ke atas dedaunan kering. Ia segera meletakkan tangannya di kening Yui. Sinar merah berpendar sekilas sebelum menghilang. Ia menepuk-nepuk pipi kanan Yui dengan lembut.
"Jika aku bertemu denganmu untuk ketiga kalinya, aku tidak bisa menghapus ingatanmu lagi," gumam Niel pelan.
Rolfer melakukan hal yang sama pada Shara. Menghapus ingatan gadis itu. Ia sedikit heran mendengar penuturan Niel. "Bukannya kau tidak peduli pada manusia. Lalu kenapa kau bersikap selembut itu padanya?"
Niel tersenyum sekilas. "Entahlah. Dia berbeda. Hanya itu penjelasanku."
Rolfer tertawa kecil. "Aku tidak tahu kalau Pangeran Kerajaan Vampir bisa seperti ini."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ



Northless Palace, 8 a.m.


"Ada hal penting apa yang ingin kau bicarakan, Ryuta?" tanya Aiden Udr Toushimori, Raja dari Kerajaan Vampir.
"Kerajaan menjadi tenang setelah mereka pergi," kata Ryuta. Jawaban yang sangat melenceng dari pertanyaan Aiden.
"Ya, tapi sebagai gantinya kita kehilangan klan terpenting," gumam Aiden, menanggapi apa kata Ryuta.
"Kau tidak menganggapku?" goda Ryuta dengan nada sambil lalu.
"Itu berbeda, Ryu. Jadi apa tujuanmu ke sini?" Aiden berusaha mengembalikan ke topik utama.
"Hm." Ryuta hanya bergumam tak jelas. Ia menatap langit di luar mansion yang terlihat mendung. Ia menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya sebelum mengatakan tujuan utamanya datang menemui Aiden.
"Takdir sudah kembali berputar. Biarkan tamumu melakukannya."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ



Oyharo city, Kingdom of Vampire, 10 a.m.


"Fukuzawa, aku ragu mengenai ini. Nanti kau yang menjawab semua pertanyaan Aiden-sama ya," bisik Mora sensei saat ia dan kedua muridnya dalam perjalanan menuju pusat kota Oyharo city.
"Iya, sensei," gumam Yui singkat. Ia menyandarkan kepalanya di jendela mobil yang mengantar mereka ke tempat pertemuan. Ia sangat lelah karena kejadian tadi malam saat ia bertugas di perbatasan Sorrowforest dengan Shara.
Rave yang duduk di sebelah Yui meliriknya sekilas. "Kau yakin, Yu? Wajahmu agak pucat."
Yui mengibaskan tangannya. "Tidak apa-apa. Aku hanya kurang tidur."
Rave tak lagi menanyai Yui. Ia memberikan Yui waktu untuk istirahat. Ia sibuk mengamati keadaan di luar mobil. Ada banyak vampir di pinggir jalan yang menatap mobil yang ia tumpangi dengan tatapan aneh. Tatapan penuh rasa haus. Sepertinya para vampir itu belum meminum tablet darahnya hingga mereka tampak kesakitan menahan rasa haus.
"Kita sudah sampai," kata Mora saat mobil berhenti tepat di depan deretan tangga menuju Main Aula.
"Hm." Gumaman tak jelas keluar dari mulut Rave dan Yui. Keduanya keluar dari mobil dan mengikuti Mora.
"Hwah! Sensei, apa kita akan menaiki tangga ini?" tanya Yui histeris begitu melihat deretan tangga menjulang di depannya. Ia tidak bisa membayangkan jika ia harus menaiki tangga sebanyak itu dengan stiletonya.
"Entahlah, aku tidak tahu," jawab Mora. Ia juga sama kagetnya dengan Yui. Ia juga tidak ingin menaiki tangga sebanyak itu.
"Tidak. Kita lewat sini," kata Rave sambil menunjuk jalan kecil di samping deretan tangga. Di dekat jalan itu ada papan yang bertuliskan Main Aula dengan tanda panah menunjuk ke arah jalan kecil itu.
"Syukurlah," kata Yui dan Mora bersamaan.
Ketiga manusia itu menyusuri jalan kecil yang akan membawa mereka menemui Raja Aiden.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ



Main Aula, Kingdom of Vampire



"Mereka sudah datang?" tanya Aiden pada penasehat kerajaannya, Adolph Jurotsuchi.
"Ya, Aiden-sama. Mereka dalam perjalanan kemari," jawab Adolph dengan penuh hormat. Kacamata berbingkai emasnya menyamarkan iris matanya yang berwarna coklat kemerahan. Rambut hitam panjangnya tergerai sampai ke pinggang. Namun tak bisa mengurangi ketampanannya.
"Hmm, lebih baik aku pergi. Aku tidak mau kalian menanyaiku tentang 'dia'. Aku tidak mau mendahului takdir. Pasti akan menarik kalau takdir kali ini sedikit menantang," cetus Felicite Merekibe tiba-tiba. Wajah tirusnya menunjukkan keanggunan yang lembut. Rambut ungu gelapnya tergerai sampai ke bahunya. Mata beriris coklat terangnya menyiratkan ketenangan dan kemisteriusan.
"Apa maksudmu, Merekibe-san?" tanya Adolph cepat sebelum Aiden sempat bertanya.
Felicite tidak menjawab. Ia tersenyum misterius. Tanpa rasa bersalah karena tidak menjawab pertanyaan Adolph, ia segera melenggang ke arah pintu keluar. Ia berhenti sejenak di pertengahan jalan. Tanpa menoleh, ia bergumam, "Dia datang tapi tidak sebagai dia. Belum waktunya dia kembali."
Aiden dan Adolph saling memandang. Keduanya sama-sama bingung dengan sikap aneh Felicite. Di pikiran mereka terlintas pertanyaan yang sama. 'Siapa dia itu?'
"Yang Mulia, tamu anda sudah datang," kata seorang pengawal kerajaan dengan menghormat penuh ke hadapan Raja.
Karena Raja hanya terdiam, pengawal itu mengulanginya kembali. "Yang Mulia, tamu anda sudah datang!"
"Ah, iya. Persilakan mereka masuk," kata Aiden setelah tersadar kembali dari lamunannya.
"Baik, Yang Mulia."
Tak lama kemudian, pintu utama terbuka lebar. 3 sosok manusia memasuki ruangan. Semua vampir di dalam ruangan harus menahan nafas karena bau darah yang menggoda mereka. Ketiga manusia itu berjalan mendekati hadapan Aiden. Dua dari ketiga manusia itu mengenakan seragam hunter. Mereka adalah utusan dari Hunter Spy. Mora, Rave dan Yui.
"Salam sejahtera untuk Aiden-sama," kata Mora dengan tingkat kesopanan tinggi. Ia dan kedua muridnya membungkuk dengan hormat di hadapan Raja Aiden.
"Ya, berdirilah," kata Aiden penuh wibawa. Matanya menatap tajam ke arah gadis bermata violet di hadapannya. 'Dia...Apa dia Yui?' batinnya.
"Aiden-sama, gadis itu memiliki mata violet seperti...," bisik Adolph.
"Ya, aku tahu," balas Aiden cepat. Ia buru-buru bersikap biasa.
"Maaf telah menganggu anda, Yang Mulia," kata Mora.
"Tidak apa-apa. Aku tidak merasa terganggu. Ah, aku sudah membaca surat dari Hunter Spy."
Jeda sesaat. Semua yang ada di dalam ruangan seakan menunggu penuturan Aiden selanjutnya. Terutama Mora, Rave dan Yui. Mereka sudah menyiapkan diri untuk sebuah penolakan. Atau mungkin untuk sebuah pengusiran.
"Aku minta maaf. Sebagai Raja, aku tidak tahu ada kejadian itu. Aku tidak menyangka pembunuhnya ada di Vampire 'ZERO' Academy. Aku akan membantu semampuku."
"Terima kasih, Yang Mulia," sahut Mora cepat.
"Tapi..."
Semua kembali terdiam menunggu kelanjutan kalimat Aiden yang bisa saja berlawanan dengan kalimat sebelumnya.
"Kalian tahu bahwa kami belum terbiasa dengan darah manusia. Aku tidak bisa menempatkan kalian dalam bahaya selama kalian ada di akademi vampir. Tapi aku tetap mendukung misi kalian asalkan kalian yang menjalankan misi berubah menjadi vampir."
"Apa?" Mora tak bisa menunjukkan keterkejutannya.
"Tapi Yang Mulia, untuk menjadi vampir tidak bisa begitu saja dilakukan tanpa rencana. Butuh waktu lama untuk menyiapkan hal itu. Tidak bisakah Yang Mulia memberi syarat lain? Atau Yang Mulia berkenan memberi kami saran," kata Yui. Ia mengambil alih tugas Mora yang masih shock.
Aiden tersenyum simpul. Matanya menatap Yui dengan lembut. Ia mulai mengerti apa maksud Ryuta dan Felicite. Tanpa diubah pun takdir sudah datang dengan sendirinya. Tanpa ingatan pun, hati mereka sudah dipertemukan oleh takdir.
"Aku tahu itu. Memang mustahil mengubah kalian menjadi vampir. Mengingat kedatangan kalian hari ini sudah pasti membuat pelakunya curiga. Tapi ada satu cara untuk menjadi vampir dalam waktu kurang dari 5 detik. Yaitu dengan obat mutasi buatan sendiri yang mengubah mampu manusia menjadi vampir selama kurang lebih 8 jam."
"Obat mutasi?"
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ



Hunter 'ELF' Gakuen's Laboratory, 7 p.m.



"Jadi kerajaan vampir ingin hunter yang bertugas menjadi vampir dengan obat mutasi?" tanya Riku Fukuzawa sambil menatap ketiga murid di depannya.
"Hehemm." Yui, Sean dan Rave mengangguk bersamaan. Mereka adalah 3 hunter yang dicalonkan untuk melaksanakan misi penyelidikan sekaligus pengejaran buronan pembunuh 15 manusia dalam 15 hari terakhir. Siapa yang akan menyusup ke akademi vampir akan ditentukan malam ini.
"Oh." Riku kembali sibuk mengaduk-aduk tabung reaksi yang berisi cairan berwarna pink keunguan.
"Sensei!" seru ketiga muridnya dengan keras secara bersamaan. Mereka kesal karena tidak dihiraukan oleh Riku.
"Hah? Apa?" tanya Riku dengan wajah polosnya.
"Ajari kami membuat obat mutasi," kata Sean cepat. Diikuti anggukan dari Yui dan Rave.
"Aku tidak bisa kalau tidak ada resepnya."
Yui langsung membungkam penolakan Riku dengan selembar kertas berisi bahan dan cara membuatnya. Ia juga menyodorkan botol berisi darah vampir ke hadapan Riku.
"Apa ini, Yu-chan?" tanya Riku sambil mengangkat botol kecil itu lalu menggoyang-goyangnya.
"Darah vampir Half-Blood," jawab Yui singkat.
"Benarkah? Bahan ini sangat sulit dicari. Aku sudah mencarinya ke ujung penjuru Tosakyo city tapi tidak bisa menemukannya. Darimana kau mendapatkan ini?" celoteh Riku begitu mengetahui apa isi botol itu.
Yui tersenyum simpul. Sangat mudah merayu ayahnya jika ayahnya sudah menunjukkan ketertarikannya pada sesuatu. "Dari kerajaan vampir. Mereka memberikannya agar kami segera memulai membuat obat mutasi. Mereka memberikannya secara cuma-cuma. Dan kami hanya membutuhkan beberapa tetes, jadi sisanya untuk sensei."
"Benarkah? Ah, ehem. Baiklah. Sebaiknya kalian siapkan bahannya," kata Riku sambil membaca sekilas cara membuat obat mutasi yang ada di kertas. Sekaligus menutupi ekspresi kesenangan yang berlebihan di wajahnya.
"Sudah!" seru Sean, Rave dan Yui bersamaan sambil menunjukkan sekeranjang penuh bahan-bahan aneh.
"Baiklah. Ayo kita mulai," kata Riku. Ia tetap menyibukkan diri dengan kertas di tangannya. Walaupun ia heran darimana mereka mendapatkan bahan secepat itu.
"Siapkan tabung elemeyer ukuran satu liter dan masukkan air lemon ke dalamnya. Masak sampai mendidih," kata Riku. Yui, Sean dan Rave melakukan semua perintah Riku dengan hati-hati.
"Siapkan cawan petri ukuran diameter 15 cm. Haluskan kayu manis, bunga lily, mahkota mawar merah dan putih, bunga lavender, ganggang merah, hati kelelawar kering, dan biji apel."
Sean memasukkan semua bahan yang disebutkan ke dalam cawan dan langsung menumbuknya. Ia tak peduli pada kemungkinan ada bahan yang tidak perlu ikut masuk. Sementara Rave lebih hati-hati dengan meneliti bahannya satu persatu. Sama halnya dengan Yui. Ia bahkan membuang daun yang kering dan membersihkan bahan yang kotor.
"Masukkan bahan yang dihaluskan ke dalam cairan lemon yang sudah mendidih. Tambahkan darah vampir Half-Blood cukup satu tetes dan potongan jantung vampir kering secukupnya. Masak sampai memadat." Walaupun Riku pada awalnya ingin mengajari namun pada akhirnya ia hanya mengawasi. Ia yakin murid-muridnya sudah pandai.
Mereka bergantian memasukkan darah vampir Half-Blood dan jantung vampir kering karena hanya ada satu. Yui menuang darah vampir lebih dari satu tetes karena tidak sengaja tersenggol lengan Sean. Ia tidak terlalu memperhatikannya. Ia mengambil jantung vampir kering dari tangan Sean yang mengulurkan itu sejak tadi. Ia memotong sedikit dari jantung itu. Crash! Tanpa sengaja, ia mengiris jari telunjuknya. Ia segera menghisapnya sebelum menetes ke ramuan. Tes! Ia tak menyadari ada setetes darahnya yang masuk ke dalam ramuan itu. Ramuan itu berubah warna menjadi merah darah beberapa detik sebelum kembali berwarna coklat.
"Aduk terus sampai padat dan berwarna pink kemerahan seperti di gambar ini," kata Riku sambil menunjukkan gambar warna cairan ramuan di kertas resep.
"Sensei, kata Aiden-sama bentuknya pil. Kenapa ini masih cair begini?" tanya Yui penasaran. Menurutnya tidak mungkin ia berhasil karena ramuannya masih sangat cair.
"Aku tidak tahu. Di sini hanya tertulis begitu. Nantinya kalau sudah memadat, kita akan mencetaknya dan menguji cobanya. Baiklah, aku akan melihat-lihat hasil kerja kalian."
Riku mulai mengamati hasil kerja muridnya dari tabung milik Sean. Bukannya berwarna merah muda, tapi ramuan di tabungnya semakin menghitam. Ia menggeleng pelan. Sean gagal total. Ia mengintip tabung Rave. Ramuannya berwarna merah dan mulai memadat. Tapi bukan merah itu yang diminta melainkan pink atau merah muda. Ia mengalihkan matanya ke tabung Yui. Matanya bersinar senang melihat ramuan Yui yang mulai memadat dengan warna pink kemerahan yang sama dengan contoh.
"Ah, Yu-chan! Kau berhasil! Kau memang putriku yang paling hebat!" seru Riku kelewat senang.
"Hah?" Yui mengerjapkan matanya dengan bingung. "Benarkah?"
"Ya. Sama persis dengan yang ada di resep," jawab Riku sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Yui menatap kertas resep dengan tabung ramuannya secara bergantian. Memang sama persis. Namun ia tak menyangkanya. Bagaimana mungkin ia berhasil? Apa artinya ia akan melakukan misi hebat ini? Seulas senyum kebahagiaan terlukis di bibirnya.
"Tidak salah lagi. Kau memang putriku," kata Riku sambil memeluk putrinya erat-erat.
"Memang Yui itu putri sensei kan. Memangnya putri siapa lagi?" kata Sean.
Rave hanya tersenyum pada Yui. Ia ikut senang karena Yui berhasil walaupun ia sedikit cemas akan keselamatan Yui selama misi.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ



"Yui!"
Yui berhenti berjalan saat ada yang memanggil namanya. Ia membalikkan badannya untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali dengan cepat saat mengetahui siapa yang memanggilnya.
"Sen-pai, ada apa?" tanya Yui dengan gugup. Wajahnya mulai merona merah.
"Hah? Tidak. Aku hanya ingin mengucapkan selamat." Rave mengulurkan tangannya. "Selamat atas misi pertamamu sebagai anggota Hunter Spy."
Yui menyambut jabat tangan Rave dengan ragu juga gugup. Ia sedikit menundukkan wajahnya karena malu juga untuk sopan santun. "Terima kasih, senpai."
"Apa kau yakin akan pergi besok?" tanya Rave.
Yui mengangguk. Ia mulai berjalan lagi. Menyusuri halaman depan Hunter 'ELF' Gakuen. "Ya. Lebih cepat lebih baik."
"Lalu kenapa kau masih ada di sini? Bukannya kau harus bersiap-siap." Rave mengikuti langkah Yui. Ia berjalan tepat di samping Yui.
"Ah, itu...aku ada janji makan malam dengan Shara. Kami sudah berjanji bertemu di pintu gerbang asrama," jawab Yui. Tangannya bergerak-gerak tak beraturan. Ia meletakkan kedua tangannya di belakang tubuh. Jari-jarinya saling bertautan.
"Oh. Apa itu semacam pesta perpisahan?"
"Begitulah."
Suasana menjadi hening. Keduanya bingung harus mengatakan apa. Keduanya tetap berjalan beriringan menuju pintu gerbang asrama.
"Hoy, midget!" seru Sean keras sambil merangkul bahu Yui dengan santai.
"Senpai! Sudah ku katakan berkali-kali 'jangan memanggilku midget!'. Apa kau tuli, huh?" seru Yui keras. Ia selalu meledak-ledak di hadapan Sean yang selalu memanggilnya midget.
"Ah, ancamanmu itu tidak ampuh, Yui," kilah Sean.
"Hei! Aku akan mematahkan tanganmu," ancam Yui lagi.
"Sudahlah. Kalian ini selalu bertengkar. Apa kalian tidak lelah?" Rave yang melihat pertengkaran itu hanya menengahi seperti biasa.
"Rave!"
Grep! Seorang gadis berambut blonde langsung memeluk lengan Rave dengan erat. Mata beriris hijaunya menatap Rave dengan penuh cinta. Dialah Kanna Matjishi, pengejar cinta Rave.
"Cih. Troublemaker sudah datang," gumam Sean cukup keras. Ia memandang kesal ke arah Kanna. Ia tahu betul betapa mengganggunya sosok Kanna dalam hidup Rave. Seperti benalu di pohon mangga. Sangat merugikan.
Kanna melihat ke arah Sean dan Yui. Tatapan penuh cintanya berubah menjadi tatapan jijik dan penuh ketidaksukaan. "Oh, kau ya. Sean, si gila warna pink. Warna norak."
"Apa kau bilang? Dasar troublemaker berjalan!" balas Sean.
Yui terkekeh geli. "Aku rasa tidak ada salahnya menyukai warna pink."
Kanna menatap Yui dari atas sampai bawah. Ia tersenyum mengejek. Penampilan Yui sangat standar di matanya. "Kau itu anaknya Fukuzawa sensei kan? Kau itu hanya berlindung di balik ketenaran ayahmu, padahal kau tidak ada apa-apanya. Sama saja sih. Ayahmu juga sebenarnya tidak bisa apa-apa. Dia itu hanya guru ramuan yang to-"
"Jaga mulutmu, Matjishi-san. Atau peluru ini akan menembus kepalamu," kata Yui dengan nada rendah dan dingin yang sangat menakutkan.
Wajah Kanna langsung memucat. Tubuhnya bergetar ketakutan. Ia tak menyangka Yui akan menodongkan pistol padanya. Dari ekor matanya, ia melihat sekilas nama pistol Yui. Darkyuri. Yang ia tahu pistol itu untuk membunuh vampir dan zombie. Jadi tak ada efek untuk manusia. Ia sedikit tenang.
Rave dan Sean pun kaget karena dalam waktu cepat pistol sudah tertodong di kepala Kanna. Mereka bahkan tak melihat gerakan Yui mengambil pistol. Dan yang pasti pistol Yui bukan sembarang pistol.
"Apa kau tidak belajar, Fukuzawa. Pistolmu tidak berefek padaku," kata Kanna dengan percaya diri.
Yui tersenyum sinis. Tatapan matanya menajam. "Benarkah? Apa kau mau coba? Aku belum mencobanya pada manusia."
"Yui, sudahlah. Jangan terbawa emosi," kata Sean untuk menenangkan Yui. Ia tahu betapa menakutkannya Yui kalau sedang marah, terutama jika ada yang menghina ayahnya.
"Coba saja kalau berani," tantang Kanna.
"Baiklah. Hitung mundur dari 10."
"Yui, jangan," cegah Rave sambil memegang tangan Yui. Tapi percuma karena posisi tangan Yui tak berubah satu derajatpun.
"10, 9, 8, 7..."
Yui mulai menghitung mundur. Sementara Rave dan Sean merasa khawatir. Darkyuri, pistol milik Yui bukanlah pistol hunter pada umumnya yang hanya mempunyai dua lubang peluru, satu untuk vampir dan satu untuk zombie yang otomatis berputar sesuai alat deteksi sasaran. Tapi pistol Yui ada tiga, satu lagi untuk manusia.
"3, 2, Dor!"
Sean, Rave dan Kanna terpaku di tempat saat mendengar suara tembakan dari pistol Yui. Kanna yang takut nyawanya hilang. Sean dan Rave yang tidak percaya kalau Yui telah melakukannya. Semua hening.

"Yui, ku kira kau tega membunuhnya. Hah, syukurlah," gumam Sean lega saat menyadari moncong pistol tidak di kepala Kanna lagi. Melainkan ke arah perbatasan hutan Sorrowforest di dekat asrama Hunter.
Wajah Yui tetap kaku dan terlihat jelas ia marah. Ia menatap tajam ke arah perbatasan dimana seorang gadis tergeletak di tanah dengan seorang vampir terduduk di dekat gadis itu sambil memegangi lengan yang nampaknya terkena peluru. Ia berlari dengan cepat sambil menembakkan peluru kedua, tapi meleset.
"Sial," umpatnya kesal. Ia segera menghampiri gadis berambut pirang yang ia kenal. Gadis itu tergeletak tak berdaya di atas tanah.
"Shara," panggilnya pelan. Ia menatap Shara dengan cemas. Ia menegakkan kepala Shara dan melihat lehernya. Terlambat. Shara sudah digigit. Darah masih mengalir dari lubang bekas gigitan vampir itu. Yui segera memeriksa nadinya di leher Shara. Masih berdenyut tapi lemah.
Rave dan Sean masih terpaku dengan apa yang mereka lihat. Rave tersadar lebih dulu dan segera mengejar Yui. Disusul kemudian Sean. Sementara Kanna masih berdiri tak bergerak karena shock.
"Ah, ya ampun. Kepala kepalaku masih utuh, ah, aku takut sekali. Argh! Dia gila, ibu!" celoteh Kanna tak jelas. Ia sibuk memegangi kepalanya tanpa menyadari Rave dan Sean sudah pergi.
"Yui," panggil Rave.
Yui menoleh. Ia menatap Rave dengan air mata yang menganak sungai di pipinya. "Ra-ve sen-pai, ban-tu aku. A-antar Shara ke rumah sakit."
Rave terhenyak kaget melihat Yui begitu terguncang. Ia tidak pernah melihat Yui seperti ini. Tak berdaya sama sekali. Ia jelas melihat tangan Yui bergetar. Tapi sepertinya gadis itu berusaha tetap tegar melihat teman baiknya terluka.
"Tenanglah," kata Rave pelan. Ia menggenggam tangan Yui yang bergetar hebat. Berusaha keras menenangkan gadis itu.
"Rave, tenangkan Yui. Biar aku yang bawa Shara," kata Sean tiba-tiba. Ia langsung mengangkat tubuh Shara dan membawanya menuju Hunter 'ELF' Hospital dengan tergesa-gesa. Wajahnya terlihat pucat. Jelas sekali kalau ia sangat cemas.
Rave mengernyit heran. Ia menatap punggung Sean dengan bingung. Kenapa Sean bersikap sepanik itu? Ia mengesampingkan masalah itu. Ia segera membantu Yui berdiri dan menuntunnya mengikuti Sean.
"Shara akan baik-baik saja. Percayalah padaku, Yui."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ



Hunter 'ELF' Hospital, 11 p.m.


Yui dan Sean terus berjalan mondar mandir secara berlawanan. Yui melakukannya sambil menggigiti kukunya sedangkan Sean sambil mengacak-acak rambutnya. Mereka gelisah menunggu kabar dari dokter.
"Hei, kalian berdua jangan mondar mandir seperti itu. Kalian membuatku pusing," keluh Rave yang sejak awal hanya duduk melihat kedua temannya berjalan mondar mandir tak jelas.
"Maaf."
Kata maaf dengan mudah diucapkan keduanya. Sean mengatakannya sambil mengangkat tangan kanannya sementara Yui sambil membungkuk sekilas. Rave berusaha keras menahan kekesalannya. Ia mulai memikirkan alasan penyerangan. Apa mungkin ada hubungannya dengan pelaku kejahatan yang menjadi buronan dalam misi yang baru didapatkan Yui?
"Yui, apa menurutmu penyerangan Shara termasuk dalam misimu?" tanya Rave tiba-tiba. Ia menatap Yui sambil menyangga dagunya dengan kedua tangannya.
Yui berhenti berjalan mondar mandir. Begitu pula Sean. Ia menatap Rave dengan tatapan seolah berkata 'apa kau gila menanyakan hal itu di saat seperti ini'.
"Tidak, bukan pelaku kejahatan yang sama. Shara tidak mempunyai golongan darah O. Dan waktu penyerangan berbeda. Pada saat inilah dia menyerang. Aku pasti menemukan vampir itu bagaimanapun caranya," kata Yui menjelaskan jawabannya.
"Bagaimana caranya?" tanya Sean entah pada siapa.
"Setahuku pelakunya terkena tembakanmu, Yui. Kalau tidak salah di lengan kanan," jawab Rave.
"Ya, luka itu tidak akan hilang. Anggap saja itu penanda pelakunya," tambah Yui.
"Kalau pelakunya tertangkap, beritahu aku. Aku akan mematahkan lehernya," sahut Sean.
Yui menatap Sean dengan tajam. Ia memberikan tatapan curiga yang benar-benar mencolok. Rave yang melihatnya pun ikut penasan. Ia yakin pertanyaan yang mengganggunya tadi akan segera terjawab.
"Apa? Kenapa menatapku seperti itu? Apa ada yang aneh?" tanya Sean pada akhirnya. Ia merasa tidak nyaman ditatap seperti itu oleh Yui.
"Ya. Ada yang aneh," tandas Yui tetap dengan tatapan tajamnya.
"Apa?" tanya Sean.
"Kau!"
"Hah?" Sean melotot pada Yui. Ia tak mengerti kenapa Yui menuduhnya bersikap aneh. "Apa yang aneh padaku? Aku merasa baik-baik saja."
"Kau! Sejak kapan kau kenal Shara? Kenapa kau secemas ini pada keadaannya?" tuduh Yui sambil menunjuk-nunjuk Sean.
"Eh, itu, aku... Memangnya kenapa? Di-dia kan temanku," kata Sean dengan gugup.
Yui menyeringai licik. Sepertinya ia menyadari sesuatu. "Teman? Aku tidak pernah melihat kalian berbicara. Ah, apa kau tahu kalau dia punya pacar?"
"Hah! Siapa?" seru Sean cepat. Ia merasakan luka menggores hatinya begitu tahu kalau Shara sudah mempunyai kekasih.
Yui tertawa kecil dan menepuk pundak Sean. "Baru calon pacar. Namanya Sean Kotatsuki. Nah, aku titip dia padamu. Aku mau pulang. Aku harus mempersiapkan barang-barang untuk misiku besok. Bye."
Sean masih melongo di tempat. Ia bingung dengan maksud Yui. Ia masih memproses kalimat Yui dengan kecepatan super lambat. Sementara Yui sudah menghilang di ujung koridor setelah berpamitan pada Rave dan meminta Rave menghubunginya kalau ada kabar tentang Shara.
"Ca-lon pacar? Sean Kotatsuki? Ja-jadi Shara...," ulang Sean dengan bingung. Sekian lama berpikir, ia baru menyadarinya. "Eh! Tunggu dulu! Sean Kotatsuki kan namaku!"
Rave yang melihat tingkah aneh Sean hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia heran kenapa dia bisa berteman baik dengan Sean yang super lemot ini. Ia segera berdiri dan menepuk pundak Sean sampai pemilik pundak menoleh.
"Kau memang bodoh. Aku pulang dulu ya. Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi aku," kata Rave.
"Bodoh? Siapa?" Sean masih terserang penyakit lemotnya hingga ia begitu telat memproses apa kata Rave. Saat ia sudah menyadari apa maksud Rave, ia langsung berteriak kesal. "Rave! Aku tidak bodoh! Kau yang bodoh!"
"Tsutt! Jangan ribut!" Peringatan tajam dari para suster melengkapi kesialan Sean. Buru-buru ia menunduk meminta maaf.
"Sial, aku benar-benar sial hari ini," gumamnya kesal.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ



Fukuzawa's House, Orbitary Village, 2 a.m.


"Yu-chan, setiap hari kau harus menelepon ayah. Jangan lupa," kata Riku.
Yui yang sedang membereskan pakaian untuk misinya hanya mengangguk samar. Ia bingung harus membawa baju jenis apa.
"Oya, Mora bilang kau akan tinggal bersama salah satu klan. Tapi dia tidak mengatakan dengan jelas klan mana," kata Riku. Ia melihat-lihat barang bawaan Yui dengan penuh minat.
"Hem, aku dengar juga begitu. Udagaki Sensei bilang dia akan mengatakannya sebelum aku berangkat," sahut Yui. Ia kembali menimbang-nimbang dua benda di tangannya setelah mengatakan itu. Dua benda yang sama tingkat keanehannya. Seingatnya ia tak punya benda seperti itu. Setelah berpikir lama, akhirnya ia tak membawa keduanya. Ia sudah akan meletakkan kedua benda itu ke atas meja tapi ayahnya berteriak cukup keras.
"Jangan! Bawa benda itu!" Riku menarik paksa kedua benda itu lalu memasukkannya ke dalam koper Yui.
"Ayah! Benda apa itu? Aku tidak membutuhkannya," sergah Yui.
"Tidak! Kau akan sangat membutuhkannya, Yu-chan."
"Untuk apa benda aneh itu?" tanya Yui dengan nada sarkatis.
"Biar ayah jelaskan. Pertama benda ini." Riku mengambil kembali benda menyerupai topi lebar yang tadi ia masukkan ke dalam koper Yui. Ia menunjukkan topi itu dengan penuh semangat pada Yui. "Ini namanya Sun Protection Hat. Ini akan melindungimu dari sinar matahari saat kau menjadi vampir agar wajahmu tidak pucat."
Yui menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Ayah, sejak kapan vampir takut sinar matahari. Mereka cukup menyukainya karena mereka ingin kulit pucat. Yeah, walaupun hanya beberapa menit mereka terekspose sinar matahari secara langsung. Lagipula aku bisa mengenakan kacamata atau berlindung di dalam ruangan daripada mengenakan itu. Waktu penyelidikan yang ku gunakan adalah malam bukan siang. Mereka tidak beraktivitas banyak pada siang hari. So I don't need this hat, Dad."
Riku nampak kecewa walaupun apa yang dikatakan Yui benar. Tapi semangatnya kembali muncul saat menunjukkan benda lain berbentuk tongkat silinder dengan panjang 30 cm dan diameter 3 cm. "Ah, bagaimana kalau benda yang satu ini. Namanya Attack Stick. Alat ini bisa mengalirkan listrik. Kau akan sangat membutuhkannya saat vampir menyerangmu saat tidur."
Yui berdecak kesal. Alat dari ayahnya sangat konyol. Bagaimana mungkin ada yang akan menyerangnya saat tidur? "Ayah, look at me and listen to me."
Yui menatap ayahnya dengan lembut. Ia menggenggam tangan ayahnya erat-erat. "Aku bisa menjaga diri. Aku akan baik-baik saja, ayah. Percayalah padaku."
Riku terdiam. Ia tahu kalau Yui bisa menjaga dirinya sendiri. Namun ia tak bisa melepas Yui begitu saja ke kandang singa tanpa bantuan peralatan apapun. Ia tak tega dan tak rela melakukan hal itu.
"Yu-chan, kau tahu betapa ayah sangat menyayangimu. Ayah tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu. Ayah hanya...."
"Aku tahu. Tapi percayalah padaku, ayah. Aku janji, aku akan baik-baik saja."
"Ya, aku percaya. Tapi tetap hubungi ayah kalau sesuatu terjadi padamu. Apapun itu."
Yui tersenyum simpul. Ia memeluk ayahnya erat-erat. Mungkin ini akan menjadi pelukan terakhirnya dengan ayahnya sebelum ia berangkat ke Oyharo city.
Yui tahu kepergiannya besok akan terasa sangat berat. Di satu sisi, ia ingin mencari pelaku pembunuhan yang membuat heboh. Tapi di sisi lain, ia tak tega meninggalkan ayahnya sendirian. Walaupun selama ini ayahnya memang sendirian karena ia tinggal di asrama. Namun tetap saja berat baginya untuk meninggalkan ayahnya. Selain itu, Shara masih sakit. Ia mengkhawatirkan teman baiknya itu. Walaupun Sean akan setia menjaga Shara. Terakhir, ia tak akan bisa menatap wajah tampan Rave yang selalu mengusik otaknya. Apa ia sanggup hidup jauh dari orang yang ia sayangi?
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ



Centerene Palace


Angin berhembus bebas di luar mansion utama Centerene Palace. Dedaunan kering beterbangan sampai di koridor luar mansion. Terkadang, angin berhembus kencang. Menggoyangkan pepohonan dan menabrak pintu geser hingga menimbulkan suara berisik. Berbeda dengan suasana hening di dalam sebuah ruangan mansion. Seorang wanita berambut hitam panjang duduk bersimpuh di samping tuannya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk menunjukkan rasa hormatnya pada tuannya.
"Anda yakin akan melakukannya, Ryuta-sama?" tanya Liannaka-wanita berambut hitam itu dengan pelan. Ia masih menundukkan kepalanya dengan hormat.
"Apa kau meragukanku, Lian?" tanya Ryuta dengan nada datar. Ia tidak melihat Liannaka sedikitpun. Ia sibuk menyeduh teh hijau kesukaannya.
"Tidak. Tentu tidak, Ryuta-sama. Maafkan saya karena telah lancang menanyakannya." Liannaka semakin menundukkan wajahnya. Ia merasa sangat bersalah. Ia sama sekali tak bermaksud meragukan rencana tuannya. Ia hanya takut kalau takdir tidak berpihak pada klan Kurochiki. Ia takut kalau penerus klan yang selama ini mereka jaga akan berada dalam bahaya jika ada di tempat dimana dia seharusnya berada.
"Maaf atas kelancangan saya, Ryuta-sama. Saya pantas mendapat hukuman," kata Liannaka dengan penuh rasa hormat.
Ryuta tersenyum sekilas. "Tidak apa-apa. Aku tahu kau mencemaskan dia. Aku tahu kau takut jika usaha kita selama ini akan sia-sia. Aku juga merasakan hal yang sama."
Liannaka mendongakkan kepalanya dengan cepat karena kaget akan apa yang dikatakan Ryuta. "Ryuta-sama..."
"Tapi aku tetap percaya pada takdir seperti aku percaya pada kakakku sepenuhnya. Walaupun sering aku merasa kalau takdir sedang mengujiku. Tapi kata-kata kakak membuatku yakin."
Liannaka kembali menundukkan kepalanya. Ia tahu kalau tuannya belum selesai bicara. Sebagai pelayan, ia hanya berhak melakukan apa yang diperintahkan tuannya.
"Saat Felicite-san mengatakan ramalan itu pada kakakku, aku bisa melihat wajah kakakku tetap tenang. Ia tidak terkejut sama sekali. Dengan tenang dia berkata, 'Aku tahu. Aku percaya takdir dan aku yakin takdir akan memberikan jalan terbaik untukku.' Aku sempat kaget mendengarnya, tapi aku berpikir itu sangat konyol. Hingga kakakku mengajarkan padaku kalau semua orang memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Kali ini aku akan diam menunggu takdir untukku, untuk klanku dan untuk keponakanku."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ




Northless Palace



Aula utama kerajaan terlihat ramai. Semua pemimpin klan dari semua klan di kerajaan Vampir telah berkumpul di sana. Mereka menunggu pengumuman dari sang Raja.
"Mohon perhatian pada semua pemimpin klan. Raja akan segera menyampaikan pengumuman penting," kata Adolph.
Semua yang ada di dalam ruangan terdiam. Mata mereka tertuju pada Raja mereka, Aiden. Semua menunggu sang Raja menyampaikan pengumuman.
"Aku sudah mendengar tentang penyerangan Vampir Mud-Blood di pinggiran kota Furishi. Aku juga mengucapkan selamat pada Novak Yamaichi atas keberhasilanmu mengatasi mereka. Aku hadiahkan Lily Yon padamu," kata Aiden dengan penuh wibawa.
"Terima kasih, Yang Mulia," kata seorang pria berambut hitam sambil sedikit membungkuk. Mata beriris coklat kemerahannya berkilat sombong. Sementara pemimpin klan lain hanya mengucapkan selamat.
"Satu lagi yang ingin ku sampaikan. Besok akan datang tamu istimewaku dari Tosakyo city. Dia akan tinggal di Centerene Palace selama ia ada di sini," kata Aiden.
"Yang Mulia, apakah tamu Aiden-sama adalah manusia? Bukankah itu sangat membahayakan baginya bila ada di sini?" tanya seorang pemimpin klan yang duduk di kursi paling ujung sebelah kanan.
"Yang Mulia, bukankah Centerene Palace tertutup untuk umum? Lalu kenapa anda menempatkan tamu anda di sana?" sambung pemimpin klan lain.
Aiden tersenyum simpul. Sama sekali tak menjawab pertanyaan dari pemimpin klan. Matanya menatap lurus ke arah pintu masuk aula utama.
"Selamat datang, Kurochiki-san," sambut Aiden dengan ramah.
Semua mata memandang ke arah pintu utama. Mereka menghujami beberapa sosok di hadapan mereka dengan tatapan bingung, kaget dan penasaran. Sang pemimpin klan Kurochiki yang datang ditemani pelayan-pelayan setianya.
"Bagaimana mungkin dia menghadiri pertemuan ini?" batin pemegang Lily Yon. Dengan sedikit angkuh ia berdiri dan menyapa Ryuta. "Ada apakah gerangan yang membuat Kurochiki-san berkenan hadir di pertemuan ini?"
Ryuta tak mempedulikannya. Ia berjalan lurus menuju kursi yang paling dekat kursi Raja. Ia langsung duduk tanpa berbasa-basi pada sekitarnya. Ia tetap memasang wajah datar tanpa ekspresi.
"Aku sengaja meminta Ryuta-san untuk datang karena ada hal penting menyangkut klan Kurochiki," kata Aiden.
Ryuta tersenyum dingin. Ia membungkuk sekilas pada Aiden. Mata coklat terangnya menatap lurus ke arah Novak Yamaichi. Ia memang mempunyai kesentimentilan khusus pada Novak. Karena Novak lah vampir yang selalu menekan klan Kurochiki untuk memurnikan semua vampir setelah munculnya vampir murni yang terpilih.
"Aku hanya memenuhi undangan Aiden-sama. Aku tidak keberatan pada permintaannya. Aku yakin tamu Yang Mulia akan aman di mansionku. Satu vampir murni lebih dari cukup untuk menjaga seorang tamu Raja."
Kalimat itu seakan membungkam semua vampir yang ragu. Mereka tahu betapa hebatnya klan vampir berdarah murni Kurochiki.
"Jadi apakah tamu Yang Mulia benar-benar seorang manusia?" tanya Novak Yamaichi. Tatapan matanya tertuju pada Ryuta yang duduk tak jauh hadapannya.
"Kau akan segera mengetahuinya, Yamaichi-san," kata Aiden dengan tenang. Walaupun ia masih meragukan kalau dia adalah gadis manusia yang berkunjung kemarin sebagai utusan hunter. Kepastiannya akan terlihat besok.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ





Hunter's Rules
"Don't break the mission whatever have done."
Diposting oleh Zicra Zalathha Malfoy di 18.02
Label: The Last Pure-Blood Vampire
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru » « Posting Lama
Langganan: Posting Komentar (Atom)

My Friends' Blog

Jceys-Online


My Song


MusicPlaylistView Profile
Create a MySpace Playlist at MixPod.com

Blog Archive

  • ▼  2012 (11)
    • ►  Juni (3)
    • ▼  April (8)
      • Zion Academy - Prolog
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Uncertainty
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Wrathful
      • The Last Pure-Blood Vampire - The First Trace
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Infiltration
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Forbiden Experi...
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Murderer
      • The Last Pure-Blood Vampire - The Beginning

About Me

Foto Saya
Zicra Zalathha Malfoy
Lihat profil lengkapku

Labels

  • Bloody Love Run Away (1)
  • Mahootsukai Gakuen (1)
  • The Last Pure-Blood Vampire (8)
  • Zion Academy (1)
  • Beranda

Popular Posts

  • The Last Pure-Blood Vampire - The Anxiousity
    Seventh Rule of Seven Rules "Vampire doesn’t allowed kill human without decision from Hunter and Vampire Kingdom." The Last ...
  • Zion Academy - Prolog
    Prolog Los Angeles 2 a.m at Fullmoon Night Darah berceceran membasahi tiap-tiap sudut kota. Tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak tanpa d...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Uncertainty
    Sixth Rule of Seven Rules "Vampire can mark their mate and live together with their mate, although the mate is human." The ...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Infiltration
    Third Rule of Seven Rules "Human can give their blood for vampire and to be vampire with sincerely and not in underpreasure."...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The First Trace
    Fourth Rule of Seven Rules "Vampire can use their power to influence human for get blood after 12 p.m." The Last Pure-Blo...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Forbiden Experiment
    Second Rules of Seven Rules "Vampire can't kill hunter who guard human except hunter avoid the hunter's rules." The L...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Murderer
    First Rule of Seven Rules "Human doesn't allowed to go out from their house after 12 p.m. until 4 a.m. If they run against fr...
  • Spoiler - Bloody Love Run Away
     credit photo : Takamiya Satoru - My Medicine - Aoi & Inori BLOODY LOVE “RUN AWAY” Inspired by a Greatest Novel of JK Rowling, “HAR...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Beginning
    What do you think about the darkness behind of you? What do you think about your shadow? Have you ever think about your destiny? Do you ...
  • The Last Pure-Blood Vampire - The Wrathful
    Fifth Rule of Seven Rules "Vampire and Hunter can attack each other if anyside avoid rule." The Last Pure-Blood Vampire | The ...

Tom Felton

Tom Felton
Draco Lucius Malfoy

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "


 
Copyright © Zicra Zalathha Malfoys' World. All rights reserved.
Blogger template created by Templates Block. Price India. Hostgator Coupon.