Fifth Rule of Seven Rules
"Vampire and Hunter can attack each other if anyside avoid rule."
The Last Pure-Blood Vampire | The Wrathful
If you can change your destiny, what do you want to change?
If you can stop your destiny, what do you want to remove?
If you can zoom out your destiny's paper, what do you want to see?
If you can disappear your destiny's paper, what do you want to write?
Are you sure that you can do that?
Actually everyone only can walk in the right way without knowing what will happen to them.
Sorrowforest, 11.40 p.m.
Yui meletakkan rangselnya ke atas tempat tidurnya. Dengan tergesa-gesa ia memasukkan pistol Hunternya, Darkyuri ke dalam mantelnya. Ia mengikat tali sepatunya lebih kuat.
"Kau akan kemana, Yui?"
Yui dikagetkan dengan pertanyaan tiba-tiba dari Liannaka yang sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. "Em, aku akan ke Sorrowforest."
Liannaka terdiam namun tatapannya tetap tertuju pada Yui yang masih sibuk mengikat tali sepatunya.
"Kau tidak memakai stileto?" tanya Liannaka.
Yui mendongak sekilas. Ia menggeleng pelan. Ia mengingat kejadian kemarin malam saat ia mengejar Rima. Ia tidak bisa bergerak cepat dalam berlari. Itu membuatnya nyaris kehilangan jejak Rima berkali-kali. "Tidak. Itu membuatku tidak bisa bergerak cepat."
"Yui, Ryuta-sama memintaku untuk memberikan ini padamu. Kau bisa menggunakannya untuk sementara waktu," kata Liannaka sambil mengulurkan sebuah katana indah kepada Yui.
"Benarkah? Terima kasih, Liannaka-san." Yui menatap katana yang sudah berpindah ke tangannya. Sebuah katana bergagang putih bersih. Mata pedangnya nampak berkilau.
"Pergilah, dan berhati-hatilah. Kau tentu tahu kalau Vampir Mud-Blood mengincar anggota klan," pesan Liannaka.
Yui mengangguk sekilas sebelum berjalan menuju jendela kamarnya. Ia memang terbiasa keluar dengan melewati jendela kamarnya.
"Aku tahu, Liannaka-san. Aku akan berhati-hati. Sampaikan rasa terima kasihku pada paman," pamit Yui.
"Ya. Pasti akan ku sampaikan."
Yui langsung melompati bingkai jendela. Ia segera berlari menuju gerbang Centerene Palace. Sebagai vampir mutasi ia tidak bisa mempunyai 3 kemampuan vampir Half-Blood dan Pure-Blood pada umumnya. Yaitu sihir, membuat blackhole, dan mengobati diri sendiri. Ia tak ubahnya seperti vampir Mud-Blood.
"Rolfer," desis Yui saat sampai di gerbang keluar akademi. Ia langsung mengejar Rolfer. Ia tak perlu berhadapan dengan penjaga gerbang karena ia mengenakan seragam akademi. Sangat menguntungkan baginya.
Ia terus berlari mengejar Rolfer yang berlari dengan cepat. Ia nyaris kehilangan jejak saat Rolfer berbelok. Tap! Ia berhenti berlari dan berdiri terpaku di tengah hutan. Ia telah kehilangan jejak Rolfer. Ia menatap sekelilingnya yang hanya hutan lebat. Hanya ada pepohonan rimbun yang gelap gulita.
"Kau mencariku?"
Ia langsung memutar tubuhnya ke arah dimana suara itu berasal. Ia kaget setengah mati saat melihat sosok Rolfer ada di depannya. Berdiri tegak dengan seringai menakutkan.
"Ya," jawab Yui tanpa ragu. Entah kenapa, ia yakin kalau pelakunya adalah Rima dan Rolfer. Ia merasa pernah bertemu Rolfer jauh sebelum ia masuk ke akademi. Tapi ia tak terlalu memikirkannya. Perasaannya selalu mengatakan hal aneh tentang apa yang ia lihat dan alami.
"Apa maumu?" tanya Rolfer dengan nada dingin. Ia sudah menduga kalau Yui akan mengikutinya. Dan ia memang sengaja menjebak Yui. Yang sedikit membuatnya heran adalah katana indah di tangan Yui. Apa itu disiapkan untuk membunuhnya?
"Menghentikan eksperimenmu sebelum kau menyesal." Yui mengatakannya dengan nada datar. Ia menatap lurus ke manik mata Rolfer yang mulai memerah karena marah tentunya.
Rolfer membelalakkan matanya. Ia tak menyangka kalau Yui akan mengatakan hal itu. "Darimana kau tahu? Sejak kapan kau tahu?"
Yui menghela nafas. "Sejak kemarin saat aku menolong Rima. Entah kenapa aku yakin kalau kalian pelakunya. Sebaiknya kalian menghentikannya."
"Bukan urusanmu!" seru Rolfer keras. Ia tak suka diatur, walaupun jujur ia akui kalau ia ingin menghentikannya. Terlalu berat tekanan kemanusiaan yang ia terima.
Yui memejamkan matanya sejenak. "Kau tahu. Kau melewatkan satu hal penting."
Rolfer mengernyitkan keningnya. Tak mengerti akan apa yang dimaksud Yui. "Apa maksudmu? Hal penting apa yang ku lewatkan?"
"Kau tidak tahu?"
Rolfer menggeram marah. "Cepat katakan!"
"Baiklah." Yui menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Tujuannya mengejar Rolfer sampai ke akademi memang untuk menghentikan perbuatan melanggar hukum yang telah dilakukan Rolfer dan Rima. Dugaannya tepat kalau kedua vampir itu melupakan syarat penting peleburan. Dari awal tujuannya memang bukan untuk menangkap pelaku tetapi menyadarkan dan menghentikan semuanya sebelum terlambat.
"Dalam buku The Forbiden Way for Safe Our Purity karya John Ust Kurochiki pada halaman terakhir dituliskan bahwa 'Yang bisa menghidupkan seorang Kurochiki melalui Peleburan hanyalah seorang Kurochiki pula. Walaupun pengumpul sampel adalah bukan seorang Kurochiki.' Bukankah sudah jelas kalau apa yang kau lakukan sia-sia. Paman Ryuta sudah menegaskan sejak awal tragedy kalau dia tak akan mau menghidupkan satu pun anggota klan Kurochiki yang menjadi korban. Karena itu janjinya pada kakaknya, Athrun-sama. Vampir Pure-Blood yang kemungkinan besar akan kau hidupkan melalui jalan peleburan ini."
"Aku tahu itu. Tapi aku yakin aku-"
"Tidak. Walaupun paman Ryuta mau melakukannya, tetap tidak akan berhasil jika Athrun-sama tidak menginginkan hal itu terjadi. Kalau paman Ryuta mau, pastinya dia sudah melakukannya sejak dulu," jelas Yui dengan ekspresi sedih. Mengingat tragedy Bulan Sabit yang menewaskan nyaris seluruh anggota klan selalu membuatnya kesal. Kenapa itu harus terjadi?
Rolfer terdiam. Ia baru tersadar. Apa yang dikatakan Yui benar. Ia melupakan hal penting yang harusnya ia lakukan sebelum memulai eksperimen ini. Menanyakan kesediaan paman Ryuta. Kalau paman Ryuta menolak, ia tak tahu harus berbuat apa untuk menebus nyawa tak berdosa yang ia ambil. "Kau benar."
"Kau tidak merasa bersalah atas nyawa yang kau ambil?" tanya Yui dengan nada menyindir. Sampai detik ini sudah ada 21 nyawa yang terambil sia-sia.
"Maaf, aku be-"
"Sudahlah. Semua sudah terlanjur," potong Yui sebelum Rolfer selesai berbicara. Tidak ada gunanya menanyakan itu pada Rolfer. Yang mati tetaplah pergi tanpa bisa kembali lagi. Itulah takdir yang dipegang klan Kurochiki sebenarnya. "Walaupun sebenarnya aku ingin menyeretmu ke Hunter 'ELF' Law-Court, tapi aku tidak akan melakukannya."
"Kenapa? Bukankah kau menjadi vampir untuk menangkapku?" tanya Rolfer tanpa bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
"Yeah, tapi apa yang dilakukan klan Kurochiki untuk kami, ratusan kali lipat dari nyawa yang kau ambil. Jujur saja, aku juga ingin Athrun-sama dan semua anggota klan Kurochiki hidup kembali. Bagi kami, mereka adalah dewa penyelamat kami. Kalau bisa kami akan senang membantumu, jika saja kau mengatakan itu pada kami terlebih dahulu."
"Kenapa kalian begitu menghormati klan Kurochiki?" tanya Rolfer dengan nada tak percaya.
"Sudah aku katakan tadi, mereka dewa penyelamat kami." Yui menatap Rolfer dengan agak kesal sebelum berbalik membelakangi Rolfer. "Sebaiknya aku pulang."
"Hei, tunggu! Apa kau tidak menyesal misimu gagal padahal kau sudah rela menjadi vampir," kata Rolfer. Ia penasaran apa yang akan dilakukan Yui selanjutnya.
"Tidak. Aku bukan vampir seperti kalian. Aku bisa jadi manusia lagi," sahut Yui tanpa beban. Ia sudah mulai melangkahkan kakinya.
Rolfer tak terima akan jawaban ambigu yang keluar dari mulut Yui. Yui baru 2 hari ada di akademi, apa dia akan pergi begitu saja setelah misinya gagal?
"Hei, tu-"
Deg!
Yui berhenti bergerak. Ia menatap Rolfer yang melakukan hal yang sama. Keduanya terdiam begitu menyadari ada yang datang. Sebelum keduanya banyak bergerak, mereka sudah dikepung beberapa vampir Mud-Blood dan puluhan zombie.
"Sial," desis Yui pelan. Ia mencengkeram katananya dengan erat.
"Apa kau haus, Rolfer-san?" tanya Yui pada Rolfer.
"Sedikit." Jawaban ragu lah yang Rolfer berikan. Ia memang haus dan itu jadi bencana jika harus melawan zombie dan vampir sebanyak ini.
"Serang!" seru salah seorang vampir yang berambut blonde.
Semua zombie langsung menyerang sementara para vampir hanya menonton di pinggir arena pertarungan. Mereka menyerang Yui dan Rolfer dengan membabibuta. Tanpa ragu dan tanpa perhitungan.
"Menyebalkan!" seru Rolfer dengan kesal sebelum menendang zombie yang akan menyerangnya.
Yui memejamkan matanya sejenak sebelum mengambil pistol dari dalam mantelnya. Ia menarik katana dari sarungnya. Mata pedangnya berkilat di gelapnya malam. Ia tetap memegang pistol di tangan kirinya sementara tangan kanannya mulai menggerakkan katana untuk menebas zombie yang menyerangnya.
Rolfer memukul wajah zombie yang akan menggigitnya. Lantas menendang zombie yang lain dan memiting tangan zombie yang menyergapnya dari belakang. Nafasnya mulai terengah setelah mengalahkan semua zombie yang menyerangnya. Ia melirik ke arah Yui yang nampak telah selesai membinasakan zombie bagiannya. Katana yang Yui pegang berlumuran darah.
"Hei, da-rimana kau dapat pistol dan katana itu?" tanya Rolfer penasaran. Ia tahu kalau zombie yang dibunuh Yui lebih banyak daripada zombie yang ia bunuh.
"Huh? Aku membawa pistol dari Tosakyo dan katana ini dari paman," jelas Yui singkat. Ia kembali waspada dan mengacungkan katananya ke arah para vampir yang mengepungnya dan Rolfer.
"Cih! Tinggal mereka yang tersisa," kata Rolfer.
Yui mengangguk. Matanya tetap menatap lurus ke arah vampir yang mengepungnya dan Rolfer. Ada 5 vampir bertopeng dan 1 vampir tanpa topeng yang berambut blonde tadi. Ia merasakan ada yang aneh pada Rolfer. Ia yakin Rolfer mulai kelelahan. Apalagi Rolfer dalam keadaan haus. Dan ini sudah lewat tengah malam. Rasa haus itu bisa menurunkan setengah kekuatannya.
"Rolfer-san, kalau kau lelah, jangan terlalu memaksakan diri," pesan Yui tepat sebelum vampir di sekeliling mereka menyerang.
"Ya." Rolfer menjawab singkat. Ia kembali disibukkan dengan 3 vampir yang menyerangnya secara bergantian dengan menggunakan pedang. Ia berusaha merebut salah satu pedang namun lengannya tergores. Ia marah dan langsung menendang vampir yang melukainya sampai menabrak pohon. Bugh! Ia terjatuh di tanah karena pukulan di punggungnya. Secepat kilat ia menghindar sebelum sebuah pedang menebas kepalanya. Ia mulai kelelahan. Tapi ia tetap mencoba menangkis dan menghindari serangan cepat 3 vampir yang menyerangnya. Sret! Crash! Lagi. Ia tergores lagi di lengan dan perutnya. Ia jatuh terduduk dan pasrah akan apa yang akan terjadi nanti.
Di lain pihak di waktu yang sama.
Trang! Trang! Yui beradu pedang dengan 3 vampir di hadapannya. Ia menangkis tebasan vampir pertama dan membuat pedang vampir itu terlempar jauh. Ia segera menusuk jantung vampir pertama. Ia tersenyum puas karena telah menumbangkan satu vampir. Namun ia lengah, sehingga tak menyadari serangan yang akan dilancarkan vampir di belakangnya. Saat ia membalikkan tubuhnya, tebasan pedang mengarah padanya dan dengan sukses menggores perutnya. Ia mengumpat kesal sebelum menebas tangan vampir yang melukainya. Tanpa ampun sedikit pun, ia menusuk jantung vampir itu. Ia sudah akan menusuk jantung vampir terakhir saat matanya menangkap sosok Rolfer yang akan ditebas tepat di kepalanya. Dengan cepat, ia mengarahkan pistolnya ke arah vampir yang akan menyerang Rolfer. Ia berharap semuanya belum terlambat. Pelatuk pistol ditarik secepat yang ia bisa.
Dor! Dor!
Trang! Jleb! Crash!
Yui tersungkur di tanah sambil memegangi dada bagian kanan tepat di bawah tulang selangkanya. Pistolnya sudah terjatuh setelah berhasil memuntahkan 2 peluru dalam waktu bersamaan. Darah mengalir dari sela jemarinya yang memegang dadanya, tepatnya memegang pedang yang menancap di dadanya.
"Hoekk!" Yui memuntahkan darah dari mulutnya. Ia bisa merasakan darahnya mengalir cepat ke seluruh tubuhnya. Terutama di bagian yang terluka. Sangat terasa jika darah itu mengucur deras dari lukanya.
Rolfer yang awalnya memejamkan mata, akhirnya membuka matanya karena mendengar dua suara tembakan. Saat matanya terbuka lebar, ia dapat melihat dua vampir di hadapannya terhuyung jatuh ke tanah. Ia langsung memutar kepalanya ke arah Yui berada. Matanya langsung membulat ngeri. Ia melihat sebuah pedang menancap sempurna ke dada kanan atas Yui, tepat di bawah tulang selangka. Pemandangan mengerikan itu lebih terlihat mengenaskan saat Yui memuntahkan darah lewat mulutnya.
"Yui-san," panggil Rolfer dengan berbisik. Ia tak lagi fokus pada pedang yang teracung ke arahnya dari sisa vampir yang hidup.
"Argh!"
Brugh! Pekikan keras dan suara berdebum merangsek ke indera pendengaran Rolfer. Dengan cepat ia memutar kepalanya ke arah para vampir yang tersisa berada. Kedua vampir Mud-Blood itu terkapar di tanah dengan darah keluar dari kening mereka. Kengerian super membayang di wajah mereka yang telah menemui ajal. Rolfer terhenyak kaget. Ia mengenal cara membunuh yang kejam ini. Ia melihat sekitar dengan jelalatan. Tatapannya baru berhenti saat bertemu pandang dengan mata semerah darah dari sosok yang berdiri tak jauh darinya.
"Niel!" serunya keras. Ia berusaha untuk berdiri namun rasa hausnya membuat tenaganya terkuras habis. Ditambah pula dengan pertempuran sengit tadi.
"Jangan memaksakan diri," kata Niel dengan nada datar sambil membantu Rolfer berdiri. Ia menyodorkan tablet darah kepada Rolfer. "Makanlah."
Tanpa ragu Rolfer menerimanya. Ia merasa lebih baik setelah menelan dua butir tablet darah. Luka-lukanya mulai menutup secara perlahan. "Hah, syukurlah kau datang. Aku hampir mati kalau Yui-Ah! Tidak! Yui-san?"
Rolfer seakan tersadar atas apa yang terjadi. Ia segera melihat keadaan Yui. Niel mengikutinya. Menghampiri tubuh Yui yang penuh luka. Kemeja seragamnya penuh darah.
"Hwah! Dia terluka parah!" seru Rolfer dengan cemas. Ia membalik tubuh Yui. Pedang masih menancap di dada Yui.
"Dia akan baik-baik saja. Dia bisa menyembuhkan luka sama seperti kita," kata Niel datar.
Rolfer menggeleng pelan. Ia bisa melihat keanehan pada luka-luka di tubuh Yui. Tak ada indikasi akan sembuh dengan sendirinya. Darah terus mengalir tanpa henti. Ia kembali teringat kalimat Yui yang mengatakan kalau dia bukan vampir seperti dirinya dan dia bisa menjadi manusia kembali. 'Tunggu! Menjadi manusia kembali? A-pa mungkin vampir obat mutasi?' pikir Rolfer.
"Tidak, Niel. Dia tidak seperti kita. Lukanya tidak menutup dan darahnya semakin banyak yang keluar. Dia juga bilang kalau dia bisa menjadi manusia lagi," jelas Rolfer sambil tetap menatap tubuh Yui tanpa menyentuhnya sedikit pun. Ia takut, cemas juga enggan. Bagaimana mungkin ia lancang menyentuh gadis sepupunya sendiri tanpa izin?
Niel terdiam begitu mendengar pernyataan Rolfer. 'Bisa menjadi manusia kembali? Apa maksudnya vampir mutasi? Ah, pantas saja dia bisa menjadi vampir dalam sehari. Tapi dia bisa mati jika tidak segera ditolong,' pikirnya.
Ekspresi wajahnya berubah kaku. Ada sensasi aneh menyergap dadanya. Seolah-olah hatinya tercabut dari akarnya. Ia merasa sakit melihat Yui seperti itu. Penuh luka dan bersimbah darah. Ia tak tega melihat Yui mengerang kesakitan. Ia tak ingin kehilangan sosok Yui yang mampu membuatnya merasa aneh.
"Niel."
Panggilan pelan Rolfer menyadarkannya dari lamunannya. Tanpa ragu ia mendekat pada Yui. Ia mengusap noda darah di bibir Yui. Tindakannya itu cukup untuk membuat Rolfer heran. Tapi ia tak peduli. Dengan perlahan, ia mencabut pedang yang menancap di dada Yui. Darah langsung mengucur keluar melalui luka menganga itu. Dengan cepat ia melepas mantelnya dan membungkus tubuh Yui dengan mantel itu. Seolah membutuhkan kepastian, ia mencolek darah di dada Yui dengan ujung jarinya. Lantas ia menjilatnya dengan penuh perasaan. Rasa manis menyesap sempurna ke indra perasanya. Rasa manis yang sama. Dan itu cukup untuk membuktikan kalau Yui masih manusia.
"Kau tidak akan menggigitnya kan, Niel?" tanya Rolfer cemas.
Niel tersenyum simpul. Ia menggeleng pelan sebelum mengangkat tubuh Yui ke dalam gendongan tangannya. Ia segera membuka blackhole dan berjalan menuju ke arah lubang hitam itu. Ia melirik sekilas ke arah Rolfer. "Ayo, Rolf. Kita harus kembali secepatnya."
"Eh? Kemana? Centerene Palace atau Northless?" tanya Rolfer sambil berjalan cepat di belakang Niel.
"Hm." Niel tak menjawab. Ia tetap diam sambil menatap lurus ke arah blackhole. Ia menatap Yui dalam-dalam sebelum masuk ke dalam blackhole. Ia nampak bergulat dalam pikirannya sendiri. Sibuk memikirkan apa dan kenapa ia merasakan kerinduan mendalam pada Yui. Kenapa jantungnya terus berdetak tak karuan karena Yui? Kenapa matanya tak mau berpaling dari Yui? Kenapa ia begitu ingin melindungi Yui?
Grep!
Niel menunduk saat merasakan ada yang meremas kemejanya. Ia bisa melihat sosok Yui di tengah gelapnya blackhole. Gadis yang terluka parah itu menatapnya lemah. Tatapan penuh kesakitan dan penderitaan.
"Ka-u..."
Suara Yui serak dan berat. Ia nampak sangat menderita hanya untuk mengucapkan 2 patah suku kata. Sinar matanya meredup. Dan itu membuat Niel semakin cemas. Ia mengeratkan rengkuhannya pada tubuh Yui.
"Tenanglah. Kau akan baik-baik saja," bisik Niel tepat saat kakinya melangkah keluar dari blackhole.
"Northless Palace ya," gumam Rolfer pelan. Dengan setia, ia tetap berjalan di belakang Niel. Seulas senyum terukir di bibirnya. 'Pemandangan romance gratis,' pikirnya. Jarang sekali ia melihat Niel selembut itu dalam memperlakukan seorang gadis. Nampaknya pucuk-pucuk cinta mulai bersemi di hati Niel yang suram.
"Kakak!"
Seruan Anza menghentikan langkah Niel. Ia mendekatkan tubuh Yui ke tubuhnya. Ia menatap canggung ke arah Anza yang berlari mendekatinya.
"Apa yang terjadi?" tanya Anza dengan penasaran. Ia melirik ke arah sosok terbungkus mantel yang ada dalam gendongan kakaknya. Wajah sosok itu tak terlalu jelas karena tertutup mantel. Juga karena posisi wajahnya yang menghadap tubuh Niel.
"Aku diserang, Anza. Untungnya ada Yui yang menolongku," sahut Rolfer tanpa diminta.
Anza langsung menatap tajam ke arah Rolfer. 'Apa aku salah dengar? Yui? Bagaimana bisa? A-pa gadis dalam gendongan kakakku itu Yui?' pikirnya. Dengan cepat ia menatap lekat-lekat sosok itu. Tangannya menyibak mantel yang menutupi wajah Yui. Dia terkesiap. Matanya menangkap wajah Yui yang pucat dan ada noda darah di pipi Yui.
"Yui! Apa yang terjadi?" pekik Anza keras. Ia menatap Niel dan Rolfer secara bergantian. Seolah meminta penjelasan tentang apa yang terjadi pada Yui.
Niel menghela nafas panjang sebelum mata beriris coklat keemasannya menatap Anza dengan lembut. "Rolfer akan menjelaskannya nanti. Sekarang tolong sampaikan pada Paman Ryuta kalau Yui terluka. Aku akan membawanya ke kamarku."
"Hei! Kenapa aku yang harus cerita? Aku bisa dibunuh Anza!" seru Rolfer tanpa sadar kalau Anza ada di dekatnya.
"Apa maksudmu, huh? Aku jelas akan membunuhmu kalau Yui sampai kenapa-kenapa!" seru Anza tak mau kalah.
Tanpa mempedulikan teman dan adiknya yang sedang bertengkar, Niel langsung meneruskan perjalanan menuju kamarnya. Ia menunduk ke arah Yui. Wajah gadis itu nampak tak tenang. Keningnya berkerut seolah sedang menahan sakit. Niel mendesah pelan. Sungguh ia tak tega melihat Yui seperti itu. Menderita dengan semua luka di tubuhnya.
"Ekh... S-sa-k-ki-t," desah Yui sambil mencengkeram kemeja Niel dengan kuat. Matanya terpejam namun gurat kesakitan menguar kuat dalam ekspresi wajahnya.
"Tstt! Tenanglah. Kau akan baik-baik saja," bisik Niel dengan lembut. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Yui. Matanya menatap Yui dengan lembut. Sebelum bibir merahnya menyentuh kening Yui, ia menghentikan apa yang akan dilakukannya. Ia menoleh ke belakang karena menyadari ada yang datang mendekat ke tempatnya berdiri.
"Niel!"
Sesosok wanita cantik berdiri tegak tak jauh di belakangnya. Mata beriris coklat kemerahannya bersinar lembut. Rambut coklatnya tergerai indah sampai ke pinggangnya.
Niel tersentak kaget. Ia menatap wanita itu dengan lembut.
"Ibu!"
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Centerene Palace, 2 p.m.
Anza melompat keluar dari blackhole. Dengan tergesa-gesa, ia berlari menuju mansion utama Centerene Palace. Kekhawatiran tingkat akut membingkai wajahnya dengan sempurna. Keringat dingin terus menetes tiada henti dari keningnya. Ia harus menemui pamannya secepat mungkin. Ia tidak boleh terlambat sedikit pun. Wajahnya sedikit bersinar ketika menangkap sosok pamannya melalui lensa matanya.
"Paman!" serunya keras sambil berlari kencang menuju ke tempat pamannya berdiri.
Ryuta menghentikan langkahnya menuju mansion dimana kamar Yui berada saat mendengar panggilan Anza. Ia menoleh ke arah Anza. Gadis itu sedang berlari kencang menuju tempat ia berdiri.
"Ada apa, Anza?" tanya Ryuta. Ia heran dengan kedatangan Anza. Apalagi wajah keponakannya itu terlihat pucat.
"Hah! A-da hal pen-ting yang ingin ku sampaikan," kata Anza dengan nafas terengah.
"Bisakah nanti saja? Aku sedang mencari Yui. Dia belum kembali sejak tadi," kata Ryuta. Ia mencemaskan Yui. Sejak tadi ia merasakan firasat buruk. Ia berharap Yui sudah ada di kamarnya tanpa terluka sedikitpun.
"Ini tentang Yui, paman!" sahut Anza cepat.
Ryuta tersentak kaget. Ia menatap tajam ke arah Anza. "Apa yang terjadi padanya?"
"Dia terluka, diserang Mud-Blood."
Wajah Ryuta berubah tegang begitu mendengar kata 'terluka' meluncur dari mulut Anza. "Dimana dia sekarang?"
"Northless Palace. Kakak membawanya ke kamarnya."
Ryuta tersentak kaget. 'Niel? Niel membawanya ke kamarnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa Niel sudah tahu kalau Yui masih manusia?' pikirnya.
"Paman diminta kakak ke sana secepatnya," tambah Anza.
"Baiklah, aku mengerti. Kembalilah ke mansionmu, aku akan menyusul," kata Ryuta pelan. Mengetahui kalau Yui terluka membuatnya ingat kejadian berdarah itu. Ia merasa lemah sebagai seorang Kurochiki. Harusnya ia tak menyerah pada takdir begitu saja.
Anza menatap pamannya yang berubah sendu. Ia memeluk pamannya. "Paman jangan terlalu khawatir. Kakak pasti akan mengobatinya."
Ryuta menghela nafas panjang. Ia mengusap rambut Anza. "Ya, paman tahu. Kembalilah ke Northless Palace. Aku akan menyusul."
"Baiklah. Aku pergi, paman."
Anza meninggalkan Centerene Palace dengan berat hati. Ia tahu kalau pamannya pasti menyalahkan dirinya sendiri akan apa yang terjadi. Ia hanya bisa berharap kalau Yui baik-baik saja.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Northless Palace
"Ibu!"
Niel nampak kaget melihat ibunya. Tanpa sadar ia merengkuh tubuh Yui lebih erat. Seolah tak ingin ibunya melihatnya. "Ada apa, Ibu?"
Lacura, wanita yang dipanggil ibu oleh Niel, tersenyum simpul. Ia tahu putranya sudah terlalu lama terjebak dalam kesuraman. Tepat setelah tragedy Kurochiki, ia tak bisa melihat putranya yang lembut, ceria dan polos. Yang ia lihat hanya patung es yang rapuh. "Tidak apa-apa."
Seperti yang telah Niel duga, ibunya mencuri pandang ke arah sosok yang ada dalam gendongannya. Ia menghela nafas pendek. "Aku ke kamar dulu, Ibu."
"Baiklah. Jaga dia baik-baik," kata Lacura sambil menunjuk ke arah Yui.
Niel tersenyum malu. Hal yang jarang ia lakukan. Tanpa menunggu lama, ia langsung meninggalkan ibunya. Ia tak mau ibunya menanyainya lebih jauh tentang Yui.
Lacura tersenyum simpul melihat tingkah putra semata wayangnya. Ia tahu betul siapa yang dibawa oleh Niel. Gadis yang memang seharusnya bersamanya sejak dulu.
"Takdirmu sudah berjalan, Niel. Kau pasti bisa merasakan siapa dia. Ibu berharap kau kembali menjadi Niel yang dulu..."
Niel memperlambat langkahnya saat mendekati kamarnya. Pelayan segera membuka pintu untuknya dengan penuh hormat. Ia sempat melihat pelayannya tersenyum penuh arti padanya. Walaupun agak risih, ia tak terlalu memikirkannya. Yang terpenting sekarang baginya adalah gadis yang ada di gendongannya.
"Tolong siapkan air hangat, perban, antiseptik dan kapas," pintanya sebelum masuk ke dalam kamarnya.
"Baik, Niel-sama," kata pelayan itu. Ia segera menutup pintu begitu Niel masuk ke dalam kamar. Lantas pergi menyiapkan apa yang diminta oleh tuannya.
"Ukh... Uhukkk..."
Yui terbatuk kecil dan darah sedikit mengalir dari celah bibirnya. Wajah Niel langsung memucat. Ia segera membaringkan tubuh Yui ke atas ranjangnya. Ia mengusap kening Yui yang berkeringat dingin. Dengan ibu jarinya, ia menghapus darah yang mengalir dari mulut Yui. Tanpa ragu, ia menjilat jarinya. Mengecap manisnya darah Yui.
"Ekh... Hah..."
Nafas Yui terdengar sesak. Wajahnya semakin pucat. Ia terlihat kesakitan. Niel langsung menyingkap mantel yang membungkus tubuh Yui. Ia memeriksa denyut nadi di leher Yui. Melemah.
Tok! Tok!
"Niel-sama, saya membawakan apa yang Yang Mulia minta," kata pelayan dari luar kamar Niel.
"Masuklah."
Srek! Pintu berderit terbuka. Beberapa pelayan masuk dengan membawa baki di tangan mereka. Mereka membungkuk hormat pada Niel.
"Letakkan di sana," kata Niel sambil menunjuk meja di ujung tempat tidurnya.
"Baik, Yang Mulia."
Pelayan bergantian meletakkan baki ke atas meja. Niel tak memperhatikan mereka sampai mereka keluar dari kamarnya. Tatapan matanya tetap tertuju pada Yui. Tangan kurusnya memainkan helai rambut Yui yang tergerai indah.
"Ah! Ssa-kkittt," gumam Yui. Tangan rapuhnya mencengkeram kemejanya tepat di bagian yang terluka.
Gumam kesakitan Yui menyadarkan Niel. Dengan cemas, ia mendekat pada Yui. Tangannya menarik tangan Yui yang mencengkeram kemeja dengan lembut. Ia menggenggam tangan Yui. Berusaha menenangkan Yui yang nampak gelisah. Dengan tangannya yang bebas, ia menyingkap sedikit bagian kemeja Yui tepatnya bagian sobek yang menutupi luka Yui. Matanya membelalak kaget. Jantungnya berdetak kencang karena melihat kulit di sekitar luka Yui berubah ungu kebiruan.
"Racun!" serunya panik.
"Argh!"
Tiba-tiba Yui berteriak kencang. Wajahnya semakin pucat. Keringat dingin mengalir dari keningnya. Tangannya berusaha mencakar lukanya. Dengan cepat, Niel menahan tangan Yui.
"Jangan lakukan itu, Yuicathra!" seru Niel keras. Ia tidak akan membiarkan Yui melukai tubuhnya sendiri.
Brak!!
"Niel, apa Yui keracunan?" seru Rima tanpa berbasa-basi. Sedetik kemudian, ia tersadar. Wajahnya memerah saat melihat Niel menahan kedua tangan Yui. Dari posisinya berdiri, mereka terlihat seperti akan berciuman. "Ma-maaf. Kakak memintaku untuk memberitahumu kalau pedangnya beracun."
"Aku sudah tahu," kata Niel singkat. Ia sibuk menahan Yui yang memberontak. "Apa Rolfer baik-baik saja?"
"Ya, dia sedang beristirahat sekarang. Apa ada yang bisa aku bantu?" Rima nampak cemas melihat keadaan Yui.
"Tidak perlu. Jaga saja kakakmu!"
"Eh? Baiklah." Rima sudah akan menutup pintu saat Niel memanggilnya.
"Rima, suruh pelayan untuk mengambilkan bunga la-"
"Tidak perlu, Niel-sama," potong Liannaka yang tiba-tiba sudah ada di belakang Rima.
Niel melihat Liannaka sekilas sebelum kembali sibuk menenangkan Yui. Rima tersenyum simpul pada Liannaka sebelum pergi. Tanpa menunggu dipersilakan, Liannaka masuk ke dalam kamar Niel. Di belakangnya ada beberapa pelayan yang membawa bunga lavender dan lily di atas bakinya. Liannaka mendekati Niel. Ia membungkuk hormat.
"Niel-sama, biar saya yang mengobati," pinta Liannaka.
Niel melihat Liannaka sejenak sebelum melepas tangan Yui. Ia beranjak menjauh dari Yui. Tapi ia tetap berada dalam area yang strategis untuk menatap Yui. "Silakan, Liannaka-san. Lakukan yang terbaik."
"Baik, Niel-sama," kata Liannaka sambil membungkuk hormat.
Ia langsung mengisyaratkan pada pelayan untuk mendekat padanya. Ia mengambil semua bunga lavender dan menaruhnya di sekitar tubuh Yui. Sementara bunga lily, ia letakkan ke dalam air hangat. Setelah layu, ia meremasnya sebentar sampai sedikit hancur. Ia membiarkan sari bunga menguar dalam air hangat. Lantas ia membuka kemeja Yui agar lebih mudah membersihkan darah dan luka Yui. Melihat itu, Niel langsung membuang wajah ke arah lain selain tubuh Yui.
"Sebaiknya aku tunggu di luar," kata Niel dengan sedikit gugup.
Liannaka hanya membungkuk hormat. Dalam hati, ia tertawa geli mendengar nada gugup dalam ucapan Niel. Ia segera tersadar dan kembali melakukan tugasnya. Ia memasukkan handuk kecil ke dalam air rendaman bunga lily lantas memerasnya sebentar. Dengan lembut, ia membasuh luka-luka di tubuh Yui. Ia mengulanginya sampai dirasa sudah cukup. Setelah itu ia mengambil botol obat dari tuannya yang ia letakkan di dalam kantong mantelnya. Botol obat kecil berisi cairan ungu pucat. Ia menuang isinya ke atas luka-luka Yui. Secara ajaib, luka itu perlahan menutup. Memar ungu kebiruan mulai memudar.
"Sudah tidak apa-apa, Yui-sama," bisik Liannaka pelan. Ia merapikan rambut Yui yang agak berantakan. Ia tersenyum kecil saat melihat mantel yang mengalasi tubuh Yui. Ia segera keluar dari kamar Niel begitu selesai mengganti baju Yui dan merapikan sisa peralatan untuk pengobatan. Ia menemukan sosok Niel yang bersandar pada dinding di depan kamar dengan wajah gelisah.
"Sudah selesai, Niel-sama," kata Liannaka sambil membungkuk hormat.
"Eh?" Niel tersentak kaget. Ia segera berdiri tegak. "Bagaimana keadaannya? Dimana paman?"
"Yui-sama sudah lebih baik. Hanya butuh istirahat. Ryuta-sama meminta tolong kepada Yang Mulia untuk menjaga Yui-sama selama Ryuta-sama melakukan apa yang harus dilakukan."
Niel mengerutkan keningnya. Bingung akan apa yang Liannaka maksud. "Apa yang harus paman lakukan?"
Liannaka nampak ragu. "Em, sebenarnya Ryuta-sama akan menyerang tempat persembunyian Vampir Mud-Blood di dekat tempat penyerangan Rolfer-sama dan Yui-sama. Maka dari itu Ryuta-sama meminta Yang Mulia menjaga Yui-sama untuk sementara waktu."
"Apa harus sekarang? Kenapa tidak meminta ayah untuk memerintahkan penyerangan?" tanya Niel.
"Tidak apa-apa, Yang Mulia. Ryuta-sama sedang murka. Kami tidak sanggup menghentikannya," kata Liannaka pelan. Ia menunduk sejenak sebelum berpamitan untuk kembali ke Centerene Palace.
"Paman..."
Niel terdiam sambil menatap kosong ke arah lantai. "Paman pasti akan baik-baik saja."
Ia tersadar dari lamunannya. Ia masuk ke dalam kamarnya. Dengan tenang, ia menunggui Yui dengan duduk di sisi ranjang. Menatap Yui dengan lembut.
"Yui, tidurlah yang nyenyak."
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Sorrowforest, 3 p.m.
Ryuta berhenti tepat dimana Rolfer dan Yui diserang. Ia memandang sekelilingnya dengan cermat.
"Kalian periksa semua mayat mereka!" perintahnya pada pasukan yang ia bawa. Tidak banyak. Ia hanya membawa 12 pengawal dan Szatark. Centerene Palace memang tidak memiliki banyak pengawal dan pelayan. Ia lebih suka memiliki sedikit pengawal dan pelayan. Ia lebih mudah mengajari dan melindungi mereka.
"Baik, Yang Mulia."
Semua pengawal menyebar ke segala penjuru lokasi pertarungan. Ada banyak mayat bertebaran di atas tanah. Semuanya sama. Dalam kondisi tak bernyawa. Aroma busuk dari mayat zombie mulai menyeruak ke udara.
"Bakar mayat mereka!" perintah Ryuta lagi. Ia memandang langit yang mendung. Perlahan butiran salju turun dari langit. Ia mendesah pelan. Gejolak kemarahan dalam hatinya belum sepenuhnya mereda. Ia masih bernafsu untuk membunuh vampire Mud-Blood yang ada hubungannya dengan penyerangan ini. Kalau perlu, ia ingin membunuh semua zombie dan vampir Mud-Blood yang populasinya terus bertambah. Ia mulai berpikir kalau vampir Mud-Blood begitu berani melawan kerajaan secara langsung. Ia yakin ini terjadi karena segel kekuatan yang ia buat untuk mereka melemah, tepatnya hilang sejak bulan purnama yang lalu. Mau tak mau ia harus membangkitkan Kurochiki terpilih secepat mungkin sebelum penyerangan serupa terjadi lagi.
Szatark mendekati benda berkilau di dekat beberapa mayat vampir. Ia berjongkok untuk memastikan benda apa itu. Sebuah katana putih yang berkilau. Yang ia tahu katana itu diberikan tuannya kepada Yui. Ia mengambilnya. Katana itu berlumuran darah. Serupa dengan sarungnya yang tergeletak tak jauh dari katana itu sendiri. Ia menyarungkan katana itu ke dalam sarungnya. Ia sudah akan berdiri saat matanya menangkap benda lain di dekat mayat vampir yang tertebas tangannya. Ia mengurungkan niatnya untuk berdiri. Tangannya terulur untuk mengambil benda serupa pistol. Sebuah pistol rakitan berlumuran darah. Ada ukiran nama 'Darkyuri' di pistol itu.
"Sepertinya ini milik Yui-sama," gumamnya pelan.
Ia beranjak dari posisinya dengan kedua tangan membawa apa yang ia temukan. Ia berjalan mendekati tuannya yang sibuk memandang langit.
"Yang Mulia," panggilnya pelan.
Ryuta terhenyak. Ia segera menoleh ke belakang, ke tempat Szatark berdiri. "Ada apa, Szatark?"
"Saya menemukan dua benda yang kemungkinan besar adalah milik Yui-sama," kata Szatark sambil sedikit menundukkan kepalanya.
Ryuta melihat ke arah benda di tangan Szatark. Pedang yang ia berikan dan pistol. "Bawalah, Szatark. Nanti akan ku kembalikan padanya."
"Baik, Yang Mulia." Szatark memasukkan pistol ke dalam mantelnya. Sementara pedang, tetap ia bawa di tangannya.
"Yang Mulia!" seru seorang pengawal sambil berlari menuju ke tempat Ryuta.
"Ada apa?" tanya Ryuta.
"Ada jejak darah vampir Mud-Blood yang masih hidup. Jejak itu menuju Gua An di dekat Sanharo city," lapor pengawal itu.
Ryuta terdiam sejenak. Ia mengingat dimana Gua An itu. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya. Ia ingat kalau gua An adalah tempat persembunyian vampir Mud-Blood yang ia serang 9 tahun lalu. Di sanalah ia kehilangan satu pengawal setianya, Leomy. Karena pengkhianatan salah satu pengawal yang baru ia rekrut setelah tragedy bulan sabit. Alasan ini pula yang menjadi dasar kenapa ia tak ingin mempunyai banyak pengawal dan pelayan. Ia tahu betul jika klannya memiliki banyak musuh yang mempunyai tujuan yang sama. Kemurnian.
"Apa kalian sudah membakar semua mayat?" tanya Ryuta.
"Sudah, Yang Mulia," jawab para pengawal dengan bersamaan.
"Baiklah. Sekarang kita menuju Gua An. Apapun yang terjadi jangan meninggalkan barisan," lanjut Ryuta.
"Baik, Yang Mulia."
Ryuta mengangguk sekilas pada pengawal yang melaporkan tadi. Pengawal itu mengerti dan segera berjalan. Ia bertindak sebagai penunjuk jalan. Di belakangnya ada Ryuta dan Szatark, diikuti para pengawal yang lain. Mereka bergerak cepat memecah keheningan malam.
Mereka berhenti tepat di depan sebuah gua yang menjorok tajam ke arah bumi secara vertikal dengan sudut hampir 90 derajat. Sekeliling gua hanya ada kesunyian dan pekatnya pohon.
"Berhenti!" perintah Ryuta. Semua pengawalnya berhenti di belakangnya. Ia menatap tajam ke arah gua. Menembus ke dalam gua.
"Kalian tunggu saja di sini," kata Ryuta.
"Tapi Yang Mulia. Itu sangat berbahaya," sahut Szatark tak setuju. Pengawal yang lain hanya mengiyakan dalam hati.
Ryuta tersenyum simpul. Ia menatap ke langit yang mendung. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum menenangkan pengawalnya. "Tidak apa-apa. Jika aku tidak kembali dalam waktu 15 menit, masuklah."
"Baik, Yang Mulia."
Mereka tak mampu menahan kehendak tuannya yang terkenal keras kepala. Mereka hanya berdoa semoga tuannya kembali dengan selamat.
Ryuta berjalan melewati bebatuan untuk masuk ke dalam gua An. Ia langsung terjun bebas dari pintu gua. Ia mendarat tepat di atas sebuah batu besar yang menempel pada dinding gua di belakangnya. Ia memandang sekelilingnya. Ia tak menyangka gua yang dulunya sempit, sekarang menjadi sangat luas dan penuh akan vampir dan zombie. Berdasarkan pada apa yang ia lihat, ada 50 lebih vampir Mud-Blood. Selain itu ada 100 lebih zombie level S sampai level H. Tapi yang membuatnya heran adalah keberadaan Mark, mantan pelayan klan Kurochiki yang berkhianat 9 tahun lalu. Pengkhianatan keji yang membuatnya kehilangan pelayan setianya.
"Tidak adakah pesta penyambutan untukku?" seru Ryuta dengan nada datar yang menakutkan.
Pesta yang diramaikan vampir Mud-Blood dan zombie langsung terhenti. Mereka menatap ngeri ke arah Ryuta. Mereka bisa melihat dan merasakan dengan jelas aura kemarahan seorang pemimpin klan Kurochiki.
"Ba-gaimana kau bisa ada di sini?" seru seorang vampir botak berbadan besar.
"Kenapa tidak," sahut Ryuta tetap dengan nada datarnya. Seulas senyum terukir di bibirnya.
Semua terdiam. Mereka tak menyangka kalau Pemimpin Klan Kurochiki akan datang menemui mereka sendirian. Ya, mereka hanya menemukan Ryuta tanpa pengawal satu pun. Ini membuat kepercayaan diri mereka melambung. Mengingat bahwa sebangsa mereka pernah membantai habis anggota klan Kurochiki 10 tahun lalu. Jadi tidak akan sulit untuk membunuh satu Kurochiki bukan?
"Hahaha, kau mau mati ya? Apa kau tak ingat bahwa kami bisa membantai seluruh anggota klanmu. Jadi kau hanya akan mati konyol dengan datang ke tempat ini sendirian," sahut vampir lain yang berambut gondrong. Pernyataannya memecah keheningan yang tercipta.
Ryuta menggeram marah. Emosi yang ia tahan mulai lost control. Iris matanya berubah merah darah. Aura kemurkaannya semakin kuat terasa. "Kalian mau mencoba?"
Hahaha. Terdengar tawa bergemuruh di dalam gua. Semua penghuninya meremehkan Ryuta yang datang sendirian. Namun tawa mereka terhenti saat ada yang menyelutuk.
"Kalian jangan meremehkan Kurochiki terakhir," kata Mark.
Ryuta menatap tajam ke arah Mark. Dendamnya seolah siap merobek jantung Mark. Namun ia tahu kalau Mark bukanlah otak pemberontakan. Ada vampir lain yang mengendalikan Mark dan vampir lain. Vampir yang tak terduga. "Sebaiknya kau pergi, Mark. Kau tentu tak mau tewas sekarang bukan?"
Mark menggeram kesal. Namun ia tahu apa kata Ryuta adalah benar. Ia beranjak dari kursi. Bersiap untuk melarikan diri. Tanpa kata, ia menghilang dari pandangan.
"Cih, kami tidak sepengecut dia. Kami akan membunuhmu dalam waktu 10 detik saja," kata vampir berkulit hitam.
Ryuta tersenyum menakutkan. "Majulah."
Kalimat Ryuta langsung menggerakkan mereka untuk maju. Mereka menyerang Ryuta dengan bersamaan. Mereka menghunus pedang di tangan masing-masing. Seolah siap untuk mencincang halus tubuh Ryuta.
Sing!
"Argh!"
Teriakan kesakitan membahana di dalam gua. Semua zombie tumbang dalam sekejab tanpa sedikit pun tersentuh oleh Ryuta. Kekuatan pikiran telah membunuh mereka. Menghancurkan jantung mereka menjadi gumpalan tak bernyawa.
Semua vampir Mud-Blood terdiam. Terlalu shock untuk menyadari apa yang terjadi. Mereka terdiam di tempat dengan ekspresi ketakutan. Sebelum mereka melangkah untuk melarikan diri, hal yang sama terjadi pada mereka. Ryuta membinasakan mereka dalam hitungan detik.
"Ini baru dimulai," gumam Ryuta pelan. Ia berjalan keluar dari gua sambil memegangi dadanya. Ia terlalu banyak menggunakan kekuatannya.
"Yang Mulia!" seru Szatark dengan panik saat melihat tuannya keluar dari dalam gua dengan memegangi dadanya. Ia khawatir jika tuannya memaksakan diri dengan kondisi tubuh yang tak stabil.
"Aku tidak apa-apa, Szatark. Jangan sekhawatir itu," kata Ryuta pelan. Ia nyaris terjatuh kalau saja Szatark tidak segera memeganginya.
"Kita kembali ke Centerene Palace. Anda harus istirahat, Yang Mulia," kata Szatark sambil membantu tuannya berjalan menuju blackhole.
Ryuta tak mengelak. Ia menuruti apa kata Szatark. Ia memang membutuhkan waktu untuk istirahat. Ia terlalu banyak menggunakan kekuatannya. Ia tahu kalau ia ceroboh. Harusnya ia tak menggunakan kekuatannya sebanyak itu. Tapi semua sudah terlanjur.
"Oya, aku melihat Mark ada di sana," gumam Ryuta tiba-tiba. Semua pengawal, juga Szatark terdiam tanpa menanggapi sedikitpun. Mereka tahu siapa Mark, apa yang Mark lakukan dan seberapa pantas Mark mati atas semua yang pernah ia lakukan.
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Di sisi lain hutan.
Mark terdiam kaku. Ia tak beranjak seinchipun dari tempatnya berdiri. Ada kengerian juga kerinduan dalam tatapan matanya pada Ryuta.
"Ryuta-sama, maafkan aku," gumamnya pelan sebelum berlari pergi menuju tuannya.
Di sebuah ruangan di sebuah mansion.
"Kau gagal lagi?" Vampir itu marah dan langsung menendang Mark sampai menabrak dinding. Ia menatap tajam ke arah Mark. "Kau tidak berguna!"
"Maafkan saya, Yang Mulia," kata Mark dengan penuh hormat.
Vampir itu menggeram kesal. Ia ingin membunuh Mark tapi ia masih membutuhkan mantan abdi Kurochiki itu. "Pergilah. Aku muak melihatmu!"
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
Niel's Room, Northless Palace, 6.30 a.m.
Niel duduk dengan tenang di samping ranjang. Ia membaca buku dengan serius di samping menemani Yui. Ia menghentikan kegiatan membacanya saat mendengar suara erangan tertahan. Matanya melirik ke arah Yui. Gadis itu terlihat gelisah dalam tidurnya. Kepalanya bergerak tak beraturan. Tubuhnya terlihat gemetar. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Suara erangan kesakitan semakin terdengar jelas di telinga Niel. Bercampur suara nafas terengah.
"Ekh! Argh! Hah... Hah..."
Niel meletakkan bukunya ke atas meja dan segera mendekati Yui. Tanpa berfikir untuk kedua kalinya, ia merengkuh Yui ke dalam pelukannya. Berusaha menenangkan gadis itu.
Sing!
Dalam sekejab, Niel menjauh dari tubuh Yui dengan nafas terengah. Taringnya memanjang tanpa bisa ia cegah. Ia dilanda rasa haus yang memuncak. Iris matanya berubah semerah darah. Tatapannya tertuju ke leher Yui dengan fokus.
'Tidak, Niel. Kau tidak bisa menggigitnya. Tidak bisa,' pikirnya. Ia segera mengobrak abrik lacinya untuk mencari tablet darahnya. Ia memakan 3 tablet sekaligus. Rasa hausnya sedikit berkurang. Iris matanya tetap semerah darah. Tanda bahwa rasa hausnya masih tinggi. Dengan keras, ia menstabilkan deru nafasnya yang mulai memburu.
Yui membuka matanya dengan perlahan. Ia merasa tubuhnya sedikit nyeri. Kepalanya agak pening. Matanya menyebar. Memandang ke segala penjuru kamar. Ia merasa asing dengan keadaan kamar. Ia yakin jika ini bukan kamarnya. Tatapannya terhenti pada Niel yang sedang memakan tablet darah. Ia mengernyitkan keningnya. 'Kenapa ada Niel? Ini dimana? Apa yang terjadi padaku?' pikirnya.
"Nii-eell..." Ia menggumamkan nama Niel dengan pelan. Membuat pemilik nama menoleh padanya.
"Kau sudah bangun?" tanya Niel pelan. Ia masih berusaha keras menahan deru nafasnya. Ia selalu menghindarkan matanya untuk menatap leher Yui. Walaupun itu tak terlalu berhasil karena Yui mengenakan dres putih dengan tali spagetty yang mengekspos bahunya dan lehernya. Selimut pun hanya menutup sampai sebatas dada. Leher Yui terlihat menantang di matanya. Seolah meminta untuk digigit.
"Ka-u kenapa?" tanya Yui yang merasa heran dengan keadaan Niel. Iris mata yang biasa ia lihat berwarna coklat keemasan, sekarang semerah darah. Eh? Ia tercekat dengan apa yang terlintas dalam benaknya. 'Apa dia menahan haus?'
"Ti-dak. Aku baik-baik saja," kata Niel dengan nada datar. Ia semakin menjauh dari Yui. Ia hanya tak ingin menyerang Yui nantinya. Rasa hausnya benar-benar membakar tenggorokannya. Ia tak tahu kenapa rasa hausnya makin parah setiap menyesap aroma lavender yang menguar dari tubuh Yui.
"Ka-u haus?" tanya Yui lagi. Ia tahu jika yang menolongnya adalah Niel walaupun hanya samar-samar dalam ingatannya. Ia juga tak tega melihat vampir tampan yang diam-diam ia kagumi menderita karena menahan haus.
"Tidak! Kau tidur saja!" kata Niel dengan tegas dan terdengar ketus. Ia berjalan cepat ke arah pintu.
"Kau bisa meminum darahku."
Deg!
Tangan Niel yang akan memutar knop pintu terhenti bergerak. Ia terpaku di tempat. 'Apa katanya tadi? Apa dia serius membiarkanku meminum darahnya? Apa dia sadar akan apa yang baru ia ucapkan? Bodoh. Dasar gadis bodoh. Apa dia kira aku belum tahu kalau dia manusia. Mana ada manusia dengan sukarela menawarkan darahnya pada vampir? Mereka hanya makhluk sombong yang terlalu munafik. Kau tentu salah satu dari mereka. Cih! Aku yakin kau akan merubah pikiranmu dalam sedetik,' pikir Niel. Ia menoleh ke arah Yui yang masing berbaring. Senyum manis terukir di wajah gadis itu. Ia sukses terpana akan senyum angelic itu. Ia mulai dilema. Apa dia berbeda dengan kebanyakan manusia yang lain?
"Apa kau serius dengan ucapanmu?" tanya Niel. Ia tak bisa menyembunyikan nada ragu dan meremehkan dalam setiap kata yang ia ucapkan.
Yui tersenyum malu. Ia tahu kalau Niel pasti meragukannya, tapi ia terlanjur menawarkan darahnya. Ia bukan tipe orang yang akan melanggar apa yang telah diucapkan. Sudah diputuskan bahwa ia akan memberikan darahnya pada Niel. Menurutnya, ia tak akan mati jika memberikan darahnya. Kecuali....
"Em, ya. Aku serius. Anggap saja ini balas budiku atas pertolonganmu. Tapi...."
"Apa?"
"Aku yakin kau sudah tahu kalau aku manusia. Terima kasih karena kau tidak membunuhku padahal aku sudah berbohong tentang siapa aku dan apa yang ku lakukan di sini. Aku tahu dengan memberikan darahku tidak cukup, tapi aku hanya mau membantumu. Jadi jangan membunuhku. Aku masih ingin hidup."
Niel menyeringai kecil. Ia heran kenapa gadis itu mengatakan hal itu. 'Apa dia memang berbeda dengan manusia lain dalam hidupku? Apa dia bukan manusia munafik? Apa dia memang berbeda? Apa aku mulai tertarik padanya?' pikirnya. Ia mendekati Yui dengan pelan. "Kau siap?"
Yui memalingkan wajahnya yang memerah karena seringai Niel. Ia merasa seringai itu membuat Niel semakin tampan. Tanpa bisa dicegah, jantungnya berdetak kencang. Ia gugup bukan main karena Niel semakin mendekat. "Emm, ya, ka-kalau sudah jam 7."
"Hmm, itu beberapa detik lagi," kata Niel pelan karena ia sudah ada di dekat Yui. Ia tak tahan untuk tidak menggoda Yui yang sedang blushing seperti sekarang.
"Eh? I-ya."
Yui berusaha bangun. Tapi Niel mencegahnya. "Tidak apa-apa. Aku bisa melakukannya walaupun kau berbaring."
Wajah Yui semakin memerah. Aroma citrus mulai merangsek ke dalam indra penciumannya. Ia mulai terbuai aroma Niel yang memabukkan. Ia merasa melayang dengan berada di dekat Niel. Ia merasa lemah. Seolah tak bisa hidup tanpa Niel. 'Apa ini yang namanya pesona vampir? Tapi... kenapa aku merasakan ketulusan dan rindu?' pikirnya. Tanpa sadar ia menatap ke dalam jernihnya mata Niel.
Teng! Teng! Teng! Teng! Teng! Teng! Teng!
Dentang jam menunjukkan sudah jam 7. Selama dentang itu keduanya saling menatap. Berusaha menyelami mata lawannya. Niel menyingkirkan helai rambut Yui yang menutupi leher. Lantas ia meletakkan tangan kirinya di samping kepala Yui. Memperkecil jarak keduanya. Memperdalam tatapan keduanya. Ia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari mata Yui. Ia merasa tersihir.
"Aku akan memulainya." Niel menghirup aroma lavender dari tubuh Yui kuat-kuat. Ia menunggu jawaban dari mulut Yui.
"Ya, la-kukan saja." Yui merasa sangat gugup. Ia takut jika Niel mendengar detak jantungnya. Ia semakin gugup saat Niel menunduk dan menenggelamkan kepalanya di leher kanannya. Wajahnya merah padam saat lidah Niel menjilat lehernya. Tanpa sadar ia mencengkeram bagian depan dari kemeja Niel. Membuat Niel berhenti sejenak sebelum kembali menjilat lehernya.
"Tenanglah, aku akan pelan-pelan," bisik Niel tepat di telinga Yui. Deru nafasnya membuat Yui bergidik. Ia menggenggam tangan kiri Yui. Ia merasakan taringnya mulai memanjang. Ia bergumam pelan sebelum menancapkan taringnya ke leher Yui.
"Argh!" seru Yui. Ia kaget dengan serangan tiba-tiba dari Niel. Ia memejamkan matanya. Membiarkan Niel menghisap darahnya. Tanpa sadar, ia membalas genggaman tangan Niel. Ia menghirup aroma tubuh Niel agar lebih tenang.
Niel mencabut taringnya. Ia sudah selesai. Ia tak menyangka darah Yui akan semanis ini. Ia menjilat bibirnya. Membersihkan sisa darah di bibirnya. Ia menyentuh luka bekas gigitannya. Dalam sekejab luka itu menghilang. Ia menarik tubuhnya menjauh namun terhenti karena cengkeraman tangan Yui di kemejanya. Ia tersenyum simpul.
"Sudah tidak apa-apa, Yui," katanya pelan. Ia menarik tangan Yui dengan lembut. "Sebaiknya kau minum obat mutasimu sebelum sihirku memudar."
Yui mengangguk. Wajahnya masih memerah. Ia tak sanggup melihat wajah Niel.
"Terima kasih, Yui." Niel mengecup punggung tangan kanan Yui. 'Kau memang berbeda. Aku tidak tahu kenapa aku tertarik padamu. Kau tahu, sepertinya aku tak akan melepasmu dari jangkauanku seincipun. Maafkan aku,' lanjutnya dalam hati.
Yui berusaha bangun dari tempat tidurnya. Ia mengerang pelan karena merasakan nyeri di dada kanannya, tepat di bawah tulang selangka dimana ia terluka.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Niel dengan cemas. Buru-buru ia membantu Yui bangun dan menyandarkannya di sandaran tempat tidur.
"Ya, hanya sedikit nyeri," kata Yui pelan. Ia mengedar pandang ke sekelilingnya. Lantas menatap tubuhnya sendiri. "Kenapa ba-"
"Tadi malam Liannaka-san datang mengobatimu. Dia yang mengganti bajumu. Dan ini obatmu," potong Niel dengan cepat sambil menyodorkan botol berisi pil berwarna merah muda.
"Er-terima kasih, Niel-em, Niel-sama," kata Yui dengan gugup. Buru-buru ia menelan sebutir pil dari dalam botol. Sensasi panas menyerang tenggorokannya. Kepalanya terasa sedikit pening.
"Kau ini. Panggil saja aku dengan Niel tanpa ‘sama’," kata Niel sambil mengusap kening Yui.
"Em, i-iya."
Yui hanya mampu menunduk malu.
Di luar kamar Niel, Anza, Marion, Rima dan Rolfer asyik menonton adegan itu dari lubang angin-angin di samping pintu. Mereka tertawa geli melihat pertunjukan roman itu.
"Ckk, tak ku sangka kalau Niel sepintar itu memperlakukan wanita," gumam Rima sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya, kau benar, Rima. Niel terlihat seperti vampir penakluk daripada Niel yang kita kenal selama ini," tambah Rolfer.
"Huu, kakak terlihat gentle sekali. Yui masih malu-malu jadi geregetan sendiri," lanjut Anza dengan wajah senang.
"Setidaknya dia masih normal. Daripada dia yaoi, kalian tak akan bernafsu untuk mengintip seperti sekarang," sahut Marion dengan asal.
Secara bersamaan, Anza, Rima dan Rolfer memberi tatapan mematikan pada Marion. Dengan wajah polos tingkat dewa, Marion hanya menyunggingkan senyum tanpa dosa.
"Marion, kau merusak suasana!" omel Rima sambil menjitak kepala Marion.
"Suasana apa yang ku rusak? Aku hanya mengatakan logika," balas Marion. Dan dimulailah debat kusir antara keduanya.
"Hah, kita pergi saja," ajak Rolfer yang sudah bosan melihat dan mendengar perdebatan Rima dan Marion.
"Kau benar, Fox. Ayo pergi," kata Anza. Ia dan Rolfer segera pergi meninggalkan dua vampir yang sibuk berdebat.
Di dalam kamar Niel.
"Apa kau dengar suara ribut-ribut?" tanya Yui. Ia menatap bingkai pintu dengan penasaran. Sementara Niel sudah ada di dekat pintu dan bersiap untuk membukanya.
“Entahlah. Tapi suaranya sangat familiar,” jawab Niel. Ia membuka pintu kamarnya secara perlahan. Begitu pintu terbuka, nampaklah dua orang berdiri tepat di depan pintu kamarnya. Keduanya sedang asyik berdebat. Rima dan Marion.
Niel menaikkan alisnya sampai bertaut satu sama lain. Ia bingung kenapa teman-temannya ada di depan pintu kamarnya. "Apa yang kalian lakukan?"
ψ₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰₰ψ
0 komentar:
Posting Komentar